Salma lalu meminta pada sopir taksi menuju ke Taman Wonderland Amusemen yang terletak dipinggir pantai. Tak segera berlari kencang ke taman itu. Taman itu dahulunya adalah sebuah teluk. Karena kekurangan tanah makin lama makin mendesak, maka pemerintah kota Singapura, yang saat itu masih berada dalam bahagian dari Negara Malaya, mengambil prakarsa untuk menimbun teluk yang penuh lumpur itu.
Sebagai gantinya, kini teluk itu telah berobah jadi taman yang sangat indah. Dihadapan taman itu, diseberang sungai, disebuah tanah yang menjorok ke laut, berdiri patung kepala singa dengan ekor ikan sebagai lambang kota Singapura.
Patung itu berwarna putih setinggi lebih kurang tiga meter. Menghadap ke laut lepas. Seperti mengucapkan selamat datang pada kapal-kapal yang memasuki pelabuhan Singapura. Atau seperti penjaga yang mengawasi laut sepanjang selat.
Taman itu kini setiap sore ramai dikunjungi orang. Disana, mereka menikmati matahari tenggelam. Melihat kapal-kapal membuang sauh. Dan bila malam, cahaya lampu dari kapal-kapal itu mirip lampu dari sebuah kota terapung. Atau seperti sejuta kunang-kunang yang berkelap-kelip. Cahayanya terpantul kelaut yang biasanya sangat tenang dimalam hari.
Ditaman itu, disepanjang pinggir pantai yang dibeton, dibuat kursi-kursi batu. Dan, dibawah pohon-pohon mahoni berderet penjual bermacam makanan. Orang bisa membeli makanan hampir segala macam bangsa disana. Mulai dari sate Padang seperti yang dipesan Salma, sampai pada goreng ular kesukaan orang Jepang dan Cina.
Dan disanalah sore itu Salma duduk bersama Michiko. Salma adalah "tuan rumah", maka dialah yang banyak bercerita. Dialah yang mulai setiap pembicaraan. Ketika mereka sedang bicara, pesanan sate yang diminta oleh Salma diantarkan.
"Nah, silahkan coba…" kata Salma mengambil setusuk sate.
"Daging apa ini?"
"Kerbau.."
"Hmm…enak sekali" Michiko berkata dan mulai makan porsi yang tersedia untuknya. Dan dia memang tak hanya sekedar berbasa-basi untuk menyenangkan hati Salma saja makanya dia mengatakan sate itu enak. Dia memang menikmati penganan khas Pariaman itu dengan nikmat.
Ketika mereka selesai menikmati makanan itu, Salma lalu membawa Michiko duduk di kursi batu yang menghadap ke laut. Bagi Salma, ada sesuatu yang "belum selesai" terasa dalam pembicaraan kemaren di gedung konsulta. Yang masalah "hutang nyawa" yang dikatakan Michiko itu.
Dan kini, pada kesempatan duduk di pantai itu, Salma hati-hati kembali menanyakan persoalan itu. Michiko belum menjawab. Terlebih dahulu dia menatap pada Salma. Lama sekali. Kemudian dia menunduk. Lalu ketika dia bicara, ucapannya membuat salma keget:
"Ternyata engkau juga tak bisa melupakannya, bukan?" suara gadis itu perlahan saja.
Namun cukup mengirimkan getar yang gemuruh ke dada Salma. Kini Salma pula yang tak bisa segera menjawab. Michiko menatapnya. Salma coba untuk tersenyum.
"Barangkali engkau benar, Michiko. Saya tak bisa melupakannya. Dia tetap berada dihati saya, namun demikian, dia kini tak lagi saya kenang seperti dahulu. Seperti saat-sata saya merindukannya. Tidak. Kini dia tinggal dalam hati saya sebagai seorang adik mengenang abangnya. Saya sudah bersuami. Sudah punya seorang puteri. Kedua mereka telah menggantikannya dalam hati saya"
Michiko menatap Salma. Dan dia harus mengakui, bahwa wanita cantik didepannya itu tak berkata bohong.
"Engkau membencinya. Tapi sekaligus mencintainya, Michiko. Yang manakah diantara kedua hal itu yang lebih kuat dalam hatimu?"
Michiko menunduk. Salma menebak amat tepat.
