Dalam ketakutan ditinggalkan lelaki yang amat dicintainya itu, Michiko teringat ucapan pendeta Kuil Shimogamo yang menjadi senseinya berlatih samurai, sepeninggal ayahnya.
Saat sensei itu tahu Michiko berlatih untuk mencari dan membalas dendam kepada si Bungsu, pendeta itu mengingatkannya dengan lembut:
"Saya tahu anak muda bagaimana musuhmu itu Michiko-san. Dia akan membunuh lawan-lawannya. Tapi percayalah, jika engkau bertemu kelak dengannya, dia takkan melawanmu.
Dia adalah anak muda yang berbudi. Dia tak akan melawanmu, dia akan merelakan nyawanya di tanganmu. Percayalah, Nak . ."
Dia juga teringat penggalan dialognya suatu hari dengan Zato Ichi, pendekar legendaris Jepang yang ternyata juga sudah sangat mengenal si Bungsu setelah peristiwa wafatnya Obosan Saburo Matsuyama.
"Michiko, muridku. Saya dapat menerka, bahwa antara kalian ada salah pengertian . ."
"Maksud bapak?"
"Salah fahaman itu datangnya bukan dari dia. Tapi dari engkau Michiko-san . ."
"Maksud bapak?"
"Maksud saya, kalian sebenarnya saling cinta . .. "
"Tidak. Dia tak mencintai saya . . "
"Bagaimana dengan engkau. Apakah engkau mencintainya?"
Saat itu Michiko tak bisa menjawab pertanyaan Zato Ichi.
"Jawablah. Apakah engkau mencintainya?"
"Saya orang Jepang. Dia telah menyebabkan kematian ayah saya. Bagaimana mungkin dengan kedua perbedaan yang amat besar ini saya bisa mencintainya?"
Zato Ichi tertawa bergumam, lalu menarik nafas panjang.
"Kalau engkau orang Jepang, apakah itu menjadi halangan untuk mencintai bangsa lain? Ah, sedangkan diriku yang tua tak berfikir sekolot engkau Nak. Yang penting bukan bangsa apa dia. Bukan pula bangsawan atau tidaknya dia. Tapi yang penting apakah engkau mencintainya dan dia mencintaimu. Jika hal ini terjadi timbal balik, maka persetan dengan segala perbedaan yang ada. Apakah tak pernah kau dengar betapa banyaknya orang yang kawin hanya karena mementingkan derajat, kekayaan, martabat, akhirnya perkawinan mereka jadi puing. Perkawinan mereka jadi neraka bagi diri mereka. Ah, saya sudah banyak mendengar perkawinan yang demikian Nak . . . "
Terakhir, dia teringat dialognya dengan Salma, orang yang dicintai si Bungsu sebelum bertemu dengannya, yang ternyata menjadi isteri sahabatnya, Overste Nurdin, Atase Militer Malaya yang berkedudukan di Kota Singapura.
Saat itu dia akan naik pesawat ke Padang melalui Jakarta. Saat itu suami Salma berkata:
"Saya berharap akan dapat bertemu dengan kalian berdua, Michiko. Maksud saya engkau dan si Bungsu. Saya tahu, engkau menaruh dendam padanya. Namun, saya benar-benar menginginkan tak satupun di antara kalian yang cedera…"
Kala itu Michiko hanya tersenyum. Senyumnya kelihatan getir. Sebelumnya Salma juga sempat bicara empat mata dengannya.
"Sebagai sesama perempuan, Michiko, saya ingin mengatakan padamu. Engkau punya kesempatan untuk bertemu dengan lelaki yang sama-sama kita cintai. Engkau yang memiliki kesempatan paling besar untuk mendapatkan dirinya. Jangan engkau sampai dikuasai oleh dendam keparat itu. Itu nonsens sama sekali. Berfikirlah dengan akal sehat.
Dia takkan mau melawanmu, aku tahu itu bukan sifatnya. Bila dia engkau bunuh Michiko, sama artinya engkau membunuh harapanmu sendiri. Kau akan menyesal seumur hidupmu.
Kalian kini sama-sama sebatangkara. Yang kalian butuhkan adalah kasih sayang. Bukan perkelahian dan saling bunuh. Sebagai seorang yang lebih tua darimu, Michiko san, saya ingin engkau bahagia. Saya ingin si Bungsu bahagia. Dan saya yakin, kebahagiaan itu takkan kalian peroleh kalau kalian tidak bersama. Saya ingin mendengar kabar bahwa kalian menikah. Saya akan menanti kalian di sini. Datanglah sebagai suami isteri. Saya selalu berdoa untuk itu, Michiko, Adikku!"
Michiko tak bisa menahan air matanya. Dia memeluk Salma. Salma juga basah matanya.
Kini, lelaki yang dia cintai dan dia cari ke ujung langit itu, bersimbah darah dan sekarat dalam pelukannya karena dimakan mata samurainya! Apa yang pernah diucapkan sesnseinya di Kuil Shimogamo dan Salma, bahwa anak muda itu takkan pernah mau melawannya, akan merelakan nyawanya di tangan Michiko, kini semua terbukti. Semua!
