Sekeluarnya dari masjid itu si Bungsu menuju ke pasar. Dia menuju Los Galuang, sebuah bangunan beratap setengah bundar, disana biasanya tempat orang berjualan tembakau atau selimut.
Di sana malam hari, selalu ada orang bersaluang. Kini orang bersaluang selesai asyar. Sebab mereka harus pulang sebelum malam turun. Dalam negeri bergolak berbahaya keluar malam. Ke sanalah anak muda itu pergi. Menjelang masuk ke los itu, dia membeli jagung bakar. Jagung muda yang ketika dibakar baunya sangat menerbitkan selera. Dengan mengunyah jagung bakar itu dia melangkah memasuki Los Galuang yang hanya mengandalkan cahaya matahari sore.
Tak jauh dari jalan mula masuk, dia melihat kerumunan orang ramai. Sesekali terdengar suara sorak. Dari tengah lingkaran orang ramai itu terdengar suara seorang wanita tengah berdendang. Sayup-sayup terdengar bunyi saluang mengiringi dendangnya. Dendang yang terkadang kocak mengundang tawa. Terkadang mengandung sindir yang membuat orang rasa digelitik. Tapi sebahagian besar dari lagu yang didendangkan bernada ratapan atas nasib yang malang atau tentang percintaan. Si Bungsu tertegak di luar kerumunan orang ramai itu. Siang tadi dia mendengar pekik peluit kereta api. Kemudian makan goreng belut dan dendeng. Mendengar dentang Jam Gadang, memandang ke lembah Merapi–Singgalang dan Gunung Sago.
Kini, dengan jagung bakar di tangan dan mendengar dendang orang bersalung, maka lengkaplah kenangan masa lalunya terhadap kampung halaman yang bertahun-tahun dia tinggalkan.
Dendang wanita di tengah kerumunan orang ramai itu makin mendayu. Tanpa terasa, dia menyeruak perlahan di antara orang-orang yang tegak. Kemudian berada di baris depan sekali.
Seorang lelaki tua kelihatan meniup saluang. Seorang lagi menggesek rebab tua. Seorang perempuan tengah menyanyi sambil menunduk. Di dekatnya seorang anak perempuan berusia sekitar setahun, kelihatan tidur berkelumun selimut usang. Mereka duduk di atas tikar pandan yang juga telah usang. Di tengah lingkaran, ada sebuah lampu yang dibuat dari bekas kaleng sardencis. Sumbunya dari kain sebesar ibu jari. Api dari pelita minyak tanah itu sesekali bergoyang ke kiri atau ke kanan. Mengikuti hembusan angin yang lolos dari sela-sela sepuluhan lelaki yang mengelilingi kelompok saluang itu. Cahayanya redup melawan sinar matahari sore yang masih menerobos ke Los Galuang itu. Di sekitar lampu, terutama di depan wanita yang tengah berdendang sayu itu, terlihat beberapa keping uang logam dan beberapa lembar uang kertas. Uang itu dilemparkan oleh beberapa pengunjung yang meminta lagu atau yang merasa puas atas sebuah lagu.
Dia menatap anak perempuan yang tidur bergulung dekat ibunya yang berdendang itu. Ada perasaan luluh menyelusup di hatinya.
Siperempuan berdendang mencari sesuap nasi untuk anaknya. Lelaki yang menggesek rebab itu barangkali suaminya. Gadis kecil itu terpaksa mengikuti ayah dan ibunya mencari makan. Barangkali kampung mereka tidak di sekitar kota Bukittinggi ini. Mungkin datang dari Pariaman atau Padang Panjang. Atau mungkin mereka dari Payakumbuh. Mereka mendatangi kota demi kota, kampung demi kampung, pasar demi pasar, untuk berdendang mencari makan. Kehidupan mereka tak lebih daripada mengharap belas kasihan orang yang mendengar. Bila orang merasa tertarik, maka mereka akan memberikan sedikit uang. Tak jarang uang yang mereka peroleh tak lebih dari hanya membeli sebungkus nasi. Nasi yang sebungkus itu biasanya mereka makan bersama. Empat orang!
Bahkan tak jarang mereka pulang dengan tangan hampa ke tempat mereka menginap. Uang yang didapat tak cukup meski untuk membeli sebungkus! Kalau hal itu terjadi, mereka biasanya membeli ubi goreng, atau apa yang bisa mengenyangkan. Mereka memberi anak kecil itu dahulu untuk makan. Bila ada sisanya, maka perempuan tukang dendang itulah yang mendapat bahagian. Kehidupan mereka hanya lebih baik sedikit dari kehidupan orang yang terlunta-lunta.
