"Maaf, ada korek api, pak?"tanya tentara itu setelah dekat.
Si Bungsu menarik nafas, dia merogoh kantong,namun segera sadar bahwa dia tak pernah membawanya karena dia tak merokok.
"Ah, maaf. Saya tak membawanya…"ujarnya.
"Bapak akan kepasar?"tanya tentara itu dengan ramah.
"Ya…"
"Ada membawa kartu penduduk?"
"Ada.."si Bungu merogoh kantongnya berniat mengambil KTP yang memang telah dia siapkan, tapi sersan itu menggoyangkan tangannya.
"Tidak. tak perlu bapak lihatkan. Yang penting bapak hati-hati saja. Kalau ada tanda bahaya cepat sembunyi cari perlindungan…"
"Akan ada serangan lagi?"
"Saya rasa tidak. Tapi siapa tahu bukan ? rasanya gegabah kalau PRRI masih akan menyerang kota lagi. Peperangan seharusnya tak dilakukan dikota. Karena yang paling kena getahnya adalah penduduk. Bapak lihat banyak yang mati tadi?"
"Tak semua. Apakah semua yang mati adalah penduduk?"
"Tidak. Banyak anggota PRRI. Tapi, saya rasa peluru tak bisa membedakan mana yang penduduk atau bukan. Malam tadi PRRI menyerang secara besar-besaran. Kabarnya penyerangan itu dipimpin langsung oleh Kolonel Dahlan Djambek.."
Pembicaraan mereka terputus ada suara peluit panjang. Tentara itu tak sempat pamitan, dia berlari kearah suara peluit itu. Si Bungsu meneruskan langkahnya, tapi firasatnya mengatakan akan ada terjadi sesuatu pada dirinya. Cara sersan tadi memandangnya agak ganjil. Memang tak begitu mencurigakan. Tapi ada dua kali dia mencuri pandang melihat luka dikepalanya. Apakah cerita tentang dirinya di Simpang Aurkuning pagi tadi sudah disebarluaskan? cepat-cepat dia menyelinap ke dalam pasar.
Benar saja, dalam waktu singkat tiba-tiba pasar segera digeledah. Sersan tadi memang memperhatikan luka dikeningnya. Tapi tak ada membawa tongkat. sersan tadi memang pura-pura menayakan korek api. Padahal dia ingin memastikan apakah orang ini yang sedang dicari, yang telah membunuh seorang OPR tadi pagi.
Dia masih ragu, walau ada luka yang sudah dikasih perban di keningnya. Dia ingin memastikan apakah lelaki itu menyimpan samurai dibalik bajunya. Namun dia tak lihat. Suara peluit memutus penyelidikannya. Dia datang kepada komandannya yang berdiri tak jauh dari Jam Gadang. Ketika dia menjelaskan ciri lelaki yang baru ditemui dia barusan tadi, maka Nuad sutan Kalek, si OPR mata-mata yang kebetulan ada disana, meyakinkan bahwa itulah orang yang mereka cari.
Ada sekitar tiga puluh tentara yang berlari menyusul si Bungsu. Untunglah firasat anak muda itu memberitahu akan bahaya yang bakal menimpanya. Dia lebih dulu menghindar.
Dalam pasar yang bangunannya begitu rapat, dengan mudah dia menyelinap menghilangkan jejak. Dalam langkah cepat dia sampai di Mesjid Pasar Atas. Kemudian turun lewat samping menuju kampung Cina. Dari sana dia bergegas kearah Benteng dan turun di Atas Ngarai. Di atas ngarai dia masuk kesebuah kedai kopi. Ada dua atau tiga lelaki yang sedang mengopi dikedai tersebut. Dia duduk dan mengambil tempat disudut.
"Teh manis .."katanya.
