Chereads / TIKAM SAMURAI / Chapter 113 - Tukang Tunjuk

Chapter 113 - Tukang Tunjuk

Saat itu pergolakan sedang berada di puncaknya. Pagi itu Jam Gadang di pusat kota berdentang lemah delapan kali. Matahari sudah sejak tadi terbit. Namun meski telah sesiang itu, tak seorangpun penduduk yang kelihatan berada di luar rumah. Kota itu seperti kota mati. Beberapa belas mayat berlumur darah kelihatan tergeletak di depan Jam Gadang. Jam itu seperti saksi bisu, menatap mayat-mayat di bawahnya.

Malam tadi PRRI menyerang APRI yang berkedudukan di kota. Kontak senjata tak terhindarkan. Sebagaimana jamaknya perang kota di mana-mana, dibahagian manapun di dunia ini, yang paling menderita bukanlah pihak yang berperang. Melainkan penduduk!

Itulah yang terjadi atas penduduk kota Bukittinggi. Rentetan tembakan yang terdengar malam tadi, masih bersambung sampai pagi. Hari itu adalah hari yang paling hitam dan paling berlumur darah bagi kota yang indah dan sejuk itu. Bahkan di zaman penjajahan Belanda dan di zaman fasis Jepangpun, maut tak pernah menyebar bencana sedahsyat seperti yang terjadi hari itu. Kota itu benar-benar sunyi. Bahkan suara burung-burungpun, yang biasanya terdengar riuh seperti nyanyian kanak-kanak yang gembira, pagi itu sepi.

Bau mesiu dan seringai maut, berbaur dengan anyirnya darah. Tercium di setiap pelosok kota. Sesekali masih terdengar suara tembakan. Sesekali kebisuan yang mencekam itu dirobek oleh derap sepatu berlarian, atau suara truk reot yang mengangkut mayat-mayat.

Rumah Sakit makin siang makin dipenuhi oleh mayat yang berdatangan. Dari Tarok, dari Jalan Melati. Dari Simpang Aurkuning, dari Birugo, dari Mandiangin, dari Lambau, dari Atas ngarai.

Menjelang tengah hari, jumlah mayat tak lagi bisa dihitung, melebihi angka seratus. Menurut kalangan resmi, mayat-mayat itu adalah mayat anggota PRRI. Tapi banyak yang mengenali bahwa sebahagian besar dari mayat itu adalah mayat penduduk kota yang mungkin tak ada sangkut pautnya dengan pasukan PRRI yang menyerang malam tadi.

Di Simpang Aurkuning, di bahagian Timur kota, sepasukan OPR yang tengah berjaga tiba-tiba melihat seseorang berjalan dari arah Tigobaleh.

"Mata-mata…" bisik salah seorang.

"Kita tembak saja…" kata yang lain.

"Jangan, hari sudah siang…"

"Apa peduli kita. Siang atau tak siang…"

"Jangan. Penduduk pasti mengintai dari balik dinding rumah mereka.."

Suara berbisik mereka terhenti, ketika lelaki yang mereka lihat itu tiba-tiba berhenti dekat tiga atau empat mayat yang tengah menanti truk untuk diangkut. Lelaki itu berhenti karena dia dengar rintihan lemah. Ketika dia menoleh, salah satu di antara sosok tubuh yang dianggap telah jadi mayat itu kelihatan bergerak.

"Tolong saya, saya bukan PRRI…," rintih orang yang berlumur darah itu lemah.

"Hei, kau kemari!" bentak OPR itu sambil mengokang bedil.

Tapi lelaki itu tetap menunduk mengamati lelaki yang merintih tadi. Kemudian berkata.

"Orang ini masih hidup, Pak. Dia bukan PRRI…"Kemudian dia mengulurkan tangan.

Orang yang luka itu berusaha bangkit. Ketika tangan mereka hampir berpegangan, suara letusan bergema. Lelaki yang luka itu tercampak. Kepalanya pecah, mati! Orang yang menolong itu tertegun. Matanya menatap mayat yang sebentar ini masih bergerak. Terdengar suara OPR itu menghardik.

"Kemari kau, gerombolan!"

Perlahan lelaki itu menoleh.

"Orang ini bukan PRRI…" katanya lambat.

"Bicara kau sekali lagi, kutembak kepalamu!" bentak OPR itu garang.

Kemudian separuh berlari dia mendekati lelaki asing yang tak di kenal itu. Tapi langkah OPR itu tiba-tiba seperti terhenti. Lelaki asing itu menatapnya. Yang membuat OPR itu terhenti adalah tatapan mata lelaki tersebut.

