Chereads / TIKAM SAMURAI / Chapter 119 - ”Apakah engkau menjadi pengecut, Bungsu?

Chapter 119 - ”Apakah engkau menjadi pengecut, Bungsu?

"Ya, inilah Matur. Kau akan kemana?"

"Mencari rumah seorang teman. Terimakasih atas tompangannya, Pak.."

Letnan itu tersenyum. Kemudian mengatur anak buahnya. Si Bungsu melangkah perlahan.

Dia tegak dalam bayang-bayang tengah hari yang terik. Lalu mulai melangkah. Perutnya harus diisi. Terasa lapar sekali.

Ada sebuah kedai nasi, kelihatannya sepi. Dia melangkah ke sana. Seorang perempuan tua kelihatan menunggui warung itu. Di dalam, seorang lelaki sedang makan. Si Bungsu melihat ada goreng dan gulai ikan. Ada dendeng. Ada sambal lado dengan jengkol muda. Ada rebus daun ubi. Laparnya menggigit melihat lauk pauk itu. Begitu nasi dihidangkan dia santap dengan lahap. Sesekali dia lihat perempuan pemilik kedai itu mencuri pandang padanya.

Dia tahu, kehadiran setiap orang baru di suatu desa, dalam keadaan bagaimanapun, apalagi dalam keadaan perang begini, pasti menimbulkan berbagai dugaan. Setelah kenyang makan dia memesan secangkir kopi panas. Di luar sana, tentara APRI kelihatan tengah menyusun barisan. Lelaki yang tadi tengah makan ketika dia masuk, kini membayar makanannya. Kemudian keluar. Namun si Bungsu sempat menangkap betapa lelaki itu melirik ke arahnya sesaat sebelum dia melangkah ambang pintu menuju keluar.

"Ibu kenal dengan Narto?" tanya si Bungsu dalam nada biasa sambil menghirup kopinya.

Perempuan itu menoleh. Lalu dengan wajah seperti tak ada apa-apa, dia menggeleng.

"Sunarto yang dulu pernah jadi Anggota Mobrig. Kemudian menjadi pasukan PRRI. Kabarnya isteri dan anaknya ada di sini. Apakah ibu kenal?"

Perempuan itu menggeleng lagi. Matanya melirik ke luar.

"Saya datang dengan pasukan itu. Saya harus menemui keluarganya…"

"Bapak… APRI?"

"Tidak. Tapi…"

"Bapak PRRI?"

"Tidak. Saya kebetulan datang dengan APRI. Saya kenal dengan Pak Narto. Saya harus menyampaikan pesan pada anak dan isterinya…"

Pemilik kedai itu menatap si Bungsu tajam sekali.

"Barangkali anak dapat bertanya di bawah sana. Ke sebuah rumah sebelum pendakian…"

Si Bungsu mengucapkan terimakasih sambil membayar makanannya. Dia menuju ke penurunan yang tadi dia lewati bersama konvoi tentara itu.

Seorang lelaki bertongkat, rambutnya sudah memutih, semua giginya sudah ompong, menunjuk ke reruntuhan sebuah rumah ketika si Bungsu menanyakan rumah lelaki yang bernama Narto itu. Dia tertegun. Jantungnya seperti berhenti berdetak.

"Kenapa…?" tanyanya perlahan.

Lelaki tua itu berjalan ke sebuah pohon yang nampaknya rubuh kena mortir. Dia duduk di sana. Si Bungsu mengikuti dan tegak di depan orang tua tersebut.

"Rumah itu terletak di pendakian, dari rumah itu orang bisa melihat ke jalan di bawah sana. Semua kendaraan yang datang dari Bukitinggi segera terlihat dari jendela rumah tersebut…." orang tua itu bercerita, kemudian terbatuk, dan menyambung…"ketika APRI mula pertama menyerang, rumah itu dijadikan pos PRRI. Semacam pos pengintaian. Tapi ketika APRI berhasil menduduki Matur, ganti APRI lah yang mempergunakan rumah itu.