"Aku tak usah menjawab Salma. Engkau tahu yang mana lebih kuat dalam hatiku. Tentang maksudnya ke Jepang itu, seperti yang engkau katakan kemaren, dia memang pergi mencari opsir yang membunuh keluarganya…"
"Ya. Apakah dia menceritakan padamu? Maksud saya, apakah dia bertemu dengan opsir itu?"
"Ya. Dia bertemu dengannya"
"Oh. Dulu dia bersumpah akan menjalankan sumpah ayahnya sesaat sebelum mati. Ayahnya bersumpah, dan sumpah itu didengar oleh opsir itu. Bahwa Datuk Berbangsa itu, ayah si Bungsu, akan menuntut balas atas perbuatan opsir itu. Dia bersumpah akan membunuh opsir itu dengan senjatanya sendiri. Dan sumpah itu didengar oleh si Bungsu. apakah dia berhasil membunuh opsir itu?"
Michiko tak segera menjawab. Dia membayangkan lagi pertemuannya dengan anak muda itu di kereta api. Dan dia membayangkan lagi pertemuan anak muda itu dengan ayahnya di kuil Shimogamo.
"Kedua orang itu, si Bungsu dan opsir itu memang bertemu. Dan mereka berkelahi. Opsir itu dikalahkan oleh si Bungsu. Tapi dia tak membunuhnya…"
"Tak membunuhnya?"
"Ya. Namun opsir itu memang mati oleh senjatanya sendiri. Persis seperti sumpah ayah si Bungsu. sumpah itu nampaknya memang makbul…."suara Michiko terdengar getir.
"Makbul? Bagaimana sumpah itu bisa makbul kalau si Bungsu tidak membunuhnya?"
"Opsir itu bunuh diri. Disana disebut Harakiri.."
"Bunuh diri?"
"Ya. Justru disitulah letak makbulnya sumpah ayah si Bungsu. Bukankah tadi engkau katakan bahwa Datuk Berbangsa itu bersumpah bahwa opsir itu akan mati oleh senjatanya sendiri?"
"Ya. Tapi menurut hemat saya sumpah itu bermaksud bahwa opsir itu akan dibunuh oleh samurai yang dia tinggalkan tertancap di dada Datuk Berbangsa itu…"
"Tidak mutlak harus begitu. Yang jelas opsir itu mati karena senjatanya sendiri. Dan itulah yang benar akan takwil sumpah itu…" Michiko menjelaskan dengan kepala tetap menunduk. Salma menarik nafas. Kemudian teringat pada diri Michiko.
"Tadi engkau katakan, bahwa di kuil Shimogamo itu terjadi perkelahian antara beberapa pendeta dengan si Bungsu. si Bungsu berhasil membunuh beberapa orang diantaranya sebelum dia mengalahkan opsir… siapa namanya opsir itu?"
"Saburo. Saburo Matsuyama" suara Michiko masih perlahan.
"Ya. Dia telah membunuh beberapa orang pendeta sebelum mengalahkan Saburo Matsuyama. Apakah ayahmu yang meninggal itu adalah seorang diantara para pendeta yang mati itu?"
Michiko menggeleng.
"Lalu, dalam peritiwa mana ayahmu meninggal oleh si Bungsu?"
"Dalam peristiwa itu juga…"
Salma mengerutkan kening. Sulit baginya untuk mencari logika cerita gadis cantik ini.
"Ya, ayah saya mati dalam peristiwa itulah…"
"Saya tak bisa mengerti. Apakah ada orang lain yang terbunuh selain para pendeta itu?"
"Ada. Ayah saya…"
"Kenapa ayahmu bisa berada disana?"
"Karena ayah saya adalah Saburo Matsuyama…"
Kalau saja ada petir, barangkali Salma takkan terkejut benar. Tapi kali ini, dia memang tertegun. Wajahnya jadi pucat. Lama dia terdiam. Akhirnya Michiko memandangnya.
"Maafkan saya, Michiko. Kenyataan itu benar-benar luar biasa bagi saya. Saya tak tahu harus mengatakan apa padamu…" Salma memegang bahu gadis itu.
"Memang pahit bagi saya, Salma. Saya bertemu dengannya di kota Tokyo. Suatu hari ketika saya baru masuk kuliah di Universitas, ketika akan pulang, seorang asing menanyakan jalan ke stasiun pada saya…." Michiko terhenti.
Dia mengumpulkan kenangan masa lalunya kembali.