Tak ada yang mengacuhkannya. Diluar terdengar derap kaki tentara menujuPanorama. Dua lelaki nampaknya selesai minum, lalu membayar dan pergi. Tinggal dikedai itu dia dan seorang lelaki lain. Lelaki itu juga selasai minumnya dan membayarnya. Ketika menunggu kembalian uangnya tanpa sengaja dia menoleh kearah si Bungsu. Kebetulan si Bungsu juga tengah memperhatikan lelaki itu. Mata lelaki itu terbelalak dan mulutnya ternganga.
"Ya Tuhan, apakah saya tak salah lihat? si Bungsu bukan?" tanya lelaki itu hampir tak percaya.
Kini si Bungsu pula yang kaget setelah mengenal lelaki itu setelah dia bicara.
"Ya Tuhan,Pak Kari….!"katanya sambil bangkit.
Kedua lelaki itu berpelukan didalam kedai kecil itu. Pemilik kedai hanya menatap dengan diam.
"Hei,Rabain. Kau ingat orang ini? si Bungsu yang menghajar Jepang dahulu…?"
Kari Basa memperkenalkan si Bungsu pada pemilik kedai tersebut. Pemilik kedai yang bernama Rabain itu hanya melongo. Kemudian menyalami si Bungsu.
"Namamu sejak dahulu kudengar, anak muda. Sebentar ini juga. Apakah benar dia yang membuat peristiwa di Tarok itu?"
Kari Basa menatap pada si Bungsu setelah pemilik kedai itu bertanya. Setelah menatap sejenak keluar, memastikan tak ada tentara atau orang lain, Kari Basa ikut bertanya.
"Kami mendapat kabar, pagi tadi di Aur Kuning ada OPR yang dibantai orang dengan samurai. Menurut sebagian orang, OPR itu dicido dari belakang. Tapi ada yang berkata, bahwa OPR itu akan menembak dan lelaki itu tiba-tiba menggerakkan tangan. Dan tiba-tiba saja dada OPR itu belah oleh samurai. Saya mendengar cerita itu, dan setahu saya hanya seorang yang mampu melakukan hal itu, yaitu engkau. Sebentar ini, dua lelaki yang keluar tadi, adalah orang-orang PRRI. Mereka juga mendengar cerita itu. Kini engkau muncul tiba-tiba. Jangan mungkiri bahwa memang engkaulah yang telah membantai OPR itu. Benar bukan?"
Si Bungsu hanya menatap pada orang tua itu. Kari Basa, ayah Salma. Alangkah lamanya mereka tak berjumpa.
"Benar cerita itukan, Bungsu?"
"Ya…." jawabnya perlahan.
"Hei, kita ke rumah. Tentara kini berkeliaran mencarimu. Tapi tak apa, itu hanya sebentar.
Banyak tugas mereka yang lebih penting daripada hanya mencari engkau. Sepuluh dua puluh OPR mati, biasa. Mari, kita ke rumah. Rabain, kami pergi…."
Si Bungsu mereguk minumannya. Kemudian akan membayar. Tetapi pemilik kedai itu menolak. Mereka berjalan kaki menuju arah Panorama. Ada dua tiga truk penuh tentara melewati mereka menuju ke rumah sakit. Tapi karena Kari Basa demikian tenang, si Bungsu juga menjadi tenang. Dan tiba-tiba saja, mereka tegak di depan sebuah rumah.
"Kau masih ingat rumah ini?"
Kari Basa bertanya perlahan sambil merogoh kantong. Mengeluarkan sebuah kunci dan menaiki tangga batu. Si Bungsu masih tertegak beberapa saat.
Betapa dia takkan ingat?
Di rumah inilah dahulu dia di rawat oleh Salma selama beberapa puluh hari, setelah tubuhnya dicencang oleh Kempetai dalam terowongan di bawah kota ini. Di rumah inilah dia berlatih kembali mempergunakan samurainya, setelah sekian lama tak menyentuh senjata itu. Akhirnya dia melangkah naik.
"Ini kamarmu, ingat?"
Si Bungsu tersenyum.
"Saya beberapa kali menerima surat dari Salma, yang mengatakan bahwa kalian bertemu di Singapura. Dia menceritakan semua yang terjadi di sana."