Di antara ratap sesalnya Michiko sayup-sayup seperti mendengar suara ledakan dan tembakan sahut menyahut. Disusul suara gemuruh. Semua suara berdesakan ke dalam kepalanya, susul menyusul dan kacau balau. Hiruk pikuk tak menentu. Bathinnya yang terpukul amat dahsyat akhirnya membuat pertahanan jiwanya berada di titik paling nadir.
Mula-mula semuanya menjadi samar-samar, lalu akhirnya tubuhnya rebah ke jalan berkerikil tak sadarkan diri, dengan tetap memeluk tubuh si Bungsu!
"Dia sadar.." ujar seseorang, disusul suara langkah beberapa orang pada mendekat. Lalu terdengar suara memanggil.
"Bungsu-san…"
Si Bungsu membuka mata.
"Bungsu-san. Oh... sukurlah... sukurlah.." ujar Michiko sambil memegang tangan si Bungsu dan menciumnya di bawah tatapan mata beberapa perawat dan dua orang dokter.
"Michiko…"
"Bungsu-san.."
"Dimana ini?"
"Ini Rumah Sakit Tentara, di Padang…" jawab seorang dokter yang juga tentara.
"Di Padang..?"
"Ya, di Padang.."
"Kapan saya dibawa kemari?"
"Sepuluh hari yang lalu.."
"Sepuluh hari..?"
"Ya.."
"Selama itu saya tidak pernah sadar?"
"Tapi sekarang sudah. Keadan Anda semakin amat membaik.." ujar dokter itu sambil memeriksa mata dan denyut nadi si Bungsu.
Para dokter dan para perawat akhirnya meninggalkan ruang itu. Kini hanya tinggal dia dan Michiko. Ditatapnya gadis itu sambil mencoba mengingat kejadian terakhir.
Saat itu dia baru keluar dari pemakaman kaum, setelah membersihkan kuburan ayah, ibu dan kakaknya. Di jalan menanjak dia melihat seseorang berjalan menuju ke pemakaman. Tapi saat hampir sampai di puncak tanjakan dia baru tahu, orang itu tetap tegak menunggunya di puncak tanjakan tersebut.
Setelah jarak mereka hanya sekitar tiga depa, dia baru menyadari bahwa orang yang tegak dipuncak tanjakan itu, yang nampaknya sengaja menunggu dia tiba, tak lain dari Michiko. Dan… dia ditantang untuk bertarung. Dia melemparkan samurainya ke jalan, tapi sat itu dadanya terasa amat pedih. Kemudian dia jatuh dia atas kedua lututnya. Tangannya menekan dadanya yang pedih, tapi darah mengalir keluar. Makin lama makin banyak.
Teringat hal itu si Bungsu meraba dadanya. Michiko memahami apa yang ada dalam fikiran si Bungsu.
"Maafkan aku, Bungsu-san. Maafkan aku…" ujarnya terisak sambil meraih tangan si Bungsu dan kembali menciumnya.
"Jangan menangis, Michiko san…jangan menangis… Kemarilah, peluk aku.." ujar si Bungsu sambil menarik tangan Michiko dengan lembut.
Michiko merebahkan kepalanya ke dada si Bungsu. Si Bungsu membelai rambut gadis itu dengan lembut.
"Ingat malam itu di kereta api dari Gamagori menuju Nagoya?" ujar si Bungsu perlahan.
Michiko mengangkat kepalanya, menatap si Bungsu, kemudian berbisik.
"Takkan pernah kulupakan saat itu, Bungsu-san. Itulah sat paling bahagia dalam hidupku. Kau peluk bahuku, dan aku tertidur di bahumu dari senja hingga tengah malam," ujar Michiko sambil kembali merebahkan kepalanya di dada si Bungsu.
"Engkau mau mendengarkan nyanyianku…?"
Michiko mengangguk di dada si Bungsu, pertanyan itu sama persis dengan pertanyan yang diucapkan anak muda itu di kereta api bertahun yang lalu.
"Ya, saya suka. Menyanyilah Bungsu-san…"
Bisiknya, menirukan kata-kata yang juga persis sama dengan yang dia ucapkan saat menjawab pertanyan anak muda itu, berbilang tahun yang lalu, dalam kereta api yang meluncur dari Gamagori menuju Nagoya. Dengan masih memeluk bahu gadis itu Si Bungsu mulai batuk-batuk kecil mengatur suara, lalu dengan suara yang berat dan lembut terdengar nyanyiannya:
"Ame ga fuuttemo
watashi wa ikimasu
nakanaide kudasai
watashi o
wasurenaide kudasai
sayonara…."