Keluarga Narto yang tinggal di rumah itu luar biasa takutnya. Sebab semua orang tahu, dan APRI pasti tahu pula, bahwa Narto adalah pasukan Mobrig batalyon Sadel Bereh di Bukittinggi. Namun barangkali Tuhan masih melindungi sebagian keluarganya. Minah, anak gadisnya yang paling tua menikah dengan salah seorang sersan pasukan BR. Seminggu setelah menikah, suaminya dapat cuti ke Jawa. Dia membawa serta Minah dan seorang adik lelakinya yang masih kecil.

Namun tiga hari setelah itu, PRRI datang menggempur, APRI dipaksa mundur. Dan terjadilah bencana itu. Kabarnya Narto tertangkap di Bukittinggi, dan berkhianat. Pengkhianatan itu tambah diperkuat dengan kawinnya anaknya dengan sersan BR, lalu pulang ke Jawa. Pasukan PRRI membakar rumahnya. Menembak istrinya. Begitu juga dua orang anaknya. Adik Minah, gadis yang baru berusia lima belas tahun, diperkosa bergantian. Tapi isteri Narto tak mati. Kini dia dirawat di rumah itu…," lelaki tua tersebut menunjuk ke sebuah pondok.

Si Bungsu jadi tegang mendengar kisah itu. Dan tatkala dia masuk ke pondok yang ditunjukkan itu, di balai-balai kelihatan seorang perempuan sepaoh baya terbaring. Di dekatnya ada dua orang kanak-kanak.

Pastilah anak Narto yang tersisa dari elmaut. Si Bungsu benar-benar tak percaya, bahwa hal ini bisa terjadi. Sunarto, seorang anak Jawa, yang bersedia ditembak mati demi menyelamatkan kawan-kawan PRRI-nya, keluarganya justru dibencanai oleh pasukan PRRI sendiri.

"Bagi kami orang Jawa, kepatuhan pada atasan adalah sesuatu yang mulia….karena saya merasa negeri ini adalah negeri saya, maka saya tak mau membuka rahasia. APRI lalu menyiksa saya. Insya Allah, saya masih bisa tutup mulut. Saya tak mau teman-teman yang sedang berjuang tertangkap karena saya terbujuk, atau tak tahan menderita. Saya bersedia mati demi negeri ini, demi teman-teman yang sedang berjuang…."

Bisikkan Narto seperti menggema menghancurkan selaput telinga si Bungsu. Orang Jawa itu bersedia mati demi Minang, yang diakui sebagai negerinya, dan demi teman-temannya yang sedang berjuang, begitu katanya.

Begitulah katanya! Oh Tuhan. Kenapa Engkau jadikan manusia seperti Narto. Orang yang bersedia mengorbankan nyawanya untuk orang-orang yang justru menistai keluarganya.

"Bapak pasti membawa pesan dari suami saya, bukan?"

Tiba-tiba isteri Narto berkata tatkala melihat si Bungsu tertegak di pintu.

Si Bungsu tak dapat bicara. Ada sesuatu yang terasa menggumpal di tenggorakannya. Di hatinya. Di matanya. Di jantungnya!

"Dimana dia….?" tanya perempuan itu.

"Dia…dia tengah berjuang…," akhirnya pesan Narto itu dia sampaikan juga. Persis bunyinya. Tapi perempuan itu menggeleng. Matanya basah.

"Saya bertanya, dimana kuburannya. Bukan dimana dia kini. Jangan membohongi saya. Saya sebenarnya sudah lama mati. Tapi saya ingin mendengar kabar dari suami saya, itu sebab saya bertahan hidup. Malam tadi saya bermimpi, akan ada orang yang datang membawa pesan suami saya. Saya memang menanti Bapak. Dimana dia dikuburkan?"

Si Bungsu tak mau menangis. Demi Tuhan, demi para Nabi dan para Rasul. Tidak! Bukankah air matanya telah lama kering. Air matanya telah kering ketika menangisi kematian ayah, ibu dan kakaknya di Situjuh Ladang Laweh dahulu. Tidak, dia kini tak lagi bisa menangis.

