Chereads / TIKAM SAMURAI / Chapter 130 - Michiko-san… Jaga... Dirimu Baik-baik….

Chapter 130 - Michiko-san… Jaga... Dirimu Baik-baik….

Saat akan mengakhiri pekerjaannya membersihkan kuburan itu tiba-tiba jantungnya berdebar. Dia tegak, menatap keliling. Hanya ada belukar yang semakin lebat. Debar jantungnya makin menguat.

Biasanya debar seperti itu adalah isyarat datangnya bahaya. Jauh di atas sana dua ekor elang terbang berputar seperti sedang mengintai mangsa. Dia memejamkan mata, memusatkan konsentrasi. Mencoba mengetahui apakah bahaya yang mengancamnya, yang membuat debar jantungnya berdenyut tidak normal itu, datang dari dalam belukar yang mengelilingi kuburan tersebut.

Dalam konsentrasinya dia mencoba menangkap suara sehalus apapun yang datang dari dalam belukar itu. Mungkin desah nafas, mungkin dengus, mungkin suara dedaunan yang tergeser oleh tubuh mahluk apapun. Harimau, beruang atau ular sekalipun. Dari pengalaman hidup di puncak Gunung Sago dahulu, dia memiliki kemampuan untuk mendengarkan perbedaan sekecil apapun suara yang ditimbulkan. Antara suara daun yang ditiup angin dengan daun yang terkuak oleh lewatnya mahluk hidup.

Namun meski beberapa kali dia coba memusatkan kosentrasi tetap saja tak satupun sumber suara yang bisa disimpulkan sebagai ancaman. Dia hanya mendengar suara beberapa ekor ayam hutan mengais makanan. Kemudian suara desiran seekor ular, mungkin ular tedung yang besarnya tak melebihi lengannya. Suara bergeraknya ular itu, menurut perkiraannya, ada sekitar dua puluh depa dari tempatnya berdiri. Lagipula arah bergerak ular itu menjauhi tempatnya berdiri, bukan ke arahnya. Jadi samasekali bukan ancaman bagi dirinya.

Dengan pikiran demikian bahwa tak ada sesuatu yang mengancam nya dari dalam belukar lebat disekitar pekuburan kaum itu,dia menatap ke tiga kuburan yang terletak berdampingan itu.

"Ayah, ibu…, ampun kan anakmu yang tidak berguna ini, yang tidak mempunyai keberanian sedikitpun membela kalian, saat kalian diancam maut. Uni... ampunkan adikmu. Doaku semoga berbahagia di akhirat…" bisik nya dengan airmata yang tak mampu di bendung.

Ada beberapa saat dia berlutut di samping ketiga makam itu. Menunduk dengan mata basah, pipi basah dan diri yang amat sepi karena hidup sebatang kara. Masa kecilnya seperti datang berlarian, saat ayah, ibu dan kakaknya masih hidup. Meski bersikap keras, namun ayahnya selalu membawa dia bepergian, naik bendi ke Payakumbuh, atau naik kereta api ke Bukittinggi. Ayahnya ingin dia bersekolah agar dia nanti menjadi "orang".

Tidak seperti dia yang hanya petani. Ibunya adalah wanita berhati lembut yang selalu melindungi dia dari amarah ayahnya. Kakaknya adalah yang membela dia di segala situasi. Kini semua tidak akan dia perdapat lagi, tak ada lagi ayah, ibu dan kakak tempat dia mengadu.

"Tinggala ayah, ibu, uni.. aku pergi menjalani nasibku…" ujarnya perlahan sambil berdiri dan melangkah meninggalkan pemakaman itu.

Guruh terdengar menderam resah tatkala dia keluar dari areal pendam kuburan kaum itu.

Dia melangkah penurunan di areal pemakaman. Hanya beberapa selang menurun, dia menempuh jalan mendaki. Diatas pendakian dia melihat seseorang melangkah kearahnya. Nampaknya orang itu akan ke kuburan. Karena jalan yang dia tempuh ini hanya menuju pekuburan tersebut.

Tapi ternyata orang itu tidak melangkah kearahnya, orang itu hanya tegak disana, di puncak pendakian yang akan dia lewati. Dia terus melangkah dengan pikiran ke masa kecilnya. Selintas dia lihat orang tadi masih tegak disana. Lalu entah kenapa debar aneh itu menyerangnya lagi. Langkah nya pun sampai kedekat orang yang masih tegak di pendakian.

Tegak persis di jalan yang akan dia lalui, karena orang itu tidak menggeser tegak, lima langkah dari orang itu dia mengalihkan langkahnya agak kekanan.

