Chereads / TIKAM SAMURAI / Chapter 121 - Seorang Teman Ayah Saya Memesannya

Chapter 121 - Seorang Teman Ayah Saya Memesannya

Kedatangannya di bukittinggi di mulai dari kedatangan Donald ke Singapura dari Australia. Setelah menceritakan kepada Fabian tentang perjalanannya dengan si Bungsu mengantarkan jenazah Robert ke Australia, Lalu datang ke Konsulat indonesia.

Di sana dia disambut oleh Overste Nurdin dan Salma isterinya. Karena tamu yang datang membawa berita tentang si Bungsu, Salma segera memanggil Michiko yang saat itu tengah bermain dengan Eka, anak mereka, di taman belakang.

"Michiko san, kemarilah…"

Michiko berhenti mengejar-ngejar Eka. Memangku anak itu, kemudian mendekat.

"Ada apa, Salma san?"

"Ada tamu untukmu…"

"Tamu untukku?"

"Ya. Tamu dari Australia!"

Hampir saja anak dalam gendongannya jatuh. Untung dia cepat menguasai diri.

Tamu dari Australia! Orang yang kenal dengannya dan kini ada di Australia adalah si Bungsu! Apakah lelaki itu yang datang?

"Tenanglah, bukan si Bungsu. Tetapi temannya. Namun dia datang membawa cerita tentang kekasihmu itu. Ayo kita masuk"

Mereka ke ruang tamu. Donald terkesima melihat kedua perempuan cantik itu.

"Kenalkan, ini Michiko. Teman si Bungsu…"

Nurdin mengenalkan gadis itu pada Donald. Donald berdiri. Mengulurkan tangan dengan sikap kagum dan hormat. Yang disambut dengan dada berdegup oleh Michiko. Yang sangat ingin tahu tentang si Bungsu.

"Nona Michiko…?" ulang Donald perlahan.

"Ya, Michiko. Pernah mendengar namanya?" tanya Nurdin.

Donald kembali duduk. Kemudian menatap pada Michiko.

"Saya sering mendengar nama nona. Saya gembira hari ini dapat bertemu dengan nona. Si Bungsu banyak bercerita tentang nona…"

Michiko merasa jantungnya mengencang. Si Bungsu sering bercerita tentang diriku.

Apakah dia masih mengingatku?, pikirnya. Dari Donald mereka semua jadi tahu bahwa si Bungsu telah pulang ke Indonesia, ke kampungnya. Ketika sore hari itu Donald pamitan, ketiga mereka membicarakan soal si Bungsu.

"Saya akan pergi…" kata Michiko perlahan.

"Ke Sumatera Barat?" tanya Nurdin.

"Ya…"

Nurdin menghela nafas. Salma menghela nafas. Kedua mereka menatap gadis itu. Gadis itu

menunduk.

Seperti telah diceritakan pada bahagian terdahulu, Michiko memang tinggal di gedung konsulat itu bersama Salma. Yaitu sejak peristiwa mereka hampir diperkosa pelaut di hotel dimana Michiko menginap, tatkala Salma datang bertamu ke sana.

Kini, keinginan Michiko untuk ke Sumatera Barat tak mungkin ditahan. Nurdin memberikan

peta Sumatera Barat, serta petunjuk dimana letaknya Situjuh Ladang Laweh.

Salma memberikan beberapa alamat famili dan kenalannya di kota Bukittinggi untuk dihubungi Michiko bila ada kesulitan. Tatkala Michiko akan naik pesawat, Nurdin berpesan:

"Saya berharap akan dapat bertemu dengan kalian berdua, Michiko. Maksud saya engkau dan si Bungsu. Saya tahu, engkau berdendam padanya. Namun, saya benar-benar menginginkan tak satupun di antara kalian yang cedera…"

Michiko hanya tersenyum. Senyumnya kelihatan getir. Sebelumnya Salma juga sempat bicara empat mata dengannya.