Tatapan matanya setajam pisau cukur. OPR itu jadi ragu-ragu. Bedilnya yang dikokang masih di tangannya. Dia menatap lelaki asing itu. Berbaju gunting cina berwarna putih. Bercelana pantolan dan sebuah tongkat kayu di tangan kirinya. Rambutnya agak panjang, tapi rapi. Usianya paling lewat sedikit dari tiga puluh. Seorang lelaki yang gagah tapi berwajah murung. Namun tatapan mata lelaki itu membuat jantung si OPR seperti berhenti berdetak. Tiba-tiba tedengar suara temannya berseru dari belakang.

"Hei, Kudun! Bawa orang itu kemari!"

Seruan itu mendatangkan semangat bagi si OPR. Dia maju beberapa langkah lagi. Di belakangnya dia dengar langkah dua tiga temannya mendekat.

"Kau anjing! Banyak bicara! Gerombolan busuk!" bentaknya sambil menghantamkan ujung bedilnya pada lelaki asing itu.

Aneh, lelaki itu sama sekali tak berusaha untuk mengelak. Dia tetap tegak dan menerima pukulan itu dengan diam. Suara berderak terdengar ketika ujung bedil dari besi padu itu menerpa keningnya. Keningnya robek. Darah mengalir membasahi mukanya. Membasahi baju gunting cinanya. Membasahi tongkat kayu di tangan kirinya!

"Ayo ikut kami!!" bentak OPR itu.

"Orang itu bukan PRRI…" lelaki itu masih bicara perlahan.

"Jangan kau coba membelanya. Dia kami tembak ketika berusaha melarikan diri pagi tadi. Dia membawa bedil!" suara OPR itu terdengar keras menjelaskan.

"Dia takkan pernah ikut berperang…" ujar lelaki itu perlahan.

Matanya menatap pada mayat yang tadi akan dia tolong, yang ditembak saat tangannya tengah menggapai. OPR yang tiga orang itu juga menatap pada mayat yang pecah kepalanya itu. Tiba-tiba mereka melihat sesuatu. Sesuatu yang memberikan alasan bagi lelaki asing itu untuk mengatakan bahwa yang baru mati itu bukan PRRI. Mayat itu ternyata buntung kaki kirinya.

Itu jelas terlihat dari kaki celananya yang diikat sampai di atas lutut! Lelaki itu cacat!

Bagaimana mungkin seorang yang kakinya hanya sebalah bisa ikut menyerbu kota. Bisa melarikan diri dengan teman-temannya seperti yang dituduhkan OPR sebantar ini?Ketika mereka menatap lelaki asing itu, jantung mereka merasa bergetar. Tatapan matanya yang tajam itu seperti akan menikam mereka.

Namun ini adalah perang. Lelaki asing itu tak membawa bedil. Sementara mereka membawa bedil. Dan bedil membuat orang jadi berani. Bedil di tangan orang zalim pasti mendatangkan bencana. OPR yang tadi menembaki lelaki buntung itu mengokang bedilnya. Dialah yang tadi mengusulkan agar lelaki yang baru muncul itu ditembak saja. Kini dia berniat melaksanakan niatnya itu.

Niat pertamanya menghantam kepala lelaki itu hingga berdarah sudah kesampaian. Kini niat berikutnya, menembaknya sampai mampus!

Dalam negara SOB begini, takkan ada yang bakal berani menuntut! Apalagi mereka OPR, sayap resmi tentara Pusat! Begitu bedil dia kokang, begitu loopnya dia arahkan ke dada lelaki itu. Namun entah setan darimana yang menyambar, sebelum pelatuk bedil panjang itu sempat dia tarik, OPR itu melihat tangan lelaki itu bergerak. Lalu pukulannya yang telak sekali menghajar wajahnya!

Terdengar suara berderak. Gigi OPR itu rontok tiga buah! Dia tersurut. Teman-temannya yang lain ternganga kaget. Kejadian itu begitu cepatnya. Kembali lelaki asing itu bergerak. Kali ini kakinya. OPR yang menembak orang cacat itu merasa perutnya diseruduk kerbau. Tubuhnya terlipat dan tercampak sedepa ke belakang!