Orang itu masih tegak disana, tak bergerak sejengkal pun. Tegak dengan kaki terpentang dan rasanya seperti menatap terus kepadanya! hatinya menjadi tak sedap.

Kenangan masa kecilnya seperti kembali berlarian di kepalanya. Saat itu dia disentakan oleh sebuah suara.

"Bungsu…!"

Dia benar-benar seperti disambar petir mendengar suara itu. Bukan terkejut karena mengenal atau tau namanya tapi tersentak karena suara orang itu. Suara yang amat diakenal. Yang tak pernah di mimpikan akan mendengar suaranya disini, di kampung halamannya Situjuh Ladang Laweh!

Suara itu seperti orang yang mengucapkan nya, datang dari tempat jauh. Puluhan ribu kilometer dari sini. Dia sampai kemari setelah melintasi samudra, lembah dan gunung. Suatu hal yang sangat mustahil, tapi kembali dia dikejutkan oleh suara orang itu.

"Bungsu-san…"

"Ya Allah, M..michiko…??"

"Ya, akulah ini. Michiko anak saburo Matsuyama…!"

Mereka hanya terpisah dalam jarak tiga depa. Guruh mengeram beberapa kali di sertai angin kencang. Dia ingin mengucapkan selamat datang di kampung ini dan menanyakan apa kabar, namun sebelum dia sempat bicara suara gadis terdengar lagi.

"Sejak tadi aku tunggu engkau disini Bungsu, aku tak ingin mengganggu suasana ziarahmu ke makam Ayah, ibu, dan kakakmu…"

Gerimis tiba-tiba turun menyiram bumi, makin lama makin rapat. Guruh kembali mengeram di langit yang berubah menjadi kelam. Dia kembali ingin mengucap kan selamat datang, kendati dia tak keberatan sama sekali kalau gadis itu datang menemuinya di areal pemakaman. Namun sebelum dia bicara suara gadis itu kembali memintas mendahului.

"Seperti saat engkau datang mencari ayahku, tujuh samudra dan berpuluh gunung serta lembah kutempuh untuk bisa bertemu denganmu disini Bungsu. Kau cari ayahku ke Jepang sana dan kau temui dia di kampungku. Di kuil Simogamo, dimana dia mengabdikan diri disisa usianya. Disana kau bunuh dia. Apapun alasanmu, kendati dia melakukan sepupuku, harakiri, namun kematiannya tak lain tak bukan karena engkaulah penyebabnya! Engkau datang ke Jepang untuk membalas kematian keluargamu di tangan ayahku. Kini aku datang kemari menuntut kematian ayahku ditangan mu, adil bukan…?"

Dia ingin bicara,tapi…

"Cabut samuraimu,Bungsu….!"

Si Bungsu merasa samurai di tangan kirinya seolah-olah menjadi panas. Dia menyesal kenapa membawa samurai itu. Kendati kemana pun dia pergi samurai ini tak pernah berpisah dengannya, namun kali benar-benar menyesal telah membawanya. Dia mengangkat tangan kirinya itu jauh-jauh, sambil mengatakan bahwa dia takkan menumpahkan darah lagi. Bukan karena dia dekat makam keluarganya. Namun gerakan tangan kirinya yang ingin membuang samurai itu salah ditafsirkan oleh Michiko.

Setiap orang yang memegang samurai apakah ditangan kiri maupun ditangan kanan, bila akan mencabut samurainya harus mendekatkan hulu samurai ke tangan yang satunya lagi.

Gerakan itu, mendekatkan hulu samurai dengan tangan yang akan mencabut samurai, di lakukan saat bersamaan. Hanya dalam hitungan detik, entah mana yang duluan, entah samurai yang akan di lemparkan si Bungsu lebih dahulu lepas dari tangan nya, atau mata samurai Michiko yang lebih dahulu memakan dirinya, atau samurainya lepas bersamaan dengan tiba nya sabetan samurai Michiko!

Yang pasti adalah, saat samurainya yang masih berada di dalam sarungnya itu jatuh menimpa jalan berkerikil, dadanya terasa amat pedih. Baju gunting cina yang dipakainya, persis tentang jantungnya mulai basah oleh darah. Dengan menahan rasa sakit dia menatap Michiko, kemudian perlahan tatapannya beralih kedadanya yang mengalirkan darah, kemudian kembali menatap Michiko.

Michiko sudah akan melancarkan serangan kedua, sejak tadi, namun tangannya terhenti dengan ujung samurai menghadap keatas dan tangan siap menetak kan samurainya keleher si Bungsu. Gerakannya terhenti ketika mendengar suara benda yang jatuh menimpa kerikil jalanan, dan sekilas saat yang kritis, dia melihat ditangan si Bungsu tidak ada senjata apa pun, sedangkan baju tentang dadanya dilumuri darah, yang makin lama makin banyak!.

