Chereads / TIKAM SAMURAI / Chapter 108 - Sate Pariaman?

Chapter 108 - Sate Pariaman?

"Dan dia pergi dari suatu kota ke kota lain untuk membunuh rasa sepinya…"

"Ya….." suara Michiko makin perlahan.

Setelah ucapan Michiko yang terakhir itu, suasana lalu jadi sepi. Michiko menunduk. Salma

masih menatapnya. Begitu pula Overste Nurdin. Mereka sama-sama diam. Lalu :

"Apakah dia mengatakan kemana dia akan pergi setelah mengantarkan jenazah temannya itu?"

Michiko masih berusaha untuk mengetahui rencana perjalanan si Bungsu.

Kali ini tidak Nurdin yang bicara. Dia memberi isyarat pada isterinya untuk menjelaskan.

"Ada. Dia memang mengatakan kemana dia akan pergi. Yaitu kalau dia bisa cepat meninggalkan Australia. Katanya dia ingin pulang ke kampungnya…'

"Ke kampungnya?"

"Ya. Ke Situjuh Ladang Laweh. Ke kaki Gunung Sago di Payakumbuh seperti yang nona katakan tadi…" Salma berkata dan tersenyum lembut. Wajah Michiko jadi berseri. Dan itu semua tak luput dari amatan Salma. Tapi tiba-tiba wajah Michiko jadi murung lagi.

"Apakah…apakah disana ada…." Dia terhenti.

Nurdin dan Salma saling pandang dan menanti apa yang ingin ditanyakan gadis itu. Tapi Michiko tak kunjung mengucapkan apa yang tersirat dihatinya. Salma segera saja bisa menebak.

"Nona maksudkan, apakah dikampungnya dia punya seorang kekasih atau tunangan…?'

Wajah Michiko terangkat cepat. Separoh kaget. Namun begitu matanya bertemu dengan tatapan Salma, cepat-cepat dia menundukkan kepala. Wajahnya segera menjadi murung.

"Ya. Bukankah dia mempunyai seorang kekasih disana?" gadis itu akhirnya berkata setelah lama berdiam diri.

"Tidak. Dia tak punya siapa-siapa dikampungnya itu…." Salma menjelaskan.

"Ah, kalau begitu nyonya belum mengenal si Bungsu seperti saya mengenalnya…." Suara Michiko terdengar perlahan.

Muka Salma jadi berona merah. Entah kenapa, hatinya jadi tak sedap dikatakan gadis Jepang ini "belum mengenal si Bungsu sebagaimana Michiko mengenalnya..!." ini keterlaluan. Sampai dimana benar gadis Jepang ini mengenalnya, pikir Salma. Namun dia ingin tahu juga, makanya dia memancing.

"Barangkali kami memang tak begitu mengenalnya. Apakah nona mengetahui ada seorang gadis yang menantinya di kampung?" Michiko mengangguk. Salma dan Nurdin berpandangan.

"Ini baru berita. Ini berita baru…" Nurdin berkata dengan jujur dan takjub. Sebab dia memang tak pernah mengetahui akan hal itu. Michiko memandang padanya separoh heran.

"Benar, ini berita baru bagi kami nona. Siapa gadis yang menantinya itu?" Nurdin bertanya antusias. Sebab dia tahu dengan pasti, atau katakanlah, bahwa dia hanya tahu si Bungsu hanya mencintai Salma, yang secara tak diduga menjadi isterinya. Bila kini ada orang lain yang mengatakan bahwa ada kekasih si Bungsu dikampungnya, bukankah itu berita menarik baginya?

Sedang bagi Salma sendiri berita itu tak kurang mengejutkannya. Sebab dia sendiri selama ini tahu dan menduga bahwa anak muda yang pernah dia cintai itu, hanya punya seorang kekasih. Dan gadis itu, yang jadi kekasih si Bungsu itu, juga membalas cinta si Bungsu dengan sepenuh hati. Gadis itu adalah dirinya sendiri. Tapi itu dulu.

Lalu kini ada saja gadis lain, yang dia duga punya hubungan dengan si Bungsu, yang mengatakan bahwa ada lagi gadis lain dihati si Bungsu. nah, diam-diam perasaan cemburunya muncul. Perasaan bahwa selama ini dia dibohongi si Bungsu.

"Ya…" kata Michiko menyambung penjelasannya.." saya tahu hal itu dengan pasti. Karenanya dia menceritakannya pada saya…"

"Apakah dia sebutkan nama gadis itu pada nona?" Overste Nurdin bertanya ingin tahu.

"Ya. Dia sebutkan….namanya, kalau saya tak salah adalah Salma…." Jantung Salma seperti akan meledak. Dia menunduk. Malu, bangga dan khawatir berbaur menjadi satu.

Dia kawatir akan perasaan suaminya yang akan jadi tersinggung. Namun Overste itu tersenyum. Bahkan dari mulutnya kemudian terdengar tertawa renyai.

"Kenapa tuan jadi tertawa?" Michiko heran. Salma makin menunduk.