"Saya tak menjawabnya dengan baik. Karena pakaiannya yang kumal, saya memandangnya dengan pandangan tak bersahabat. Kemudian meninggalkannya dengan hati terpukul tanpa menjawab pertanyaannya sepatahpun. Saya rasa saat itu dia baru tiba di Kota Tokyo yang ganas itu.
Tiga hari kemudian, dia saya jumpai lagi di sebuah penginapan kecil dia daerah Asakusa. Saya tengah menuju rumah seorang teman untuk belajar, ketika sebuah jeep tentara Amerika berhenti dan menyeret saya ke atasnya. Kemudian membawa saya ke hotel Asakusa itu.
Di dalam hotel, pemiliknya terpaksa menyuruh seorang penginap untuk keluar, sebab kamar yang lain penuh, maka kamarnya dipakai dulu untuk keperluan tentara Amerika yang membawa saya.
Saya berusaha minta tolong. Tapi, pemilik hotel itu sendiri, orang Jepang tulen, hanya tersenyum mendengar permohonan saya. Lelaki yang menempati kamar dimana saya akan diperkosa itu keluar. Dan dipintu kami bertatapan, dialah si Bungsu yang bertanya pada saya tiga hari yang lalu di daerah Ginza. Saya tak bisa berfikir banyak. Sebab Letnan Amerika itu telah menyeret saya masuk. Kemudian pakaian saya mulai dia tanggalkan. Saya telah bermohon-mohon, agar saya tak dia perkosa. Saya katakan bahwa saya mahasiswi.
Tapi dia tak perduli. Ketika pertahanan saya sudah habis, ketika noda hampir mencemarkan hidup saya, tiba-tiba pintu terbuka.
Dan di pintu, berdiri anak muda itu. Dia menyelamatkan saya dengan membunuh Letnan itu. Kemudian membunuh seorang lagi sersan yang datang membantu.
Setelah itu dia lenyap. Berhari-hari saya mencarinya. Saya ingin mengucapkan terimakasih atas bantuannya, saya ingin meminta maaf atas perlakuan kasar saya tatkala tak menjawab pertanyaannya di Ginza. Tapi anak muda itu lenyap seperti ditelan bumi.
Akhirnya dia saya temukan lagi dikota kecil Gamagori. Yaitu ketika saya nakan menuju Kyoto. Ke tempat ayah saya.
Pertemuan itu nampaknya ditakdirkan Tuhan memberatkan saya. Artinya, saat itu saya kembali harus menerima budi baiknya. Saya diganggu oleh kawanan bajingan yang menamakan dirinya Kumagaigumi. Saya hampir lagi diperkosa, ketika tiba-tiba saja, seperti malaikat dari langit, dia membantu saya. Di kota kecil itu dia lagi-lagi harus menyambung nyawa untuk membela saya. Kumagaigumi bukannya sembarang komplotan. Mereka mempunyai tukang sembelih dan ahli-ahli samurai.
Michiko berhenti bercerita. Dia menunduk. Seperti mengumpulkan kembali kenangan masa lalunya. Salma mendengar dengan diam. Menanti lanjutan cerita Michiko dengan diam saja.
Michiko menolehkan pandangannya ke laut. Di laut, malam telah turun. Cahaya lampu kapal, seperti sejuta kunang-kunang bertebaran. Cahayanya dibiaskan oleh laut yang tenang. Malam itu benar-benar malam yang romantis. Tapi tidak bagi kedua wanita cantik yang duduk ditepi taman tersebut.
"Tapi…" Michiko melanjutkan lagi ceritanya…' dia kembali memenangkan perkelahian itu. Saya demikian takut kehilangannya…. Saya akhirnya tahu, bahwa saya menicintainya. Saya tak ingin kehilangan dirinya. Oh, alangkah janggalnya terasa bukan? Namun itulah yang saya rasakan. Kami sampai di Kyoto. Saya ingin memperkenalkannya dengan ayah saya. Ayah saya menjanjikan suatu malam sukuran dengan mengundangnya.
Saya begitu bahagia. Ayah tahu, meskipun tak pernah saya ucapkan padanya, bahwa saya mencintai anak muda itu. Oh, engkau tentu pernah merasakan bahagia seperti yang saya rasakan itu, Salma. Namun, segalanya lenyap begitu cepat. Begitu memilukan. Begitu menyakitkan.