Si Bungsu tahu benar akan hal itu. Sebab bukankah ketika masih di kampung dahulu dia sering mengikuti tukang saluang? Dia merogoh kantong. Meletakkan tiga lembar uang kertas ke depan perempuan yang tengah berdendang dengan menunduk itu. Buat sesaat, setelah dia meletakkan uang kertas tersebut, dendang dan bunyi saluang masih terdengar wajar. Tapi seiring dengan bisik-bisik orang yang berkerumun, saluang dan dendang perempuan itu tiba-tiba terhenti.
Perempuan itu menatap pada uang yang baru diletakkan di hadapannya. Lelaki tua tukang saluang itu menatap pada uang itu. Suami perempuan itu juga berhenti menggesek rebabnya. Menatap pada uang kertas baru yang terletak di depan isterinya. Dari uang kertas itu, maka mereka kemudian beralih pada orang yang memberikan uang itu.
Orang-orang yang mengelilingi kelompok saluang itu juga berusaha melihat kepada lelaki pemberi uang tersebut. Si Bungsu jadi heran atas sikap orang-orang yang pada memandang padanya. Dia juga menatap pada orang-orang itu. Pada perempuan yang sebenarnya cantik dan tukang dendang itu. Pada lelaki tua…. peniup saluang dan pada tukang rebab. Akhirnya dia jadi tahu, orang-orang itu merasa kaget atas jumlah uang yang barusan dia letakkan ke depan perempuan itu. Dia juga menatap pada uang yang dia letakkan tadi.
Ya, uang itu ternyata terlalu banyak bagi ukuran orang-orang yang kini tengah mengelilingi tukang saluang itu. Uang rupiah yang masih baru benar. Jumlahnya itu yang membuat mereka kaget. Dengan uang itu ketiga tukang saluang itu, berempat bersama anak perempuan kecil itu, bisa hidup senang-senang selama satu bulan!
Tiba-tiba pula, kini si Bungsu yang dibuat kaget tatkala menatap wajah perempuan tukang dendang itu. Perempuan itu kelihatan kurus. Namun siapapun yang melihatnya, pasti mengatakan perempuan itu cantik!
Tapi perempuan itu sendiri nampaknya tak mengenal lelaki yang memberi uang itu. Ada beberapa saat dipergunakan oleh si Bungsu untuk memastikan apakah perempuan itu memang perempuan yang dahulu dia kenal. Tatkala kepastian telah dia peroleh, masih dia perlukan beberapa saat lagi untuk menentramkan hatinya. Kemudian baru berkata perlahan.
"Nyanyikan dendang parantauan…"
Perempuan itu masih diam. Tukang saluang itu masih diam. Tukang rebab itu masih diam. Yang tak diam adalah pengunjung yang makin lama makin ramai. Mereka pada berbisik dan berdengung seperti lebah.
"Dendangkanlah…" kata si Bungsu perlahan.
Hatinya mulai tak sedap melihat situasi yang mencekam ini. Lelaki peniup saluang itu meletakkan bambu ujung saluang ke bibirnya. Kemudian terdengar suara saluangnya. Mula-mula agak sumbang. Lalu lancar. Lelaki penggesek rebab itu menegakkan rebab kecilnya. Lalu menggesek rebab mengikuti bunyi salung. Tak lama setelah itu, terdengar dendang si perempuan.
Mendendangkan lagu tentang seorang yang menderita di kampung halamannya karena hidupnya yang melarat, tanpa harta, tanpa sanak famili yang mengacuhkan. Kemudian dia pergi merantau. Di rantau, nasib malang ternyata masih mengikutinya. Terlunta-lunta, sampai akhirnya dengan perjuangan keras dia jadi orang kaya. Lalu pulang ke kampung. Di kampung, dimana berita tentang kesuksesannya telah tersebar, kepulangannya di sambut dengan meriah. Sanak familinya tiba-tiba saja jadi banyak. Bahkan dia tak mengenal beberapa orang yang hari itu mengaku jadi familinya. Namun karena dia baru pulang, dan membawa sedikit harta, maka dia menerima kunjungan sanak familinya dengan hati senang. Dia memberi mereka oleh-oleh. Tak lama, hasil pencahariannya di rantau pun habis.
Ketika tiba-tiba dia jatuh sakit, tak seorangpun diantara sanak familinya atau yang kemarin mengaku sebagai sanak familinya yang datang menjenguk. Dan akhirnya, dengan kekerasan hatinya saja, meski dalam keadaan sakit, dia kembali pergi merantau. Tuhan juga yang mentakdirkan dia kembali sukses di rantau. Namun dia telah bersumpah untuk tak kembali lagi ke kampung halamannya.