"Apakah benar itu gadis yang jadi kekasih si Bungsu, yang menantinya dikampungnya?"

"Ya. Itulah nama yang dia sebutkan…"

"Nona, kalau begitu nona tak usah khawatir. Kekasihnya itu sudah menikah…" kata Nurdin sambil tersenyum. Michiko heran dan menatapnya dengan perasaan ingin tahu.

"Ya. Gadis yang nona sebutkan itu telah menikah. Apakah tadi nona tak mendengarkan ketika saya memperkenalkan nama isteri saya ini…?"

Michiko menatap makin heran.

"Saya mendengarnya. Nama nyonya ini…Salma.."

"Ya. Namanya Salma…"

"Apa hubungannya dengan Salma yang saya sebutkan tadi?" Michiko balas bertanya heran.

Nurdin dan Salma saling pandang. Tapi Nurdin masih coba tersenyum.

"Nona, jangan khawatir. Tak ada seorang gadispun yang menanti si Bungsu dikampungnya. Salma yang dia sebut pada anda itu adalah isteri saya ini…"

Michiko terngangak. Menatap pada Nurdin dan Salma bergantian. Bermain-mainkah orang ini, pikirnya. Namun kedua orang itu memang tak sedikitpun bermain-main. Mereka memang bersungguh-sungguh. Dan Michiko dapat membaca kesungguhan mereka itu.

Dan kalau tadi Michiko menatap Salma, dia hanya merasa betapa cantiknya isteri Overtse itu. Dan dia membandingkan, adakah Salma kekasih si Bungsu itu secantik Salma ini pula?

Samasekali tak terlintas dalam kepalanya bahwa inilah Salma yang kekasih si Bungsu itu. Dia tak menduga karena masih berfikir pola Jepang. Di Jepang memang tak sedikit orang yang senama. Yang senama dengannya, yaitu nama Michiko, di Universitas Tokyo dimana dia kuliah dulu, ada sekitar seratus orang. Tapi nama depan tak jadi soal disana. Seorang lebih dikenal dengan nama keluarganya. Seperti dirinya adalah anak Saburo Matsuyama. Maka dia lebih dikenal dengan sebutan nona Matsuyama. Persamaan nama dinegerinya tak ada persoalan. Dan bukan hal yang aneh.

Nah, tadipun ketika Nurdin mengenalkan Salma padanya, dia hanya menyangka bahwa Salma yang senama dengan Salma yang kekasih si Bungsu. siapa nyana, bahwa Salma yang kekasih si Bungsu dengan Salma yang ini orangnya adalah satu.

"Oh, maaf. Saya tak tahu. Maaf…" katanya gugup.

"Tak ada yang harus dimaafkan nona. Saya sendiri ketika menikah dahulu, tak tahu samasekali bahwa calon isteri saya ini adalah kekasih teman saya. Dan isteri saya juga tak pernah menduga bahwa calon suaminya adalah sahabat kekasihnya. Semua baru jadi jelas tatkala si Bungsu muncul di kota ini lima bulan yang lalu. Dan tak seorang pun diantara kami yang harus dipersalahkan. Nasib yang diatur oleh Yang Maha Kuasa telah menyebabkan hal ini. Begitu bukan?"

Michiko mengangguk perlahan. Dan Salma dapat membaca pada air muka gadis itu bahwa gadis Jepang ini jadi lega hatinya.

Ketika tak ada lagi yang akan dibicarakan, dan Michiko sudah merasa cukup mendapat informasi, dia lalu pamitan.

Dia diantar ke ruang bawah oleh Salma. Dan di ruang bawah, kesempatan bagi Salma untuk bicara dengan Michiko. Mereka berhenti, dan saling pandang. Seperti ada persepakatan antara kedua perempuan cantik itu untuk saling bertanya. Salma lah yang terlebih dahulu membuka suara:

"Apakah si Bungsu bercerita tentang hubungan kami…?"

Michiko menatap Salma. Kemudian mengangguk.

"Dia memang tak bercerita banyak tentang nyonya…'

"Panggil saja nama saya, Salma. Tak usah pakai sebutan nyonya…"

"Ya, dia hanya bercerita tentang seorang gadis yang dia cintai. Tapi dia mengatakan bahwa gadis itu, maksud saya anda, mencintai dirinya. Saya melihat cincin dijarinya. Dan ketika saya tanyakan dia akui cincin itu pemberian anda…"

Salma menarik nafas. Ada kebahagian menyelundup dihatinya. Si Bungsu bercerita pada gadis secantik ini, bahwa dia mencintai dirinya. Oh….alangkah!

"Apakah anda mencintainya?" tiba-tiba Michiko dikagetkan oleh pertanyaan Salma.

Dia tatap nyonya atase militer itu. Dia ingin menyelidik, apakah dalam pertanyaan itu ada nada cemburu. Namun mata perempuan itu alangkah beningnya. Dan yang terlihat didalam pancaran matanya hanyalah keikhlasan.

"Saya tak tahu…."