(Meskipun turun hujan,
saya akan pergi
jangan menangis
jangan lupakan saya
selamat tinggal…)
Di kereta dahulu, Michiko mengangkat kepalanya begitu lagu itu berakhir. Menatap mata anak muda itu tepat-tepat. Tapi kini, dia tidak mengangkat kepalanya, dia mengulangi lagi kata-katanya kala itu:
"Anata wa Nippon no uta o shitte imasu…Anda mengetahui lagu Jepang"
"Hai, sukoshi dekimasu…Ya, saya mengetahui sedikit.." jawab si Bungsu, juga mengulang secara amat persis ucapannya di kereta menuju Nagoya dahulu.
Michiko mengangkat wajahnya begitu ucapan si Bungsu selesai. Dia menatap anak muda itu tepat-tepat. Si Bungsu melihat air mata mengalir perlahan di pipi gadis itu.
"Nakanaide kudasi, Michiko-san. Jangan menangis, Michiko.." ujar si Bungsu sambil menghapus air mata di pipi Michiko dengan jemarinya dengan lembut.
Michiko meraih tangan si Bungsu menciumnya, lalu berkata di antara isaknya yang tertahan.
"Berjanjilah tidak lagi meninggalkan aku, Bungsu san. Berjanjilah.."
Si Bungsu meraih wajah Michiko, menariknya mendekati wajahnya. Kemudian dengan lembut dia cium keningnya, matanya dan... bibirnya. Michiko menggigil dalam pelukan anak muda itu. Menggigil karena haru dan bahagia.
"Itu janjiku, Michiko-san… Itu janjiku.." bisik si Bungsu sambil memeluk gadis itu dengan lembut.
Dalam posisi seperti itu kedua anak manusia yang berasal dari negeri yang amat berjauhan itu tertidur.
Besoknya si Bungsu kedatangan dua orang tamu. Keduanya berbaret merah. Si Bungsu sudah bisa duduk, namun belum dibolehkan berjalan. Tunggu sehari dua lagi, sampai luka di dada benar-benar pulih, begitu kata dokter. Dia merasa surprise saat mengetahui tamu yang datang adalah Letnan Fauzi dan Letnan Azhar dari RPKAD. Mereka bersalaman dan berpelukan dengan akrab. Si Bungsu mengenalkan kedua perwira itu dengan Michiko. Keduanya membungkuk dengan hormat sebelum menyalami gadis cantik itu. Si Bungsu mencegah Michiko yang akan keluar, maksud gadis itu agar dia bisa berbicara bebas dengan kedua temannya itu.
"Tak ada rahasia antara kami, kedua beliau sahabat saya. Karena itu juga sahabatmu Michiko-san.." ujar si Bungsu.
Dan merekapun ngobrol berempat. Dari obrolan itu menjadi jelas bagi si Bungsu maupun Michiko, apa sebab mereka sampai ke Rumah Sakit Tentara di Padang ini. Padahal sebelumnya mereka berada di Situjuh Ladang Laweh.
Ternyata saat mereka berhadap-hadapan di puncak pendakian dekat makam kaum di Situjuh Ladang Laweh itu dua minggu yang lalu, APRI sedang melakukan operasi pembersihan ke beberapa kantong PRRI di pinggang Gunung Sago itu. Yang memimpin operasi itu adalah peleton yang dipimpin Letnan Fauzi dan peleton Letnan Azhar.
Pasukan mereka sampai ke pemakaman itu karena akan mengambil jalan pintas memotong jalur pelarian empat orang anggota PRRI yang melarikan diri dari penyergapan di salah satu rumah di Situjuh Ladang Laweh.
Semula dua anggota pasukannya menyangka lelaki dan perempuan yang mereka temukan di puncak pendakian itu sudah tewas terkena peluru nyasar. Soalnya keduanya berlumur darah. Tapi begitu didekati, saat kedua tubuh itu disorot lampu senter, dua orang anak buahnya terkejut.
Dia sangat mengenal wajah orang yang terluka dalam pelukan perempuan Jepang yang juga pingsan itu. Dia mengenalnya karena dia adalah salah seorang anggota RPKAD yang melihat orang itu bertarung dengan komandannya.
"Bungsu, ini si Bungsu..!" serunya sambil berseru dan beberapa kali memberi isyarat kepada Letnan Fauzi lewat cahaya lampu senter.
Saat Letnan Fauzi sampai di sana, dengan terkejut dikenalinya orang yang pernah bertarung dengannya itu.
"Berikan bantuan darurat, periksa wanita ini. Panggil tandu …" perintah Letnan Fauzi.
Tak lama kemudian Letnan Azhar sampai di sana. Mereka tak heran kenapa si Bungsu dan gadis Jepang itu ada di sana. Mereka telah membaca laporan intelijen tentang kedua orang ini. Riwayat si Bungsu hampir lengkap dimuat di laporan intelijen itu. Mulai saat pembantaian keluarganya sebelum kemerdekaan, sampai saat dia "gentanyangan" membunuhi Jepang dan Belanda di Payakumbuh, Bukittinggi dan Pekanbaru.