Kedua temannya masih menatap kaget. Belum pernah ada orang yang demikian berani mampus melawan OPR. Lelaki itu masih tegak. Kepalanya berlumur darah. Tangannya memegang tongkat. Matanya masih menatap tajam! Setelah hampir muntah, OPR yang tercampak kena tendang itu bangkit. Merasa malu dihajar di depan temannya, dia lalu kembali mengacungkan bedil. Saat itulah tongkat lelaki itu bergerak. Selarik sinar putih, yang alangkah cepatnya, kelihatan muncul membentuk setengah lingkaran. OPR itu tak sempat memekik. Dadanya belah dan dia rubuh dengan mata terheran-heran atas kejadian yang tak dia mengerti. Darah menyembur-nyembur dari dadanya yang menganga. Teman-temannya yang tegak di dekatnya, tersembur oleh darah yang muncrat itu. OPR itu menggelepar seperti ayam disembelih.

Empat orang tentara yang tegak tak jauh dari sana menyadari bahaya yang ditimbulkan oleh lelaki asing itu. Dengan bedil terkokang mereka mendekat. Tapi saat itu pula lelaki asing itu bertindak. Dia mencekal leher seorang OPR didekatnya. Kemudian menekankan tongkatnya yang telanjang. Yang tak lain dari samurai, yang dingin dan tajam itu keleher OPR itu. Ke tiga tentara yang sedang berlari itu tertegun. OPR yang tengah disendera itu pucat dan menggigil.

"Menyerahlah dengan baik-baik. Kalau tidak kami tembak..!"ujar seorang sersan sambil menodongkan pistolnya.

Tapi lelaki bersamurai itu melindungkan diri dibalik badan OPR yang disanderanya.

"Saya tak percaya pada ucapanmu, sersan…!"ujarnya dingin.

"Kalian, para pemberontak. Takkan mungkin menang, sekarang menyerahlah..!"

"Saya bukan pemberontak, sersan. Tak ada urusan saya dengan PRRI. Seperti tak ada urusan saya juga dengan kalian. Saya sama dengan lelaki buntung itu. Bukan PRRI, saya hanya tak suka melihat OPR ini bertindak buas. Kalian boleh saling tembak sesama tentara. Tetapi jangan membunuh rakyat yang tak tahu apa-apa…"

Sersan itu seperti menelan sesuatu yang pahit mendengar ucapan lelaki yang sama sekali tak dikenal itu. Lelaki itu menyeret OPR yang sedang disandera dengan samurai itu mundur.

"Kalian tetaplah tegak disana. Kalau tidak leher orang ini akan saya potong…"ancam lelaki itu.

Sersan itu memang tak bisa berbuat apa-apa. Soalnya OPR yang disandera itu, bukan sembarang OPR. Dia sebenarnya, adalah mata-mata yang lihai. Dia lah yang dua hari lalu mencium ada serangan kekota. Kalau kini mereka bertindak gegabah, maka jelas OPR itu akan mati. Sementara dia berpikir begitu, orang yang menyeret mata-mata andalan itu telah jauh. Mereka hanya bisa menatap dengan diam, kalau saja OPR itu, hanya OPR biasa maka mereka akan menembak biar kedua-duanya mati! Tapi dalam kasus yang satu ini tidak mungkin. Kalau OPR itu mati, maka mereka akan kehilangan mata-mata alias tukang tunjuk yang lihai. Yang mampu menyamar dan menyusup kedesa-desa, untuk mencium gerak-gerik PRRI.

"Kita kejar.."ujar seorang kopral.

"Tidak.."bisik si sersan.

"Tapi, Nuad akan dibunuh…"

"Tidak, nampaknya orang itu tidak sembarangan membunuh…"

Benar, lelaki itu yang tak lain dari si Bungsu.Memang tak mau sembarangan main bunuh. Dia menyeret OPR itu kedalam belukar di penurunan Tambuo. Sebuah tempat angker antara Bukittinggi dan Tigo-Baleh. Jauh dibawah sana, mengalir sebuah sungai yang berbatu dengan arus yang deras dan berbelukar lebat. Di tempat ini, puluhan orang mati sejak pergolakan ini. Sedangkan pada jaman Belanda dan Jepang dulu, tempat ini juga dikenal tempat penyembelihan manusia yang amat ditakuti.

"Ampun pak…. Ampunkan saya… Saya jangan dibunuh, saya punya anak dan istri… Saya orang Bukittinggi ini, kita sekampung…"

OPR itu menghiba-hiba, ketika diseret si Bungsu kebelukar dengan kasar. Dia jadi ngeri, ketika tahu kini dia berada di Tambuo!

Tiba-tiba si Bungsu menghentikan langkah. Melepaskan si OPR. OPR itu berlutut tiba-tiba. Menangis terisak-isak minta ampun.