"Sebagai perempuan dengan perempuan, Michiko, saya ingin mengatakan padamu. Engkau punya kesempatan untuk bertemu dengannya. Lelaki yang sama-sama kita cintai. Engkau satu-satunya yang memiliki kesempatan untuk mendapatkan dirinya. Jangan biarkan dirimu dikuasai oleh dendam keparat itu. Itu nonsens sama sekali. Berfikirlah dengan akal sehat. Dia takkan mau melawanmu, aku tahu itu bukan sifatnya. Bila dia engkau bunuh Michiko, sama artinya engkau membunuh harapanmu sendiri. Kau akan menyesal seumur hidupmu.

Kalian kini sama-sama sebatangkara. Yang kalian butuhkan adalah kasih sayang. Bukan perkelahian dan saling bunuh. Sebagai seorang yang lebih tua darimu, Michiko san, saya ingin engkau bahagia. Saya ingin si Bungsu bahagia. Dan saya yakin, kebahagiaan itu takkan kalian peroleh kalau kalian tidak bersama. Saya ingin mendengar kabar bahwa kalian menikah. Saya akan menanti kalian di sini, datang sebagai suami isteri. Saya selalu berdoa untuk itu, Michiko, adikku!"

Michiko amat terharu dan tak bisa menahan air matanya mendengar ketulusan hati Salma. Dia memeluk Salma. Salma juga balas memeluk dengan mata basah. Dan Michiko pun berangkat.

Di pesawat dia duduk dengan diam. Berusaha menyembunyikan rasa sedihnya berpisah dengan Salma. Keluarga itu sudah seperti keluarganya sendiri. Dia menganggap mereka sebagai kakaknya.

Michiko tak tahu, seseorang yang duduk persis di sisinya sejak tadi menatapnya. Seorang Cina gemuk, bermuka tembem dan berambut tegak lurus seperti alang-alang di tengah padang. Berhidung besar dan bermata kuning.

Lelaki itu menatapnya dengan bernafsu. Beberapa kali tangannya dia sentuhkan ke tangan Michiko.

Gadis itu, yang pikirannya memang tak di situ, tak menyadarinya. Bagi si babah gemuk itu diamnya Michiko dia anggap sebagai "persetujuan" untuk saling senggol-senggolan.

Cina itu makin kurang ajar. Matanya menatap pada dada Michiko yang membusung ketat. Darahnya menggelegak melihat dada yang ranum itu berombak mengikuti alunan nafas.

Michiko baru sadar tatkala tangannya benar-benar dihimpit oleh tangan engkoh gendut itu. Dia menoleh, disambut Cina itu dengan tersenyum.

Michiko yang tak punya prasangka apa-apa, sambil menggeser tangannya dari himpitan tangan si gendut juga tersenyum, sekedar basa-basi. Babah itu seperti mendapatkan durian runtuh.

Eh, salah. Tidak hanya durian tapi juga pisang, kelapa, rambutan dan jambu monyet yang runtuh sekaligus.

"Akan ke Jakalta?" tanya si gendut dalam bahasa Indonesia dengan aksen Tionghoa yang tak ketulungan.

Michiko mau tak mau mengangguk. Babah itu kembali menggesengkan tangannya yang besar ke tangan Michiko. Michiko mengalihkan tangannya dari tangan kursi. Meletakkannya di pangkuan.

"Sendilian?" lagi-lagi si babah bertanya sambil menjilat bibir.

Michiko mulai tak sedap, tapi dia paksakan juga untuk mengangguk. Melihat anggukan itu, babah itu seperti merasa tercekik. Kerongkongannya terasa kering. Dia ingin segera tiba di Jakarta. Di sana segalanya bisa di atur. Dia menyesal juga kenapa tidak bertemu dengan gadis begini di Singapura. Memang banyak gadis yang bisa segera dibawa ke tempat tidur di kota singa itu. Tapi yang cantik seperti ini tak pernah bersua!

Michiko menoleh ke luar. Memandang ke laut luas yang membentang jauh di bawah sana. Sesekali, kelihatan sebuah titik diikuti garis memanjang seperti segitiga.

Sebuah kapal tengah berlayar di Samudera di bawahnya. Garis membentuk segitiga itu adalah ombak yang dibentuk oleh lunas kapal pada permukaan laut. Pada saat itu, babah gemuk itu juga asik memandang pada segitiga di dada Michiko.

