Lagu itu dia pelajari dari Kenji. Temannya sekapal saat menuju Tokyo dari Singapura.
Lamunannya jadi terputus ketika dia dengar suara orang memekik memberi ingat. Sesaat nalurinya bereaksi cepat. Dia menjatuhkan diri ke lantai stasiun. Namun tak urung bahunya disabet oleh ujung samurai Michiko! Memang hanya luka gores. Tapi darah merembes. Dia bergulingan. Kemudian melompat tegak. Michiko tegak dua depa di depannya dengan kaki terpentang dan mata nyalang menatapnya.
"Cabut samuraimu…Bungsu! Jangan kau sangka bahwa dirimu saja yang hebat memainkan samurai…." bentak gadis itu.
Si Bungsu tak melihat jalan lain. Gadis ini memang menghendaki nyawanya.
"Ini kampung saya, Michiko. Saya tak ingin darahmu tertumpah di kampung saya ini…"
"Sombong kau! Tak setetespun darahku akan tertumpah di sini! Kau dengar itu, pembunuh! Tak setetespun! Jika engkau sanggup melukai diriku segores saja, maka aku akan menjilat telapak kakikmu! Percuma aku jadi murid Zato Ichi!"
Si Bungsu kaget, dia ingat Zato Ichi. Gadis ini bukan main jumawanya.
Benarkah sudah demikian hebatnya dia memainkan samurai, sehingga dia sanggup berkata setakabur itu pada si Bungsu yang kesohor itu? Atau apakah gadis ini hanya ingin memancing amarah si Bungsu saja? Tak ada yang sempat memikirkan hal itu. Sebab saat berikutnya gadis itu telah menyerang. Si Bungsu mencabut samurai dengan sikap "apa boleh buat".
Ya, dia harus mempertahankan dirinya bukan? Orang hanya melihat dua sinar berkelebat. Kemudian bunga api memercik tatkala dua baja tajam itu berbenturan! Terdengar suara gemercing. Si Bungsu tersurut selangkah. Michiko masih tetap tegak di tempatnya. Si Bungsu jadi kaget. Kekuatan gadis itu ternyata luar biasa sekali. Getaran benturan samurai mereka terasa ke tulang tangannya.
Michiko menyerang lagi. Sebuah pancungan ke kepala. Si Bungsu menunduk. Sebuah pancungan ke pinggang. Si Bungsu menangkisnya dengan menegakkan samurainya di sisi badan. Dua baja samurai yang alot itu bertemu lagi. Suara berdentang. Bunga api memercik! Dan si Bungsu dengan kaget tepaksa melompat ke Belakang empat langkah! Samurainya hampir saja terpental karena benturan dahsyat itu. Kalau itu terjadi, maka pinggangnya akan putus dua!
Dia menatap dengan wajah pucat. Gadis itu selain cepat, tenaganya juga luar biasa sekali. Zato Ichi benar-benar menurunkan seluruh ilmunya pada gadis ini. Michiko tersenyum sinis. Orang-orang menatap dengan diam pada perkelahian sepasang anak muda yang mengagumkan itu.
"Keluarkan kepandaianmu, Bungsu! Takkan pernah ada bangsa lain yang melebihi kemahiran orang Jepang bersamurai! Kau sangka kemahiran samuraimu sudah hebat, setelah engkau mengalahkan beberapa jagoan di Jepang sana. Setelah engkau mendapat pengakuan Zato Ichi? Hmm, yang kau peroleh baru kulitnya. Bungsu! Engkau ingin tahu bagaimana bermain samurai yang betul? Ini…!" dan gadis itu menyerang lagi!
Kali ini si Bungsu tak mau main-main. Dia memusatkan konsentrasi. Nafsu membunuhnya yang dia bawa dari rimba di pinggang Gunung Sago seketika mengalir kencang. Mulutnya terkatup rapat. Tangannya melemas. Begitu Michiko menyerang, dengan seluruh kepandaian, dengan seluruh kemahiran, dengan seluruh konsentrasi yang penah dia miliki, dengan seluruh kecepatan yang pernah dia pelajari, dia kerahkan! Tak sampai dalam hitungan dua detik, benar-benar cepat, hanya para malaikat yang tahu betapa cepatnya kedua samurai itu dahulu mendahului! Namun, sekali lagi, dan mungkin untuk kali yang terakhir, si Bungsu dari Situjuh Ladang Laweh itu menjadi kaget.
Michiko jauh lebih cepat. Tidak hanya sekali, tetapi Michiko berkali-kali lebih cepat dari kecepatan yang pernah dia miliki. Tak sia-sia Zato Ichi menurunkan ilmu padanya. Samurainya belum sempurna tercabut, ketika dia rasakan rusuknya belah. Dia melanjutkan mencabut samurainya dengan kecepatan penuh. Saat itu sabetan kedua samurai Michiko telah membelah dada kirinya! Tembus.