Dia segera sadar kalau si Bungsu, sama sekali tidak berniat untuk mencabut samurainya, sama sekali tidak berniat melawannya. Dia masih tertegak dalam posisi menahan serangan terakhir, wajahnya pucat.

"Oh, tidak…" ujarnya seperti keluhan.

Di depannya si Bungsu jatuh dengan kedua lututnya. Tangan kanannya memegang dadanya yang luka, seperti ingin menahan darahnya keluar yang mengalir deras. Matanya menatapMichiko, di wajah dan tatapannya tak ada rasa marah, tak ada rasa dendam, apalagi rasa benci.

"Terima kasih, Michiko-san. Engkau telah menolong aku... bebas dari rasa berdosa karena menyebabkan kematian ayahmu. Alangkah lamanya aku menanti saat pembebasan dari rasa berdosa ini, alangkah jauhnya jalan yang akan kau tempuh untuk pulang. Maafkan aku…Michiko-san…."

Si Bungsu tidak sadar sepenuhnya, bahwa sebagian dari kata-kata yang diucapkan terucap setelah dirinya berada dalam pelukan Michiko. Gadis itu memekik, memeluk tubuh si Bungsu erat-erat. Memekik dengan meneriakan kata-kata "Tidak" berkali-kali, memekikkan kata "Tolong" berkali-kali!

"TIdaaaak, jangan tinggalkan aku Bungsu-san. Jangan tinggalkan aku. Oh budha, tolong hambamu ini, jangan biarkan dia meninggalkan aku.." Ratap Gadis itu.

Dalam gerimis yang semakin rapat, dalam deram gemuruh yang sahut bersahut si Bungsu membuka mata, menatap kepada Michiko. Gadis itu terdiam, dia menggigit bibirnya di antara tubuhnya yang terguncang-guncang menahan tangis. Perlahan tangan si Bungsu yang tadi menahan darah mengucur dari dadanya terangkat. Dengan tangan berlumur darah dipegangnya pipi Michiko. Di antara senyum Ikhlasnya dia berbisik.

"Michiko-san…jaga..dirimu baik-baik…."

"Maafkan aku, Bungsu-san. Maafkan aku…"ratapnya antara terdengar dan tidak.

Sama sekali tak ada niatnya untuk melukai apalagi membunuh si Bungsu, lelaki yang siang malam memenuhi relung hatinya. Satu-satunya lelaki yang pernah merebut hatinya, yang siang malam dia rindukan. Lelaki yang dia cari sampai ke ujung dunia, tanpa mempedulikan apapun rintangannya. Kalau tadi dia menghunus samurai, itu dengan keyakinan yang amat sangat bahwa serangannya dengan amat mudah dapat dielakkan atau ditangkis oleh si Bungsu. Dia sebenarnya sangat berharap dialah yang dilukai dan dilumpuhkan.

Kalau si Bungsu tidak mencintainya, dia rela mati di tangan lelaki yang dia cari ke segenap penjuru ini. Dia memang mencari lelaki itu dengan dendam di hati. Tapi jika ditimbang mana yang berat antara dendam dengan rasa cintanya kepada lelaki itu, perbandingannya bisa satu untuk dendam, sepuluh untuk cinta.

Dia benar-benar tidak menduga sedikitpun, bahwa gerakan si Bungsu di awal tadi adalah gerakan untuk membuang samurai nya. Dalam pikiran nya, serangannya yang tak berbahaya dalam bentuk memancung dari atas kiri ke dada lelaki itu akan mudah digagalkan. Dia tahu, serangannya itu dapat di tangkis siapapun dengan gerakan sederhana sekali, apalagi oleh si Bungsu.

Tapi si Bungsu ternyata samasekali tidak mencabut samurai nya. Dia merasa hiba melihat gadis itu memburunya ke mana-mana untuk membalas dendam. Dia amat menyesal telah menyebabkan Michiko sebagai anak tunggal kehilangan ayah. Kini tak ada lagi tempat gadis itu menggantungkan hidup. Ibunya sudah lama meninggal.

Dia dapat merasakan betapa sepi dan terguncang nya jiwa Michiko setelah kematian ayahnya, dia dapat merasakan karena hal yang sama juga menimpa dirinya.

Itulah sebab dia ingin segera mengakhiri dendam turunan itu. Itulah pula sebabnya kenapa dia sama sekali tidak mencabut samurai untuk melawan Michiko. Yang dia lakukan justru melemparkan samurai nya ke tanah. Dan saat itu serangan ke dadanya tak lagi sempat ditarik Michiko. Lalu…terjadilah tragedi dan malapetaka itu!