Gadis itu memakai baju dengan gunting segitiga runcing pada dadanya. Di ujung segitiga pada bajunya itu terlihat pangkal dadanya yang mengkal.

Babah itu merasa dadanya sesak. Peluh membasahi keningnya. Tubuhnya gemetar. Dia ingin menerkam gadis di sisinya ini. Cina ini nampaknya dijangkiti penyakit gila seks. Saat itu Michiko menoleh, melihat babah itu berpeluh dan matanya jadi merah.

"Tuan saya lihat kurang sehat…." katanya perlahan.

Dan babah itu menyangka bahwa gadis itu memancingnya. Artinya gadis Jepang itu sengaja memancing-mancing.

"Ya, saya sakit. Debar jantung saya sangat keras. Rasakanlah…"

Dengan cepat dan sigap dia meraih tangan Michiko, menekankan ke dadanya. Michiko yang kaget tangannya disambar begitu, semula akan menyentakkannya. Tapi takut dianggap tak ramah, dan melihat lelaki gemuk itu memang pucat dan gemetar serta berpeluh, dia membiarkan tangannya ditekankan ke dada lelaki itu.

Dada lelaki itu memang gemuruh. Apalagi mendapat kenyataan bahwa gadis itu tak menolak tangannya dipegang dan ditekankan ke dadanya.

Michiko mula pertama merasakan tangannya menekan segumpal daging yang bergoyang di dada Cina gemuk itu. Kemudian dia memang merasakan denyut jantung Cina itu tak beres. Cepat-cepat dia menarik tangannya.

"Lebih baik panggil pramugari…" katanya.

Tapi dengan cepat Cina itu memegang lagi tangan Michiko.

"Jangan, jangan dipanggil. Kalau mau agak sesaat saja meraba dada saya, akan sembuh segera…" katanya sambil tetap menekankan tangan gadis itu ke dadanya.

Tapi Michiko baru dapat merasakan sesuatu yang tak beres pada sikap babah gemuk itu. Dia menarik tangannya dengan paksa. Kemudian menatap dengan heran. Cina itu malah nyengir penuh maksud. Michiko menoleh lagi keluar, perasaannya jadi tak sedap.

Kaki Cina itu di bawah menggeser-geser kakinya. Michiko tak ingin bikin ribut dalam pesawat ini. Banyak orang kulit putih dan satu dua orang Indonesia. Dan cukup banyak pula orang Cina.

Dia menoleh ke belakang. Kemudian berdiri, pura-pura akan ke WC. Padahal dia ingin mencari tempat kosong. Karena tempat lewat di depan cina itu sempit, dia lalu membelakang. Ketika lewat pinggulnya bergeser dengan lutut Cina itu. Cina gaek dan gepuk jahanam itu memang sengaja menyorong-nyorongkan lututnya ke depan dan agak meninggikannya. Sehingga lututnya tertekan oleh pinggul Michiko yang sedang lewat. Michiko yang menyangka bahwa jalan itu memang sempit, terus saja menggeser diri.

Michiko pura-pura menuju toilet. Sambil berjalan, dia melirik kiri kanan. Berharap menemukan sebuah kursi kosong untuk bisa pindah duduk. Namun pesawat Dakota yang bermuatan 20 orang itu penuh semua.

Dia masuk ke toilet. Berkaca dan mendapatkan wajahnya agak pucat karena malu dan berang. Dia merasa muak untuk kembali ke tempat duduknya. Tapi terlalu lama di toilet ini juga mustahil. Dia lalu keluar lagi. Yaitu setelah hampir setengah jam dalam kakus itu. Mau tak mau dia kembali lewat di depan Cina gemuk itu. Cina gemuk itu, seperti tadi lagi, menyorongkan lututnya. Kini tangannya juga ikut menggerayang. Meremas pinggul Michiko. Wajah Michiko jadi merah padam. Dia menatap dengan penuh berang pada Cina itu.

Hampir saja dia menyambar samurainya yang tertegak di sisi tempat duduknya. Namun dia tak mau huru hara terjadi. Kalau itu dia lakukan, maka perjalanannya ke Minangkabau bisa terhalang. Makanya dia terpaksa menerima perlakuan itu dengan menekan amarah.