Namun, ya Tuhan, bagaimana dia takkan menangis melihat tragedi di depan matanya ini? Bagaimana? Beberapa puluh hari yang lalu, seorang lelaki membisikkan padanya, agar dia menemui keluarganya di sini, di Matur ini. Menyampaikan uang gajinya. Menyampaikan pesan, agar isteri dan anak-anaknya itu pulang ke Jawa. Si Bungsu terduduk lemah. Perempuan itu telah mengetahui segalanya. Seperti membaca isi buku pada lembaran yang terbuka. Akankah dia mampu berbohong?

Anak muda yang telah luluh oleh penderitaan itu terduduk di lantai tanah. Jatuh di atas kedua lututnya. Matanya basah, pipinya basah.

"Maafkan saya, Kak. Saya memang berdusta…" katanya perlahan di depan wanita yang dadanya terluka dan tubuhnya yang kurus itu.

"Dimana dia dikuburkan…? ulang wanita itu".

"Maafkan saya, saya tak tahu Kak. Dia sebenarnya berpesan agar saya mengatakan dia masih hidup. Saya telah melanggar janji. Dia ingin Kakak pulang ke Semarang. Dia akan menyusul…"

"Tak perlu lagi….., tak perlu lagi. Dia takkan pernah pulang ke Semarang. Saya juga. Begitu pula dua anak-anak kami yang telah terkubur di belakang pondok ini. Kalau begitu, dia benar-benar telah mati tanpa tahu dimana kuburnya, bukan?"

Si Bungsu mengangguk dan menghapus air matanya. Kemudian tangannya meraih kalung di lehernya. Menanggalkan kalung berliontin timah hitam bundar itu.

"Dia berpesan, agar saya memberikan kalung ini pada Kakak…".

Lemah dan menggigil tangan perempuan itu menggapai. Menerima kalung berliontin itu. Kemudian membawa ke dadanya.

"Ya, dia telah mati. Liontin ini pemberianku. Dan dia pernah bersumpah, bahwa liontin ini hanya akan dia buka kalau dia telah mati….Terimakasih, Bapak telah bersusah-susah datang kemari, untuk menyampaikan pesan itu…."

Si Bungsu mengambil sesuatu dari kantong celananya. Sebungkus uang.

"Dia menyuruh sampaikan uang ini pada Kakak. Uang gajinya yang tak sempat dia kirimkan….".

Perempuan itu menoleh pada kedua anak-anaknya yang masih kecil. Memegang kepala mereka.

"Nak, berat ibu akan meninggalkan kalian. Kalian masih kecil. Tapi, ibu tak tahan lebih lama lagi tersiksa. Jika Bapak ini berbaik hati, kalian akan ditolongnya untuk pulang ke Jawa. Ke rumah nenek kalian di sana…," dan perempuan itu menoleh pada si Bungsu…

"mereka tak punya siapa-siapa, Pak. Barangkali ada tentara APRI yang akan pulang ke Jawa. Tolong Bapak titipkan anak saya ini pada mereka. Di Jawa ada neneknya. Ada kakaknya dua orang….Berikan uang itu pada mereka…." suara perempuan itu sudah terputus-putus….

"tapi saya ingin kepastian, suami saya tak pernah mengkhianati PRRI, bukan Pak?"

Si Bungsu menggigit bibirnya kuat-kuat. Dia hanya mampu menggeleng. Menggeleng beberapa kali.

"Syukurlah…..syukurlah. Negeri indah ini telah memberi kami kehidupan selama puluhan tahun. Negeri ini telah membesarkan anak-anak kami. Kami hidup dengan Berlandas kasihan orang disini. Kami tak mau orang Minang menganggap kami tak tahu membalas budi, dengan mengkhianati mereka….syukurlah…"

Si Bungsu tak dapat menahan tangisnya tatkala perempuan itu meninggal. Kedua anak-anaknya terdiam. Tak ada tangis mereka yang terdengar. Mereka sudah terlalu lelah menangis. Mereka hanya menatap pada mayat ibu mereka dengan diam dan tatapan kosong.

Ucapan perempuan itu seperti menikam-nikam jantung si Bungsu. Ucapan itu memang bukan untuk menyindir siapa-siapa. Namun, si Bungsu merasa, ucapan perempuan itu menyindir jantung Minangkabau! Siapakah sesungguhnya yang tak tahu membalas budi? Narto dan keluarganyakah, atau anak-anakmu yang merejam mereka ini, Minangkabau, siapa?