Si Bungsu tak menjawab. Tapi sambil mendengarkan dia memperhatikan kuku kaki dan kuku jari tangan Kari Basa. Ternyata semuanya utuh.
Tahu bahwa anak muda itu memperhatikan tangan dan kakinya, yang dahulu semasa sama-sama ditahan di lobang Jepang, kukunya dicabuti semua oleh Jepang, Kari Basa berkata :
"Sudah tumbuh semuanya…"
"Bapak berada dalam kota, apakah berpihak pada APRI?" ujar si Bungsu.
Lelaki tua itu tertegun. Kemudian menoleh keluar.
"Panjang ceritanya, Bungsu. Tapi saya akan solat Asyar dulu. Nanti kita cerita…"
"Ya, saya juga akan solat…"
Malam harinya, Kari Basa bercerita. Dia tak ikut berperang. Memang teman-temannya membawanya serta.
"Saya memang tak setuju dengan kebijaksanaan pusat. Tapi memberontak menurut saya taktik yang salah. Sekurang-kurangnya saya tak sepaham. Maka saya tetap tinggal di kota."
"Bapak berpihak pada APRI?"
"Terserah bagaimana penilaian oranglah. Tapi yang jelas saya tak ikut ke hutan…"
"Bapak menjadi informan PRRI?"
Kembali Kari Basa menggelengkan kepala.
"Kalau begitu bapak informan APRI?"
"Juga tidak Bungsu. Teman-teman memang membawa saya untuk aktif lagi dalam APRI.
Namun betapapun jua, Minangkabau ini adalah kampung saya. Barangkali sikap saya adalah sikap yang buruk. Tak bisa berpihak. Tapi saya memang berada dalam posisi yang serba sulit.
Di satu pihak, saya memang tak suka akan kekacauan politik yang terjadi dalam kabinet sekarang. Saya juga tak suka pada cara Presiden Soekarno yang amat berpihak pada komunis. Tapi saya juga tak mau memberontak. Saya lebih-lebih tak suka lagi, kalau saya harus memanggul senapan dan memburu PRRI. Mereka adalah orang kampung saya semua, teman, anak dan kemenakan. Teman-teman dari PRRI dan juga dari APRI meminta saya untuk menjadi informan mereka. Tapi saya menolak.
Nah, sejak tadi kau menanyai saya, Bungsu. Seolah-olah engkau seorang intelijen. Apakah engkau salah seorang dari PRRI itu?"
Si Bungsu tak segera menjawab. Dia melemparkan pandangannya ke luar jendela. Di luar sana, beberapa anggota APRI kelihatan mondar mandir di jalan raya.
"Saya baru datang, Pak. Saya bertanya pada Bapak, karena saya tak tahu tentang apa yang telah terjadi di kampung kita ini. Kenapa negeri yang dahulu Bapak dan teman-teman Bapak pertahankan dengan mengorbankan nyawa ini tiba-tiba diamuk perang saudara. Saya dengar Pak Dakhlan Jambek kini berada di Tilatang Kamang. Apa sebenarnya yang telah terjadi, Pak Kari? Apa sebabnya kita memberontak. Apa sebabnya APRI yang juga orang Indonesia itu, malah di antaranya juga terdapat orang-orang Minang, hari ini justru datang kemari untuk saling berbunuhan dengan saudara-saudara sebangsanya? Tolong Bapak ceritakan, saya ingin mendengarkannya.
Tadi pagi saya memang membunuh seorang OPR. Tapi sungguh mati, saya bukan PRRI. Saya juga tidak simpatisan mereka. Itu bukan pula berarti saya berada di pihak APRI, tidak. Saya hanya membunuh OPR itu karena dia tak memberi kesempatan hidup pada seorang lelaki cacat yang minta tolong pada saya. Dia mengatakan bahwa lelaki cacat itu PRRI. Kalaupun benar, tetapi lelaki itu luka. Kenapa dia tak ditolong? Saya benci pada OPR yang tak berperikemanusiaan itu. Demi Tuhan, kalaupun yang melakukan aniaya itu adalah orang PRRI, maka saya juga akan membunuhnya. Itulah yang terjadi, Pak. Kini harap Bapak ceritakan, kenapa negeri kita ini sampai berkuah darah?".