"Diamlah! nanti kupotong lehermu…" bentak si Bungsu dengan suara dingin. OPR itu terdiam.

"Berdiri..!"

OPR itu berdiri.

"Kau mengaku orang Bukittinggi, mengaku punya anak dan istri, meminta-minta ampun untuk tak dibunuh. Apakah kau tak pernah berpikir begitu pula orang yang kau bunuh?"tanya si Bungsu geram.

OPR itu terdiam. Si Bungsu menatapnya dengan jijik. Kalau saja dia tahu, bahwa OPR ini tukang tunjuk yang tersohor, yang bernama Nuad Sutan Kalek, dia pasti akan membunuhnya. Nuad adalah tukang tunjuk yang tak kenal belas kasihan.

Tapi si Bungsu, seperti yang diucapkannya tadi, memang tak ikut campur Dalam Perang Saudara ini. Dia hanya tak suka orang berbuat sewenang-wenang. kinipun setelah menatap dengan matanya yang tajam, yang membuat bulu kuduk Nuad merinding, anak muda itu lantas beranjak.

Dia menyelusup diantara belukar lebat dan rimbun bambu yang memenuhi Tambuo. Buat sesaat Nuad Sutan Kalek, seperti bermimpi. Benarkah dia lepas begitu saja.? Kalau begitu orang ini bukan PRRI. Sebab kalau PRRI, maka nyawanya pasti sudah melayang. Ketika dia yakin orang yang tak dikenal itu tak ada lagi, dia lalu bergerak. dan begitu sampai dijalan, dia lari pontang-panting ke induk pasukannya di Simpang Aurkuning.

Tak seorang pun yang tahu dengan pasti. baik PRRI atau pasukan APRI, yang kini menguasai kota-kota di Minangkabau, bahwa sebagian OPR yang mereka bina, sebenarnya orang-orang yang sudah lama dibina Komunis.

Minangkabau di masa pergolakan itu adalah basis partai-partai Islam. Sejak lama, orang minangkabau yang menjadi anggota partai Islam sangat memusuhi orang-orang PKI. Tapi justru PKI sekarang dapat angin segar, dengan timbulnya pergolakan. Mereka lalu menyusup kedalam tubuh OPR. Gerakan mereka begitu rahasianya, sangat terkoordinir seperti jaringan laba-laba.

Tak terlihat secara langsung, namun kehadirannya terasa dimana-mana. Ada sebab jaringan PKI sangat rapi. Kenapa mereka begitu berhasil menyusup ke instansi pemerintah dan militer. Organisasi mereka ditata dengan konsep yang sangat moderen. Kader-kader mereka dapat didikan khusus dari unisovyet atau RRT.

Sesuatu yang di Sovyet dan RRT tak pernah dikecap rakyatnya. Namun di indonesia mendapat pasaran. Sebab sebahagian pemimpin Indonesia berlomba mendapatkan harta dan kedudukan bagi pribadinya.

Partai Islam sendiri saat itu tercecer, selain karena tak pernah menjanjikan kebahagian duniawi seperti komunis, juga karena kader-kadernya hanya mendapat pendidikan lokal. Selain itu, dan ini masuk penting, pimpinan-pimpinan partai Islam yang jumlahnya banyak itu, saling bercakaran untuk mendapatkan kedudukan.

Kemana si Bungsu setelah peristiwa di Simpang Aurkuning itu? Tak seorangpun yang tahu. Yang jelas, sesaat setelah Nuad si OPR itu melaporkan peristiwa itu ke komandan pasukannya, APRI lalu memburunya. Namun jejaknya lenyap dalam belukar Tambuo itu.

"Kau tahu siapa dia?" tanya sersan yang memimpin pencarian itu.

Nuad yang baru dibebaskan si Bungsu menggeleng.

"Bukan orang Tigobaleh, misalnya?"

"Tidak. Saya kenal setiap batang hidung orang Tigobaleh. Tak satupun yang mahir mempergunakan samurai. Saya tak pernah melihat orang itu sebelum ini di Bukittinggi. Saya benar-benar tak mengenalnya, Pak."

"Kau bisa usahakan mencari informasi tentangnya?"

"Saya akan usahakan. Tapi orang ini nampaknya amat berbahaya…"

"Ya. Itu sudah dia buktikan tadi ketika menghantam dan membunuh Sutan Kudun…".