Darah memancur ketika samurai itu disentakkan dengan cepat. Samurai di tangannya sendiri baru terayun ke arah Michiko ketika kedua serangan mematikan itu telah selesai dilakukan gadis itu. Samurainya menyerang kepala Michiko, menetak dari atas ke bawah. Namun samurai Michiko menanti ayunan samurainya. Kembali bunga api memercik. Tangannya terasa pedih, tenaga gadis itu amat luar biasa. Samurainya terpental ke udara.
Terdengar orang memekik melihat darah menyembur dari tulang rusuk dan jantungnya. Dia masih tegak. Gadis itu juga masih tegak di depannya, dengan kegagahan yang mengagumkan. Si Bungsu jadi lemah. Kakinya gemetar. Namun dia tak mengeluh. Mulutnya tersenyum. Ketika kakinya terasa tak kuat lagi menahan berat badannya, dia jatuh di atas kedua lututnya.
"Bunuh….bunuhlah saya…." katanya perlahan.
Michiko masih tetap tegak. Menatap padanya dengan pandangan dingin.
"Engkau memang benar-benar hebat Michiko san. Benar-benar pesilat samurai yang paling hebat…ayahmu pasti bangga…" dia masih berusaha berkata.
Darah menyembur dari mulutnya. Jantungnya telah ditembus samurai. Peluit kereta api tiba-tiba memekik. Sayu dan bersipongang. Kereta akan berangkat. Dia menoleh ke kereta yang akan berangkat menuju Payakumbuh itu. Pakaiannya telah ada di atas kereta. Kereta tak mungkin diundurkan keberangkatannya. Saat sakratul maut itu menjemput, peristiwa stasiun Gamagori melintas lagi. Stasiun kecil itu! Bukankah dia membunuh lima orang anggota Kumagaigumi di sana? Ah, stasiun Gamagori, kini dia terkapar di stasiun kecil Bukittinggi! Peluit kereta berbunyi lagi.
Tuit…tuiiiit! pilu dan merawankan hati. Kereta itu akan ke Payakumbuh. Akan mati di sinikah dia? Kereta itu akan ke Payakumbuh. Kenapa dia tak naik saja ke kereta? Tubuhnya akan dibawa kereta ke Payakumbuh. Kalau mayatnya sampai, orang akan membawa mayatnya ke Situjuh Ladang Laweh.
"Sampaikan…pada orang-orang….kampung saya di Situjuh Ladang Laweh… saya. ..ingin berkubur….di sana…di samping pusara ayah, ibu dan…kakak saya…" katanya perlahan.
Dia yakin, suaranya terdengar oleh Michiko. Gadis itu masih tegak diam. Tapi si Bungsu melihat, betapa mata gadis itu basah. Pipinya juga basah.
Si Bungsu ingin mati di atas kereta api. Agar mayatnya bisa tiba di Payakumbuh dan dibawa ke Situjuh Ladang Laweh. Tapi karena tak ada yang menolong, dia merangkak menuju kereta api. Dengan sisa tenaga dia coba merangkak naik ke gerbong. Tak mungkin! Tenaganya habis! Tapi dia harus!
Bukankah kereta ini menuju ke Payakumbuh? Dia merangkak lagi, berjuang untuk naik. Berhasil, tubuhnya berada sebahagian di atas kereta yang bergerak perlahan itu. Darah dari lukanya terus menetes.
Tapi tubuhnya melosoh lagi. Kereta mulai bergerak cepat. Ada beberapa lelaki tegak jauh dari tempatnya. Menatap dengan diam. Dia menoleh pada mereka. Bibirnya bergerak. Ingin mengucapkan "Tolonglah saya…naikkanlah saya ke gerbong. Saya ingin mati di kereta. Tolonglah naikkan saya". Tapi tak ada suaranya yang keluar. Tak ada! Tak ada suaranya!
Yang keluar justru air matanya. Air mata sedih. Sedih kalau dia mati seperti maling di stasiun ini. Dia ingin tubuhnya dibaringkan di gerbong. Sekali lagi dia menatap pada para lelaki itu. Dia kumpulkan tenaganya. Akhirnya, terdengar suaranya bermohon.
"Sanak…tolonglah saya. Saya ingin dibaringkan di kereta itu…..Kereta itu akan ke kampung saya…tolonglah…." namun kedua lelaki itu tak bergerak.
"Di kantong saya ada uang. Cukup banyak….ambillah uang itu sebagai upah sanak menaikkan diri saya…Tolonglah saya, sanak…"
Kedua lelaki itu benar-benar jahanam. Jahanam benar. Mereka tak bergerak sedikitpun! Akhirnya si Bungsu harus berusaha sendiri. Akan begitukah nasib seorang lelaki yang semasa hidupnya pernah sangat perkasa ini?