Tapi celakanya Cina itu benar-benar tak tahu diri. Diamnya Michiko dia sangka sebagai persetujuan untuk berbuat makar. Dia nyengir, memperlihatkan tiga gigi emasnya yang sudah menghitam karena candu. Mana sudi Michiko menatapnya. Gadis itu melempar pandangan ke luar.

Untunglah pesawat segera tiba di Lapangan Udara Kemayoran, Jakarta. Kalau tidak, penderitaan gadis itu tentu takkan berujung. Michiko menunggu Cina itu turun duluan. Tapi Cina itu seperti mananti kesempatan untuk menekan pinggul gadis itu dengan lututnya kembali.

"Silahkan nona tulun duluan…" katanya meramahkan diri.

Michiko memandangpun tidak. Saat itu tangannya sudah memegang samurainya. Kalau Cina itu coba berbuat kurang ajar lagi, akan dia hantam saja. Tapi Cina itu tegak. Kemudian turun. Akhirnya Michiko juga turun. Celakanya mereka bertemu lagi di imigrasi.

"Hmm, ini apa yang bawa, nona?" seorang petugas imigrasi menunjuk pada tongkat di tangan Michiko.

"Samurai, tuan…" katanya.

"Samurai?" petugas itu heran.

"Ya. Samurai. Belum pernah melihat senjata begini?"

"Ah, saya terlalu sering melihatnya, nona. Saya hanya tak mengerti buat apa senjata berbahaya begini nona bawa-bawa…"

"Seorang teman ayah saya memesannya untuk kenang-kenangan…"

Petugas imigrasi itu tampaknya agak keberatan. Dia kembali memeriksa paspor Michiko. Dalam paspor itu tertulis bahwa Michiko adalah turis. Dan saat itu adalah sesuatu yang agak aneh kalau ada orang mengaku turis datang ke daerah. Apalagi daerah itu adalah daerah yang baru saja bergolak seperti Sumatera Barat. Tapi ketika Michiko memperlihatkan sepucuk surat, yang ditandatangani oleh overste Nurdin, Atase Militer Indonesia di Malay yang berkedudukan di Singapura, petugas itu tak banyak cincong lagi. Michiko keluar dari kawasan itu.

"Dimana saya… dapat membeli tiket untuk pesawat yang berangkat ke Sumatera Barat?" tanyanya pada seorang lelaki berseragam pilot.

"Nona akan ke sana?" Pilot itu balik bertanya dengan heran, tapi sikapnya sopan.

"Ya, saya bermaksud ke sana…."

"Seingat saya, saat ini belum ada pesawat sipil yang ke sana. Jalur itu khusus diterbangi oleh pesawat Angkatan Udara. Tapi mereka juga menerima penompang-penompang sipil dari pemerintahan. Untuk itu dapat meminta keterangan di ujung sana," ujar pilot itu sembari menunjuk ke gedung lain.

Dia menunjuk ke sebuah gedung tua yang mirip gudang besar. Terletak di antara pohon-pohon kelapa. Jalan menuju ke sana ditumbuhi padang lalang.

Michiko memang mendapatkan keterangan yang sama dari pilot tadi. Rute Jakarta – Padang hanya diterbangi oleh pesawat AURI. Tapi dia mendapat tempat. Hanya sayangnya, pesawat baru dua hari lagi berangkat ke Padang. Sebab pesawat ke sana baru tadi pagi berangkat.

"Ada kemungkinan saya menompang pesawat lain?" tanya Michiko.

"Tidak nona. Memang ada pesawat militer ke sana. Tapi usahkan orang asing seperti Anda. Orang Indonesia tak juga akan diperkenankan ikut dalam pesawat itu…"

"Kalau begitu, saya pesan tiket untuk dua hari lagi…"

"Baik. Kami catatkan. Nona bisa bayar dua hari lagi."

"Tidak. Sekarang saja…"

"Jangan Nona, sebab ada kemungkinan pesawatnya tak berangkat hari itu…"

Michiko mengerutkan kening.

"Saya kurang mengerti maksud Tuan…"