Syair lagu "Dendang Parantauan" ini terdengar terlalu mengada-ada. Bombastic dan klise. Sesuatu yang banyak terdapat dalam film India. Tujuannya hanya satu, menguras air mata pendengar. Terutama kaum ibu. Namun demikian, lagu itu tetap populer. Biasanya para pengunjung yang datang mendengarkan lagu saluang itu juga ikut terharu.
Dan tanpa setahu mereka yang tengah hanyut dalam emosi bersama dendang perantauan itu, ketika lagu itu berakhir, mereka tiba-tiba tak lagi melihat orang yang tadi meminta lagu itu. Peniup saluang itu berhenti. Demikian pula penggesek rebab. Mereka mencari di antara orang-orang yang duduk bersila di depan mereka. Di antara orang-orang yang tegak berkerumun. Tapi lelaki muda yang tadi memberikan uang kertas baru itu tak kelihatan. Dia telah pergi entah kemana. Orang-orang lainpun tiba-tiba teringat lagi pada lelaki itu. Mereka saling pandang sesamanya. Berharap melihat lelaki itu di antara mereka.
Namun si Bungsu memang telah pergi. Dia tak pergi jauh. Tadi, ketika Dendang Perantauan itu tengah mendayu-dayu, di antara orang yang makin mendesak ke depan untuk mendengarkan dan melihat perempuan cantik tukang dendang itu, si Bungsu perlahan menggeser tegak ke belakang. Kini anak muda itu sebenarnya berada tak jauh dari tempat tukang saluang itu. Dia tegak di tempat yang samar-samar.
Menjelang malam turun mereka usai. Orang-orang yang mendengarkan sudah pulang. Hanya tinggal dua tiga orang saja.
"Magrib akan turun, kita pulang…" kata lelaki yang menggesek rebab.
"Ya, sebaiknya kita cepat pulang…" ujar yang perempuan sambil membetulkan selimut anaknya.
Lelaki tua peniup saluang membungkus saluangnya dengan kain. Penggesek rebab itu juga membungkus rebabnya dengan kain baik-baik. Yang perempuan mengumpulkan uang yang di depannya. Tangannya terhenti lagi ketika memegang uang baru yang tadi diletakkan lelaki aneh yang meminta lagu "Dendang Parantauan" itu. Tangannya terhenti tatkala mendengar sebuah suara menggeram.
"Uang itu uang palsu…."
Perempuan itu, suaminya yang menggesek rebab, dan lelaki tua peniup saluang tadi kaget dan menatap pada orang yang berkata tersebut. Yang berkata ternyata seorang lelaki bertubuh besar yang sejak tadi duduk di baris depan ketika melihat mereka bersalung.
"Ya. Uang itu palsu. Berikan pada saya…" katanya mengulurkan tangan.
Namun perempuan itu memegang uang tersebut erat-erat.
"Meskipun uang itu uang palsu, kami akan menyimpannya. Karena uang itu pemberian orang pada kami…" suami perempuan itu menjawab.
Terdengar tawa bernada tak sedap dari mulut lelaki besar itu. Dua temannya yang duduk di kiri kanannya juga tertawa bergumam.
"Engkau akan ditangkap dan dihukum masuk bui, buyung. Bukankah pada lembaran uang dituliskan, barang siapa meniru, mengedarkan atau menyimpan uang palsu akan ditangkap dan dihukum? Nah, berikan saja uang itu pada saya. Saya intelijen…"
Lelaki besar itu tegak sehabis berkata demikian. Kedua temannya juga ikut tegak dan memandang kiri kanan dengan tangan meraba pinggang.
Ada tiga atau empat lelaki lagi di sana. Tadi mereka juga ikut tertarik mendengar uang itu uang palsu. Ada yang makin mendekatkan tegaknya. Namun begitu mendengar kata-kata "tangkap" dan "intelijen" dari mulut lelaki besar itu, mereka segera menjauh. Berlalu dari Los Galuang itu cepat-cepat. Seperti takut akan terbawa-bawa dan ditangkap.
Perempuan tukang dendang itu pucat. Dalam suasana bergolak sekarang "intelijen" dan "tangkap" merupakan dua kalimat yang teramat ditakuti. Namun lelaki tua peniup saluang itu tak yakin bahwa lelaki besar itu adalah benar-benar intelijen.
Dari tampangnya dan tampang kedua temannya yang tegak itu, tak sedikitpun menggambarkan mereka adalah alat negara. Paling-paling mereka hanya tukang peras. Mencatut nama intelijen untuk memeras orang lain.
"Saya harap sanak tak mengganggu kami. Kami akan pulang…" ujar lelaki itu perlahan.