Ketika kuburan perempuan itu ditutup oleh beberapa tentara APRI, yang membantu menggali lahat dengan sekop mereka, hujanpun turun. Tentara itu juga yang memimpin doa. Kemudian si Bungsu menancapkan sepohon kemboja yang dia patahkan dari pusara lama. Hujanpun makin lebat. Menyiram dan membasahi bumi Minangkabau yang berlumur darah. Azan Magrib berkumandang, malampun mengirimkan sunyi dan gelapnya ke permukaan bumi.

Esok paginya, setelah menitipkan kedua anak Narto ke komandan peleton yang akan cuti ke Jawa beberapa hari lagi, dan memberi anak-anak itu uang yang masih ada padanya, si Bungsu kembali ke Bukittinggi. Dia kembali menginap di Hotel Indonesia, di depan Stasiun Kereta Api.

Dia memilih tempat itu agar lebih dekat ke stasiun, bisa sewaktu-waktu membeli karcis bila akan pulang ke kampungnya, Situjuh Ladang Laweh. Kereta api memang tidak sampai ke sana, hanya hingga Kota Payakumbuh. Tapi menginap dekat stasiun membuat dia bisa dengan mudah bertanya kapan kereta ke Payakumbuh berangkat, dan bisa pula dengan mudah membeli karcis.

Dalam situasi daerah bergolak seperti sekarang, tak setiap hari kereta api bisa berangkat. Baik ke Payakumbuh, Padangpanjang, Solok maupun Padang. Kadang-kadang dalam seminggu baru ada kereta ke salah satu kota itu. Itupun dengan mendapat pengawalan aparat kepolisisan atau tentara. Sabotase, entah dari pihak mana, bisa saja terjadi di suatu tempat.

Setelah menanti tiga hari, akhirnya dia mendapat kabar kereta ke Payakumbuh akan berangkat besok dengan pengawalan beberapa polisi.

Besok dia akan pulang ke kampungnya. Ke Situjuh Ladang Laweh. Rasa rindunya terasa menusuk jantung. Dahulu dia sering dibawa ayahnya naik kereta api kalau ke Bukittinggi ini. Ah, melihat sawah dan desa-desa, mencium asap kereta api, merupakan kerinduan tersendiri.

Sambil berbaring di tempat tidurnya, di Hotel Indonesia dekat stasiun itu, dia segera ingat peristiwa yang dialaminya saat di Jepang. Peristiwa ketika dia menuju Kyoto dari Tokyo. Di kereta api cepat dia bertemu dengan seorang gadis yang pernah dia tolong di Tokyo. Gadis itu adalah Michiko. Anak Saburo Matsuyama. Gadis yang dia tolong yang kemudian membenci dan memusuhinya setelah kematian Saburo di Kuil Shimogamo.

Dia tak bisa melupakan betapa gadis itu pernah melukainya ketika upacara pemakaman ayahnya. Gadis itu bersumpah akan mencari dan membunuhnya.

Michiko ternyata memang mencarinya! Mencarinya sampai ke Bukittinggi!

Pagi itu, saat dia akan melangkah menaiki kereta api di stasiun, ketika dia dengar sebuah suara memanggil. Dia tak jadi naik, menoleh ke belakang.

Di antara palunan orang ramai, dia melihat seorang gadis tegak dengan sebilah samurai di tangan! Michiko! Dia tertegun. Palunan manusia yang ada di stasiun itu terkuak. Hingga tercipta sebuah lorong yang lapang antara gadis Jepang yang cantik itu dengan dirinya. Orang-orang menatap heran.

"Michiko…?" katanya perlahan menahan kejut.

"Ya. Engkau rupanya belum lupa pada saya, Bungsu…."

Suara gadis itu terdengar lantang. Seperti bersipongang di peron stasiun itu.

"Selamat datang…di kampungku, Michiko san…." ujarnya sambil coba tersenyum.

Padahal hatinya mulai tak sedap melihat sikap gadis itu yag tak bersahabat sedikitpun.