Dia merangkak. Kereta mulai berjalan perlahan. Dia menggantungkan tangan di bibir pintu gerbong yang memuat pisang. Yang memuat lobak. Yang memuat kayu api. Tubuhnya ikut terseret di sepanjang lantai stasiun! Darahnya menetes.
"Tuhanku, tolonglah aku naik. Tolong hambamu ini, ya Tuhan. Aku hanya ingin mati di atas kereta ini. Agar mayatku sampai ke kampungku. Tolong aku, ya Tuhan…." rintihnya perlahan.
Tapi Tuhanpun seperti tak mendengarkan permohonannya. Tuhanpun tak menolongnya. Tuhanpun tak mendengarkan doa orang yang akan mati itu. Tuhanpun tak kasihan padanya. Tuhanpun seperti belum akan mengakhiri deritanya di situ.
Tangannya lemah berpegang ke bibir pintu gerbong. Dan akhirnya, ketika peluit panjang kembali berbunyi, tangannya tak kuat lagi bergantung. Kereta itu semakin melaju. Lalu lelaki itu, si Bungsu yang pernah hidup malang melintang di Jepang itu, yang banyak menolong manusia itu, di akhir hayatnya tak seorangpun yang mau meolongnya.
Tak seorangpun! Ketika pegangannya terlepas tubuhnya jatuh dari gerbong. Terdengar suara berdembam! Kepalanya terhempas ke lantai. Rasa sakit akibat kepalanya terhempas membuat dia tersentak bangun dan terlompat tegak!
"Nauzubillah. Ya Rabbi….! Mimpi kiranya" dia mengucap.
Peluh membasahi tubuhnya. Dia menatap keliling, dia masih di biliknya di Hotel Indonesia dekat stasiun. Dia baru saja berimpi yang alangkah dahsyatnya. Tiba-tiba terdengar pekik peluit kereta api dari stasiun yang tak jauh dari hotel dimana dia menginap.
Dia menarik napas dan kembali beristighfar. Meraba dada dan rusuk yang dalam mimpi tadi ditembus samurai michiko.
Utuh, ya tubuhnya masih utuh, dia duduk di pembaringan,mengatur pernafasannya yang sesak. Kemudian tegak menuangkan air putih di ceret ke dalam gelas, air itu sangat dingin karena udara kota yang amat sejuk. Dia reguk air itu dua tiga teguk, dadanya terasa agak lega.
Dia turun di pembaringan dan membuka pintu, sudah pagi. Dia pergi kekamar mandi, sesekali menoleh kebelakang. Khawatir kalau-kalau ada michiko. Kemudian di kamar mandi dia berwudhu dan kembali kekamar sembahyang dan kembali duduk di sisi pembaringan. Dia kembali menghapus peluh yang tetap membasahi wajah dan tubuhnya, terlalu dahsyat mimpinya barusan. Dia baru teringat, malam tadi dia tengah berpikir tentang kereta api. Tentang stasiun gamagori, dia kembali berbaring sambil memikirkan bahwa michiko pernah melukainya, bahwa michiko pernah akan membunuhnya. Pikiran itu tak meninggalkan benaknya sampai dia tertidur, rupanya pikiran itulah menjadi mimpi yang dasyat itu.
Dia kembali meraba dada dan rusuknya, utuh. Rupanya tuhan belum berniat mencabut nyawanya. Dia menarik napas panjang kemudian melepaskannya. seperti melepaskan beban yang alangkah beratnya. Matanya menoleh kepembaringan dan samurainya terletak disana. Padahal tadi samurai itu dia letakan dibawah bantal. Kini karena bantalnya telah jatuh, jadi samurai itu berada di atas seprei putih.
Untung dia bermimpi tidak sambil mencabut samurai. Bayangkan kalau dia mimpi sambil mencabut samurainya. Dan memancung-mancungkannya kiri kanan.
Hiii..Dia jadi ngeri sendiri.! lalu dia memungut bantal di lantai, meletakan nya diatas samurai, hingga samurai itu tertutup.
Dia ingin tegak, tapi ingatannya kepada Michiko membuat dia kembali duduk. Suara kereta terdengar lagi...seorang pelayan lewat didepan pintunya yang terbuka.
"Selamat pagi, sudah sembahyang pak?"kata pelayan itu sambil melongokan kepalanya dipintu.
Si bungsu mengangguk sambil mencoba tersenyum.
"Maaf, tadi saya mendengar seperti ada suara berteriak dan suara benda jatuh dari kamar ini, saya khawatir ada apa-apa…"
"Ah, hanya bantal yang jatuh. Terimakasih…"
"Syukurlah, kamar ini memang agak angker pak. Banyak orang yang didatangi mimpi buruk disini, soalnya dulu ada yang gantung diri dikamar ini…"
"Kenapa tidak kau bilang dari dahulu?" katanya agak kesal.