Kari Basa termenung. Ucapan anak muda itu, menghujam jauh ke lubuk hatinya. Setelah lama termenung dan merekat kembali segala yang diketahuinya tentang mula pergolakkan ini, Kari Basa lalu bercerita…..
Pada mulanya adalah rasa tak puas pihak Angkatan Darat Republik Indonesia atas kekalutan politik di tingkat Pusat. Kekalutan politik itu menyebabkan jurang pemisah antara Daerah dan Pusat dalam hal mencari jalan keluarnya.
Di Sumatera, dua tiga tahun sebelum PRRI dideklarasikan, diadakan reuni para pejuang Perang Kemerdekaan di Sumatera Tengah.
Reuni itu bertujuan membina kesatuan dan kekompakan, terutama di kalangan pejuang kemerdekaan yang dipelopori oleh perwira-perwira Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
Dari reuni itu, pada 20 Desember 1956 lahirlah Dewan Banteng yang dipimpin oleh Kolonel Ahmad Husein. Tindakan reuni untuk kekompakan para Pejuang Kemerdekaan ini diikuti oleh daerah-daerah lain.
Dalam hal ini para perwira Sumatera Tengah menjadi ikutan. Dua hari setelah dewan Banteng terbentuk, tepatnya 22 Desember 1956, di Medan dibentuk pula "Dewan Gajah" yang dipimpin oleh Kolonel Maludin Simbolon. Lalu pada tanggal 18 Maret 1957 di Manado dibentuk pula "Dewan Manguni" yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Vence Sumual. Sumatera Selatan segera pula bersiap-siap menuruti Sumatera Tengah untuk membentuk "Dewan Garuda" dibawah pimpinan Letnan Kolonel Barlian.
Tindakan yang dianggap Pusat melanggar konstitusi dimulai dengan adanya cetusan tuntutan daerah kepada Pusat. Tuntutan itu berupa desakan agar Pusat membangun daerah. Lalu disusul dengan diambil alihnya kekuasaan dari Gubernur Sumatera Tengah Ruslan Mulyoharjo oleh Dewan Banteng dengan Ahmad Husein sebagai "Ketua Daerah" menggantikan jabatan Gubernur.
Tindakan ini diikuti oleh Dewan Gajah di Sumatera Selatan dan Dewan Manguni di Sulawesi Utara.
Akibat munculnya kekalutan ini yang paling menarik manfaatnya adalah pihak PKI. Mereka mendapat bukti bagi agitasi politiknya untuk mengkambing-hitamkan Angkatan Darat sebagai "War Lords" dan diktator-diktator militer. Kaki-tangan imperialis, kolonialis, musuh rakyat dan musuh demokrasi. Situasi ini memberi peluang mematangkan kondisi revolusioner bagi PKI menurut konsepsinya. Dalam keadaan seperti itu, situasi semakin tidak menguntungkan bagi pihak yang ingin mempertahankan jalan konstitusi dan tertib hukum serta demokrasi.
Karena perkembangan yang terjadi, Dewan Perwakilan Rakyat dan Konstituante hasil Pemilihan Umum pertama Tahun 1955 menjadi arena pertempuran politik yang tak mampu menemukan jalan keluar sebagai lembaga yang diharapkan untuk meletakkan landasan bagi peredaan rasa ketidakpuasan yang semakin meluap.
Pergolakkan di daerah-daerah bukannya mendorong lembaga-lembaga itu mempercepat tercapainya hasil-hasil guna meredakan pergolakan di daerah itu, tetapi malahan sebaliknya. Pergolakan di daerah mereka pergunakan sebagai senjata untuk lebih memperhebat pertempuran politik dalam lembaga tersebut.