"Terimakasih. Saya memang melihat kampungmu indah, Bungsu san. Tapi saya datang bukan untuk menikmati keindahannya. Saya datang dari Jepang mencarimu ke mari untuk menuntut balas. Ingat persoalan yang ada di antara kita?"

Suara gadis itu makin lantang. Orang-orang pada diam tak bergerak. Si Bungsu jadi serba tak sedap. Dia menyesal telah membawa samurainya saat itu. Kenapa tadi tak dia masukkan saja ke dalam buntalan kainnya?

Kini samurainya terpegang di tangan kiri. Gadis itu juga memegang samurai di tangan kiri. Dia jadi serba salah. Akankah dia melayani kehendak gadis ini kalau dia menantangnya untuk berkelahi? Akankah dia membunuh gadis itu, atau justru dia yang terbunuh di sini? Ketika dia berfikir demikian, gadis itu memandang ke palunan orang ramai di stasiun. Lalu terdngar suaranya :

"Saya Michiko, anak bekas serdadu Jepang yang pernah membunuh beberapa lelaki dan perempuan di Minangkabau ini. Ayah saya sudah mati. Dibunuh oleh lelaki ini…" dan tangannya menunjuk pada si Bungsu.

"Ketika menjadi tentara ayah saya membunuh ibu, ayah dan kakaknya. Dia lalu datang ke Jepang sana, lalu membunuh ayah saya dengan alasan menuntut balas.

Kini dari Jepang saya datang kemari, untuk menuntut balas pula atas kematian ayah saya itu. Bukankah adil, kalau setiap anak menuntut balas kematian ayahnya?"

Orang pada terpana. Si Bungsu merasa dirinya berpeluh.

"Tidak benar demikian, Michiko-san. Ayahmu tidak mati di tangan saya. Saya tak pernah membunuhnya. Ayahmu mati karena harakiri, seppuku!. Dia mati terhormat…." ujar si Bungsu mencoba memberikan pengertian kepada orang ramai, sekaligus melunakkan hati gadis itu.

"Bohong! Tak ada kematian terhormat dalam hal yang terjadi atas ayahku. Dia memang mati harakiri. Tetapi dia harakiri karena malu atas perlakuanmu pada dirinya!"

"Michiko…!?"

"Apakah engkau menjadi pengecut, Bungsu? Engkau telah membunuhi puluhan orang Jepang dalam petualanganmu di negeri saya itu. Dan engkau merasa jadi pahlawan. Kini cabut samuraimu!" gadis itu membentak sambil mendahului mencabut samurainya.

Si Bungsu berharap petugas keamanan atau tentara muncul di sana. Kalau ada petugas keamanan atau tentara, dia yakin mereka bisa bertindak mencegah.

Tapi tak seorangpun petugas yang hadir. Tak seorangpun tentara atau polisi yang menampakkan puncak hidungnya. Para petugas itu seperti telah bersekongkol dengan gadis ini untuk memberinya kesempatan membalas dendam.

Tiba-tiba bayangan di stasiun kecil Gamagori melintas di kepalanya. Bukankah dahulu dia juga pernah berkelahi melawan komplotan Kumagaigumi di stasiun kecil di Gamagori? Bandit-bandit Kumaigaigumi itu akan mengganggu Michiko. Namun dia ada disana untuk membelanya. Lima orang anggota Kumagaigumi berhasil dia bunuh. Bergelimpangan di stasiun kecil itu. Kemudian dia naik lagi ke kereta api. Menemui Michiko yang menangis karena menyangka dirinya telah mati. Di kereta api menuju Nagoya itu, dia memeluk bahu Michiko.

Gadis itu menyandarkan kepalanya lalu tertidur di bahunya. Dan sesaat sebelum gadis itu tertidur, dia menyanyi sebuah lagu Jepang. Lagu yang selalu dinyanyikan pelaut-pelaut yang rindu pada kampung halaman. Rindu pada kekasih, anak dan isteri.

Dia coba mengingat bait lagu Jepang itu. Namun amat susah. Dia coba memikirkannya. Dalam kalut dia tak ingat bait bahasa Jepang. Yang ingat cuma bait bahasa Indonesianya.

"Jangan menangis. Jangan sedih.

Meskipun hujan turun lebat

Saya akan tetap pergi

Selamat tinggal.