"Tak tahu? Alangkah ganjilnya. Engkau telah menurutnya sekian jauh. Mencarinya kemana-mana, tanpa engkau ketahui apakah engkau mencintainya atau tidak. Jika bukan karena cinta untuk apa engkau mencarinya sejauh ini, Michiko?"

"Dia berhutang padaku…." Suara Michiko perlahan. Kepalanya menunduk. Salma mengerutkan kening.

"Hutang?"

"Ya. Dia berhutang padaku…!"

"Alangkah ganjilnya terasa. Engkau mencarinya hanya untuk meminta piutang saja. Berapa kah piutang yang dia buat sehingga engkau menghabiskan waktu dan biaya sebesar ini.."

"Terlalu besar untuk disebutkan…"

"Maaf. Saya masih tak bisa mengerti, hutang yang telah dia perbuat padamu…"

"Hutang nyawa…" suara Michiko masih perlahan dan kepalanya masih menunduk.

Salma yang jadi kaget. Terkejut bukan main. Demikian kagetnya dia, hingga buat sesaat dia tak bisa buka suara.

"Ya, untuk itulah dia saya cari, Salma. Dia telah membunuh ayah saya. Meski secara tak langsung. Tapi dialah penyebabnya. Dan saya akan menuntut kematian itu padanya…"

Buat sesaat Salma masih belum bisa bicara. Lama kemudian, ketika Michiko masih menunduk, Salma kembali bertanya.

"Hutang nyawa secara tak langsung. Apa yang anda maksud Michiko?"

Michiko menatap pada Salma. Sudut matanya basah.

"Apakah dahulu Bungsu-san tak pernah bercerita pada anda untuk apa dia datang ke Jepang?"

Salma mengalihkan pandangan ke luar. Ke pohon-pohon Akasia yang berjajar disepanjang tepi jalan. Dan ingatannya surut kembali kemasa lalunya. Ke waktu dia masih merawat si Bungsu di Panorama Bukittinggi. Dan suatu hari, ketika lukanya telah sembuh, si Bungsu pernah mengatakan padanya,m bahwa dia akan ke Jepang.

"Saya akan mencari opsir yang telah membunuh ayah dan ibu saya. Yang telah menodai dan sekaligus juga membunuh kakak saya. Perjalanan saya mungkin akan jauh dan lama sekali, Salma.."

Bayangan itu melintas. Kemudian dia menatap pada Michiko.

"Ya. Saya ingat, Michiko. Dia kenegrimu untuk mencari seorang opsir yang membunuh keluarganya…"

Michiko menarik nafas panjang. Kemudian menunduk lagi. Lalu suaranya terdengar perlahan.

"Ya, itulah persoalannya Salma. Ah, saya sudah terlalu lama mengganggu anda. Saya harus pergi…'

Salma tertegun, dia ingin mendengar banyak tentang si Bungsu dari gadis cantik ini.

"Kenapa buru-buru…?"

"Saya, saya harus kembali ke penginapan…"

"Anda sendirian…"

Michiko mengangguk.

"Si Bungsu berjanji pada kami, bahwa dia akan menyurati kami bila dia telah kembali dari Australia. Barangkali engkau bisa menanti. Bila suratnya datang nanti, engkau akan mengetahui dengan jelas dimana dia berada. Apakah dia telah kembali ke kampungnya atau belum…"

Michiko menatap Salma. Ada benarnya juga pendapat nyonya ini, pikirnya.

"Ya, saya rasa juga demikian yang baik. Tak mungkin saya menurutnya ke Australia. Terlalu jauh…"

"Kalau anda tak keberatan, saya ingin menemani anda selama di kota ini…" Salma menawarkan jasa baiknya. Wajah Michiko berseri.

"Benar?"

"Ya. Kenapa tidak…'

"Ah, saya amat berterimakasih sekali jika anda mau menemani saya…'

"Saya juga akan merasa gembira dapat menemani anda Michiko…"

"Terimakasih, saya memang merasa asing dan sepi di kota ini..'

**ooo**

Dan esok sorenya, Salma memang datang ke hotel dimana Michiko menginap. Tak lama kemudian, kedua wanita itu sudah berada dalam taksi.

"Anda pernah makan sate?" Salma bertanya ketika mereka telah duduk dalam taksi.

"Sate?"

"Ya, makanan spesifik Indonesia. Tapi di kampung kami makanan itu lebih terkenal lagi karena pedas dan enak. Anda suka makanan pedas?"

Michiko mengangguk dan tersenyum.

"Negeri kami setiap tahun ada musim dingin dan setiap musim dingin, jika lelaki suka minuman keras, maka kami kaum perempuan membuat makanan yang pedas-pedas…"

"Kalau begitu anda pasti suka makan sate. Disini ada orang jual Sate Pariaman…."

"Sate Pariaman?"

"Ya. Pariaman nama sebuah negeri dan sekaligus nama sebuah kota kecil dinegeri kami. Orang-orang dinegeri itu pembuat sate yang gurih rasanya…"