Kalau kesatuan Angkatan Bersenjata sudah mencari jalan sendiri-sendiri, maka perang saudara pasti takkan bisa dihindarkan.
Untuk mengatasi situasi yang tak baik ini, terutama di lingkungan Angkatan Darat, tanggal 9 Desember 1956 KSAD Mayor Jenderal A. H. Nasution mengeluarkan perintah yang melarang seluruh anggota TNI/AD aktif dalam partai politik. Kemudian 15 Februari 1957, Jenderal Nasution selaku KSAD kembali mengeluarkan larangan reuni bagi Dewan-dewan yang lahir di daerah itu.
Karena kekuatan politik itu juga, maka Kabinet Ali Sastroamijoyo ke II, yang dibentuk atas dasar hasil Pemilihan Umum tahun 1955, pada Maret 57 menyerahkan mandatnya kepada Presiden Soekarno.
Untuk mengatasi situasi kritis, maka Presiden menyatakan negara dalam keadaan Darurat Perang (S.O.B) dan dengan demikian membebankan tugas pengamanan negara sepenuhnya kepada Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Sampai di sini Kari Basa berhenti bercerita. Dia meneguk kopinya. Si Bungsu juga meneguk kopinya.
Kari Basa semasa revolusi pisik tahun 45 bertugas sebagai perwira intelijen. Dia memang punya ingatan dan pengetahuan yang amat dalam tentang situasi negara waktu itu. Sehabis minum kopi, mereka sembahyang Isya. Setelah itu makan malam. Atas desakan si Bungsu, orang tua itu kembali merekat kepingan ingatannya tentang masa-masa prolog pergolakan tersebut. Kemudian dia meneruskan ceritanya…
Demi menghindarkan perpecahan persatuan Nasional, setelah dinyatakannya keadaan SOB, dan megusahakan menyelesaikan masalah pertentangan antara daerah-daerah yang bergolak dengan pusat secara damai, maka pada tanggal 9 sampai 14 September 1957 di Jakarta diadakan Musyawarah Nasional (Munas). Dihadiri oleh seluruh pimpinan pemerintah dan tokoh-tokoh politik dan militer dari seluruh Indonesia. Tujuan Munas ini adalah untuk menyelesaikan masalah-masalah yang timbul secara musyawarah dengan hati terbuka dan dalam suasana kerukunan dan persaudaraan.
Musyawarah Nasional diikuti dengan Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap) yang dilangsungkan akhir November 1957.
Tapi ternyata Munas dan Munap itu tak menghasilkan apa-apa. Kekecewaan daerah semakin meningkat.
Tanggal 9 Januari 1958 di Sungai Dareh dilangsungkan rapat yang dihadiri Simbolon, Ahmad Husein, Dahlan Jambek, Sumual, Zulkifli Lubis serta beberapa tokoh politik dan militer lainnya. Rapat Sungai Dareh ini membicarakan kekecewaan mereka atas ketidakberhasilan pimpinan Pusat mengatasi keresahan.
Rapat itu juga telah membicarakan rencana meningkatkan tuntutan kepada Pusat. Malah tidak hanya berupa tuntutan, tetapi ultimatum. Jika ultimatum tidak dijawab, maka akan dicari jalan lain.
Rapat ini tercium oleh Pemerintah Pusat di Jakarta. Maka tanggal 23 sampai 26 Januari 1958 KSAD Jenderal Nasution mengadakan perjalanan "mengukur barometer" situasi.
Perjalanan itu dilakukan ke Tapanuli, Sumatera Timur, Aceh dan Tanjung Pinang. Tanggal 10 Februari 1958, Ahmad Husein selaku Ketua Dewan Banteng mengeluarkan Ultimatum yang sudah disepakati di Sungai Dareh itu kepadaPresiden Soekarno dan Kabinet Juanda di Jakarta. Isi Ultimatum itu adalah :
A. Agar Presiden membubarkan Kabinet Juanda dalam tempo 5 x 24 jam.
B. Agar Presiden menunjuk Mohammad Hatta dan Sultan Hamengku Buwono IX sebagai pembentuk kabinet baru.
C. Apabila tuntutan ini tidak dipenuhi, maka Dewan Banteng akan memutuskan hubungan dengan Pemerintah dan bebas dari ketaatan terhadap Kepala Negara.