Si perempuan memangku anaknya. Memasukkan uang ke sela kutangnya. Mereka lalu tegak. Bersiap untuk segera meninggalkan tempat itu.
"Serahkan uang itu pada saya!!" lelaki besar itu membentak.
Namun ketiga orang tukang saluang itu tak mau melayani ucapannya. Mereka berjalan menyamping. Pergi ke arah lain. Kedua orang teman si tinggi besar mencegat mereka. Di tangan mereka tergenggam pisau belati. Namun kedua lelaki pemain saluang itu bukan pula lelaki yang tak berisi. Mereka segera mempertahankan diri. Yang muda menghantam pergelangan tangan lelaki yang di dekatnya dengan sebuah tendangan. Tangan lelaki itu berhasil dia tendang dengan cueknya. Namun tendangannya tak cukup kuat untuk melemparkan pisau lelaki itu dari pegangan lelaki tersebut.
Mereka berdua terlibat dalam perkelahian terbuka. Peniup saluang yang tua itu juga mempertahankan diri dengan menendang ke arah kerampang orang yang mengancamnya dengan pisau. Lelaki berpisau itu terpekik dan mundur. Namun dia maju lagi.
Saat itu tiba-tiba lampu togok yang masih menyala dan terletak di lantai padam ditiup orang. Cahaya matahari senja tak cukup masuk menerobos ke dalam los itu. Menyebabkan los itu mulai agak gelap. Hanya beberapa saat setelah lampu itu padam, perempuan pedendang itu terdengar memekik. Terdengar suara seperti orang bergumul. Suaminya terdengar memanggil-manggil. Perempuan itu seperti disekap mulutnya. Kemudian terdengar suara ada yang jatuh. Lalu suara anak menangis. Perempuan itu memburu anaknya yang jatuh dan menangis. Lelaki tua peniup saluang kelihatan tersandar dengan bahu luka. Sementara lelaki penggesek rebab tertegak diam. Lelaki bertubuh besar itu juga tertegak.
Mereka semua menatap ke arah pelita. Dekat pelita itu jongkok seorang lelaki. Kelompok saluang itu segera mengenali lelaki itu sebagai orang yang tadi memberikan uang yang kini jadi rebutan itu. Lelaki itu bangkit dan menatap pada lelaki tinggi besar itu.
"Kenapa engkau mengganggu mereka?" suaranya terdengar perlahan.
Lelaki besar itu tersenyum. Senyumnya lebih tepat disebut seringai.
"Engkau mengedarkan uang palsu, buyung. Saya akan menangkapmu…" katanya menggertak.
"Tuan dari instansi mana…"
"Saya intelijen…"
"Intelijen darimana…"
"Jangan banyak tanya kau! Di sini orang banyak yang tanya banyak pula celakanya."
"Intelijen tak biasanya menyombongkan diri. Tak pula mau menganiaya rakyat kecil. Kalau tuan benar seorang intelijen, maka tuan adalah intelijen keparat…"
"Ee..bacirik muncuang ang mah! Iko nan kalamak dek waaang!" ujar si tinggi besar menggeram, seraya menendang menggebu-gebu.
Lelaki itu, yang tak lain dari si Bungsu, tak berniat melayani orang ini. Dia baru tiba di kampungnya. Tidak pada tempatnya harus berkelahi di hari pertama dia menjejakkan kakinya di kampungnya ini. Dia hanya mengelak.
"Kalau tuan bisa memperlihatkan tanda pengenal bahwa tuan memang seorang intelijen, dan kalau benar uang itu palsu, saya akan serahkan uang itu beberapa lembar lagi,…." ujar si Bungsu sambil tegak beberapa depa dari lelaki yang mengaku intelijen itu.
"Saya akan memperlihatkan padamu tanda pengenal yang asli, buyung…"
Sehabis berkata, dia memberi isyarat pada kedua temannya. Kedua temannya yang masih memegang pisau segera mengepung si Bungsu. Lelaki tinggi besar itu sendiri mencabut pula pisau dari pinggangnya.
Mereka mengepung makin ketat. Si Bungsu mundur. Sampai akhirnya punggungnya tersandar ke dinding Los Galuang itu.
"Nah, serahkan semua uangmu, buyung. Atau kau tak sempat lagi bernafas…" ujar lelaki besar itu mengancam, sambil memainkan pisaunya di hadapan hidung si Bungsu.
"Intelijen biasanya memakai pistol. Tak memakai pisau belati seperti tuan. Yang memakai belati hanya tukang bantai atau kaum penyamun…" ujar si Bungsu tenang.
Muka ketiga orang itu jadi merah padam kena sindir.