Pasukan itu lalu meninggalkan Tambuo. Padahal si Bungsu tak pergi jauh, hanya dua ratus depa dari mereka, di tebing yang terlindung oleh hutan bambu, dia tengah duduk dan menatap pada mereka dengan diam. Sejak tadi dia memperhatikan gerakan pasukan APRI yang mencarinya itu. Pasukan itu memang hanya tegak di jalan. Menatap keliling. Tidak menyeruak semak belukar.

Malam itu, saat tentara PRRI menyerang kota Bukittinggi, si Bungsu bermalam di rumah kawannya yang terletak di Tigobaleh. Mereka mendengar suara tembakan. Bahkan sampai pagi.

Sebenarnya pagi itu dia sudah akan menuju ke kota, tapi temannya melarang. Berbahaya ke kota dalam situasi begitu. Esoknya setelah hari agak tinggi, dia berkeras juga untuk pergi dan dilepas dengan was-was. Akhirnya hanya sekitar setengah jam keluar dari rumah temannya di Tigobaleh, dia terjerat dalam peristiwa berdarah di Simpang Aurkuning itu.

Anggota OPR yang mencegatnya, demikian pula yang bernama Nuad, yaitu mata-mata lihai yang dia ancam dengan samurai itu, rata-rata merupakan orang baru di Bukittinggi. Baru sekitar sepuluh tahun. Makanya mereka tak penah mengenal bahwa dahulu di kota itu ada seorang anak muda yang kemahirannya bersamurai amat luar biasa.

Si Bungsu mengunyah beberapa macam dedaunan yang dia pungut dari belukar di Tambuo itu. Lalu menempelkannya ke luka di keningnya. Dalam waktu singkat, darah itu berhenti mengalir. Pening kepalanya lenyap.

Bagi anak muda ini, soal obat-obatan bukan hal yang aneh. Dia belajar meramu obat-obatan dari daun, getah, kulit kayu dan rumput saat mengasingkan diri di Gunung Sago dahulu.

Pasukan APRI yang memburunya sudah dari tadi lenyap. Beberapa saat dia masih duduk di belukar itu. baru kemudian bangkit perlahan. Menuruni tebing yang air mengalir di bawah.

Dia buka baju gunting cinanya yang berlumuran darah, begitu juga dengan celana pantolan hitamnya. Dia cuci di sungai yang dingin dan alangkah sejuknya itu. Kemudian dia jemur dibatu. Sinar matahari yang terik akan mengeringkannya. Hanya dengan menggunakan celana pendek dia membaringkan dirinya di rerimbunan hutan bambu. Kemudian menjelang sore, anak muda ini kembali kedalam kota, alangkah nekatnya!

Dalam situasi begitu orang lain pasti sudah menyingkir jauh-jauh. Tapi bagi si Bungsu tak ada alasan untuk menyingkir. Dia benar-benar buta politik. Menurut anggapannya, peristiwa di Tambuo itu bisa selesai dengan sendirinya. Tak diketahuinya, peristiwa tersebut menjalar dengan cepat ditubuh pasukan APRI yang berada di kota. Banyak mata OPR dan tentara yang menyaksikan betapa dia membantai OPR yang bernama Kudun itu dengan samurainya.

Cerita itu menjalar seperti api dalam sekam. Mata-mata pun disebar untuk mengetahui serta mencari dimana lelaki itu berada. Dalam saat yang demikianlah dia memasuki kota.

Menjelang sore kota memang sudah agak ramai. Artinya meski dalam keadaan takut-takut, namun penduduk sudah berani keluar rumah. Ada yang belanja ke pasar. Toko dua tiga sudah ada yang buka sejak siang tadi.

APRI yang menjaga disetiap sudut kota mengawasi setiap orang yang lalu lalang dengan teliti. Namun tak ada tindakan kekerasan yang dilakukan. Bagi penduduk kota sebenarnya kehadiran APRI membuat mereka merasa aman. Mereka bisa keluar rumah, ke pasar, kanak-kanak sekolah atau melakukan kegiatan sehari-hari dengan tentram. Ketakutan justru muncul ketika terjadi pertempuran, sebagaimana yang baru saja terjadi tadi malam.

Biasa nya dalam keadaan seperti itu kedua pihak, PRRI maupun APRI tidak akan pandang bulu.

Si Bungsu menuju Pasar Atas. Dekat pendakian Jam Gadang tiba-tiba dia dicegat tentara berpakaian loreng, si Bungsu tertegun, namun dia berusaha untuk kelihatan tenang, tentara itu berpangkat Sersan Mayor.