Ultimatum ini seperti membakar sumbu dinamit. Pemerintah pusat menjawab ultimatum itu dengan perintah pemecatan dengan tidak hormat atas Kolonel Simbolon, Kolonel Dahlan Jambek, Kolonel Zulkifli Lubis dan Letnan Kolonel Ahmad Husein.
Perintah pemecatan itu diikuti dengan perintah penangkapan. Tanggal 12 Februari 1958 KSAD mengeluarkan keputusan membekukan Komando Daerah Militer Sumatera Tengah (KDMST) yang selanjutnya menempatkannya langsung di bawah perintah KSAD Jenderal Nasution.
Namun pemecatan, perintah penangkapan dan pembekuan KDMST itu dijawab oleh Dewan Banteng dengan sebuah Proklamasi.
Proklamasi itu adalah proklamasi berdirinya
"Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia" (PRRI) pada tanggal 15 Februari 1958, dengan Syafruddin Perwira Negara sebagai Perdana Menteri.
Proklamasi ini dilanjutkan dengan membentuk Kabinet yang berpusat di Padang. Maklumat pembentukan PRRI itu didukung oleh Simbolon di Sumatera Utara.
Tanggal 17 Februari 1958, D. J. Somba yang menjabat sebagai Panglima Musyawarah Nasional Pembangunan (MUNAP), yang dilangsungkan akhir November 1957. Komando Daerah Militer Sulawesi Utara (KDMSU) di Manado menyatakan pula bahwa Sulawesi Utara memutuskan hubungan dengan Pemerintah Pusat di Jakarta dan menyokong berdirinya PRRI di Sulawesi Utara, di bawah pimpinan Perjuangan Rakyat Semesta (PERMESTA).
Pengumuman menyokong PRRI ini dijawab Pemerintah dengan memecat dengan tidak hormat Letnan Kolonel HNV Sumual, Letnan Kolonel D. J. Somba dan Mayor D. Runturambi. Mereka dicap memberontak dengan nama Permesta.
PRRI/PERMESTA oleh Pemerintah Pusat dianggap lebih berbahaya dibandingkan dengan pemberontakan bersenjata yang pernah timbul sebelumnya di tanah air, oleh karena:
a. Dengan memproklamirkan "Pemerintah Revolusioner" dan tidak mengakui kekuasaan Pemerintah yang sah akan mengakibatkan Negara Republik Indonesia akan terpecah belah.
b. Pemberontakan ini telah melaksanakan penyelewengan di bidang politik, ekonomi dan militer dengan mengadakan hubungan serta mendapat bantuan kerjasama langsung dari luar negeri. Yang berarti membuka pintu bagi kegiatan subversi.
Untuk menumpas PRRI/PERMESTA, pemerintah Pusat memerintahkan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia untuk melancarkan operasi gabungan. Untuk itu disusun operasi-operasi sbb :
1. Operasi TEGAS di daerah Riau Daratan dan Pekanbaru dipimpin oleh Letkol Kaharuddin Nasution dari RPKAD.
2. Operasi SAPTA MARGA di daerah Medan/Sumatera Utara.
3. Operasi 17 Agustus untuk mengamankan Sumatera Barat di bawah pimpinan Kolonel Inf. Ahmad Yani.
4. Operasi SADAR untuk mengamankan Sumatera Selatan dengan Komandan Operasinya Kolonel Dr. Ibnu Sutowo.
5. Operasi MERDEKA di Sulawesi Utara dengan Komandan Operasi Letkol Infantri Rukminto Hendraningrat.