Saya tak perlu mengenalkan dirinya pada ayah saya. Suatu hari dia datang sendiri ke kuil Shimogamo. Yaitu kuil dimana ayah saya menjadi pimpinan para pendeta. Dan mereka berhadapan. Dan tahukah engkau Salma, musuh besar yang dia cari itu, yang telah membunuh keluarganya, yang bernama Saburo Matsuyama itu, adalah ayah saya. Ayah kandung saya.
Ayahku. Ayahkulah yang telah memperkosa kakaknya. Yang telah membunuh ayah dan ibunya. Dan….dan mereka lalu bertarung…"
Michiko berhenti. Dadanya sara sesak. Dia menangis terisak. Salma memegang bahunya.
"Sebenarnya dia dengan mudah membunuh ayah. Tapi itu tak dilakukannya. Dia meninggalkan ayah demikian saja. Yaitu disaat dia hanya tinggal menghentakkan samurainya saja. Tak seorangpun diantara pendekar-pendekar samurai yang ada di kuil itu yang mampu menolong kalau dia mau membunuh ayah. Semuanya dia kalahkan. Bahkan enam orang telah dia bunuh ketika mereka berniat menolong ayah. Dan, ayah bunuh diri dengan harakiri…." Dia menangis.
Tanpa dapat ditahan, Salma juga menitikkan air mata. Dia dapat merasakan, betapa hancurnya hati Michiko. Meichiko menyandarkan kepalanya ke bahu Salma.
"Dan esoknya, ketika pemakaman ayah, dia hadir. Saya menantangnya untuk berkelahi. Dia tetap berdiam diri. Saya melukainya. Dia tetap diam. Dan berbulan-bulan setelah itu, saya berlatih samurai. Saya tahu, dia adalah seorang samurai yang tak ada duanya saat ini. Siapa pula orang di Jepang sana yang mampu mengalahkan ayah, seorang samurai tersohor dari keluarga Matsuyama yang disegani? Dan diatas segalanya itu, siapa pula yang sanggup melawan Zato Ichi. Pendekar legendaris dari masa lalu yang dipuja itu? Hanya dia. Ya, hanya si Bungsu yang sanggup melakukannya.
Dengan Zato Ichi dia memang tak pernah berkelahi secara langsung. Namun pendekar buta itu sendiri mengakui, bahwa dia takkan menang kalau berkelahi melawan si Bungsu. namun saya harus menghadapinya. Harus!
Kalau dia berhak mencari pembunuh ayah dan ibunya sampai ke Jepang, apakah saya tak berhak mencari pembunuh ayah saya sampai ke Indonesia?
Baginya, atau bagi semua orang, kematian ayah saya barangkali memang sudah begitu. Mati karena dosanya. Tapi tidak bagi saya, bagi saya kematian ayah saya harus saya tuntut. Kalau tidak, bukankah saya menjadi anak yang tak membalas guna?
Betapa besarpun dosa yang telah diperbuat ayah kepada orang lain, tapi kepada saya dia sangat sayang. Dia tetap sayah saya. Dan sebagai seorang anak, kewajiban saya membelanya.
Michiko berhenti bercerita. Berhenti menangis. Kemudian mengangkat wajahnya dari dada
Salma. Menatap Salma dengan pandangan menyelidik.
Lalu bertanya:
"Engkau adalah orang yang pernah mencintainya. Apakah saya bersalah kalau saya
mencarinya untuk membalas dendam padanya?"
Salma menggeleng perlahan.
Dan geleng kepalanya membuat Michiko menangis lagi.
"Saya mencintainya, Salma. Saya tahu, engkau juga mencintainya…."
"Tidak, Michiko. Barangkali saya memang benar mencintainya. Tapi cinta saya hanya
sebagai sahabat. Sebagai seorang adik kepada kakak. Saya telah bersuami. Telah punya
anak. Merekalah yang saya cintai kini…"
"Ya. Saya tahu. Dan itu pulalah yang saya alami, Salma. Saya memang masih mencintainya. Tapi cinta saya hanya sebagai bekas seorang kekasih. Sementara cinta yang dahulu telah bertukar dengan dendam. Saya… saya ingin membunuhnya…."
Salma tak berkata. Dia tak yakin bahwa gadis itu akan membunuh si Bungsu. namun dia tak menyatakannya.
"Hari sudah malam. Bagaimana kalau kita pulang?"
Michiko tersadar. Perlahan menghapus airmatanya. Kemudian mereka bersiap untuk pulang.