"Ah, kalau saya bilang dari dahulu, bapak tentu tidak percaya. Memang dapat mimpi buruk pak?"Si Bungsu seperti orang sakit gigi dibuatnya.
"Kebetulan ada kamar lain yang kosong, bapak ingin pindah kesana?"
"Tidak,tidak perlu.."jawab si Bungsu agak kesal.
Tapi pelayan itu bukannya pergi dari sana, malah dia melangkah masuk…separuh berbisik dia berkata.
"Di sebelah kamar ini ada gadis cantik, baru tadi malam datangnya. Cantiiik benar.."Si Bungsu menatap pelayan itu dengan berang…tapi pelayan itu malah meneruskan informasinya.
"Saya hampir pingsan waktu dia menanyakan apakah masih ada kamar, dia sendirian. Bayangkan gadis seperti itu datang sendirian. Ada beberapa tamu disini, lelaki tentunya, sampai tidak bisa berdiri begitu melihat gadis itu…"
"Keluarlah…!"
"Bapak tidak percaya? boleh dilihat nanti…"
"Keluar..!!"
"Ya ya saya keluar, Tapi kalau bapak tidak baik-baik tidak saya perkenalkan nanti Bapak…"
"Keluar…!!!"Si Bungsu tegak, pelayan itu terlompat keluar kamarnya. Tapi dari luar dia masih sempat ngomong.
"Menurut paspornya, dia baru datang dari Singapura…"Si Bungsu tidak peduli.
"Dia seorang gadis Jepang Pak..!"Si Bungsu berniat menampar pelayan ini, keterlaluan pikirnya.
"Namanya michiko.."katanya sambil berjalan dan bersiul.
Si Bungsu tertegak dan kaget seperti disambar petir. Dia hampir tidak mempercayai pendengarannya. Apakah pelayan itu ada ngomong tentang gadis jepang dan bernama Michiko? atau yang terdengar olehnya adalah semacam ilusi yang dibawa dari mimpi yang terlalu dasyat barusan tadi. Aneh? hatinya berdebar. Jantungnya berdegub tak menentu.
Tak biasanya seperti ini, peluh kembali membasahi tubuhnya. Untuk menenangkan diri dia pergi mandi, kemudian bertukar pakaian.
Hari ini dia akan ke Payakumbuh dan dari sana baru kekampungnya, Situjuh ladang Laweh. Kampungnya persis di bawah kaki gunung Sago. Dia tak tahu apa yang akan dia perbuat disana. Yang jelas, dan keinginan paling besar adalah menjenguk Pusara Ayah, Ibu dan kakaknya. Kemudian melihat rumah dimana dia lahir dan dibesarkan. Lalu apa lagi? Dia tak tahu, barangkali dia akan tinggal disana, semalam dua malam atau akan pergi lagi.
Tetapi apakah si Bungsu memang salah dengar atas ucapan pegawai hotel Indonesia atas "Gadis di sebelah kamar"itu? apakah benar Michiko dan Michiko yang dimaksud adalah anak dari Saburo Matsuyama, yang datang untuk membalas kematian ayah nya terhadap si Bungsu.? sebab di Jepang ada ribuan gadis yang bernama michiko. Apakah Michiko yang di sebelah kamarnya itu adalah Michiko yang "membunuh"nya didalam mimpi tadi?
Ternyata benar! Dia memang Michiko yang satu itu, dia datang untuk mencari si Bungsu. Namun ketika dia mendaftarkan diri di Hotel ini sama sekali dia tidak tahu bahwa lelaki yang dia cari itu ada di hotel tersebut. Dan ketika dia masuk kekamar nomor dua sama sekali dia tak tahu kalau di kamar nomor empat persis di sebelah kamarnya dan hanya dibatasi oleh sebuah dinding, berbaring si Bungsu, lelaki yang sangat ingin dia temui.
Ketika si Bungsu bermimpi berkelahi dengan Michiko, saat itu Michiko telah bangun. Dia mendengar suara gaduh disebelah, namun tidak dia perhatikan. Dia keluar dan mandi. Kemudian ketika dia masuk kekamarnya, saat itu pula si Bungsu keluar pergi mengambil wudhu.
Kalau saja dia agak terlambat keluar dari kamar mandi, atau si Bungsu sedikit lebih cepat keluar kamarnya, pasti kedua mereka bertemu di gang didepan kamar itu. Pasti!
Ketika si Bungsu sembahyang subuh, Michiko telah keluar, dia pergi menghirup udara pagi yang cerah sambil menapaki jalan dalam kota itu.