Tawanan-tawanan mereka biarkan tetap terikat di kapal. Mereka naik ke Jeep. Dan dalam waktu dekat Jeep itu meluncur lagi ke Markas mereka. Donald hapal benar jalan mana yang harus mereka tempuh menuju markas agar tak bertemu dengan orang banyak.
Di markas mereka segera saja menelpon Polisi Singapura. Melaporkan tentang ditemukannya sarang penyelundupan wanita di Pulau Pesek. Mereka memberikan detail dari penangkapan. Dimana polisi bisa menemui enam orang anggota sindikat itu yang terikat di kapal. Dan menyertakan beberapa dokumentasi. Ketika polisi menanyakan siapa yang melaporkan, Tongky yang menelpon meletakkan teleponnya.
"Nah, Letnan. Kini anda pegang komando. Apa lagi yang akan kita lakukan?" Donald berkata pada si bungsu yang sejak tadi duduk menatap pada Kapten Fabian yang masih belum sadar.
"Sebaiknya kita tukar pakaian dulu. Kemudian mengantar Kapten Fabian ke rumah sakit.."
"Ya. Ya. Saya rasa itu jalan terbaik yang harus kita ambil saat ini…" Miguel berkata. Dan mereka semua lantas bertukar pakaian. Kembali memakai pakaian sipil seperti sebelum mereka berangkat sore kemarin.
Sebuah taksi yang lewat mereka stop. Kemudian mereka menelpon Ambulan. Kapten Fabian dibawa dengan ambulans. Sementara mereka naik taksi. Yang berada di Ambulans adalah si Bungsu, Donald dan Tongky.
Dalam Ambulan itulah Kapten Fabian mulai sadar. Dia melihat keliling. Terpandang pada Donald, Tongky dan si Bungsu.
"Bagaimana….?" Suaranya bertanya perlahan. Si Bungsu memegang tangan Kapten itu.
"Mereka kita ringkus semua, Kapten…."
Lalu dia menceritakan secara singkat pertempuran di pelabuhan pulau Pesek itu setelah si Kapten rubuh kena tembak. Dia menceritakan tentang Fred Williamson yang mati dan Jhonson yang kena tembak. Lalu menceritakan pula tentang pemberitahuan kepada polisi Singapura tentang sindikat tersebut. Kapten Fabian menarik nafas.
"Terimakasih Bungsu. anda telah menyelamatkan pasukan kami. Kalau anda tak mencegah kami menyebrang kemaren di rawa itu, maka korban pasti akan lebih banyak. Mungkin semua kita sudah mati.
"Itu tugas saya Kapten. Bukankah saya adalah bagian dari pasukan anda?"
Kapten Fabian menggenggam tangan si Bungsu.
"Betapapun jua, terimakasih, kawan. Anda sangat layak menjadi seorang anggota Baret Hijau. Kami bangga anda berada satu pasukan dengan kami.."
"Terimakasih. Saya benar-benar mendapat kehormatan memakai Baret Hijau itu…" Kapten Fabian memejamkan mata.
Nyata dia masih lelah akibat terlalu banyak kehilangan darah. Kalau saja pertempuran itu berjalan lebih lama lagi, dan pertolongan terlambat sedikit saja diberikan padanya, maka nyawanya tak tertolong.
"Ada sesuatu yang ingin kusampaikan…" bisik Kapten Fabian perlahan.
"Ini mengenai Letnan robert. Saya tak mungkin bisa menyertai jenazahnya ke Australia. Saya ingin engkau mengiringkan jenazah itu bersama donald kesana…' Kapten Fabian berhenti, mengatur nafasnya yang sesak.
Si Bungsu kaget mendengar permintaan ini. Namun dia tetap berdiam diri. Donald dan Tongky juga diam mendengarkannya. Kapten itu membuka matanya kembali.
"Pergilah. Dia punya seorang ibu dan seorang tunangan. Sedianya dia akan menikah akhir bulan ini. Dia butuh sedikit uang untuk perongkosan pernikahannya. Uang itu telah kami dapatkan. Sayang dia keburu mati. Engkaulah menggantikan diri saya menyampaikan hal ini pada ibunya, pada tunangannya…"
Kapten itu berhenti lagi bicara, Donald, Tongky dan si Bungsu bertukar pandang.
"Jangan menolak Bungsu. Tongky dan Donald akan mengatur perjalanan ini. Engkau dan Donald bawakan pula uang untuk pernikahan itu. Serahkan pada ibunya separoh, pada tunangannya separoh…'
"Tongky…'
"Saya Kapten…"
"Jika Bungsu sudah siap, urus perjalanannya dengan Donald dan pengiriman jenazah Robert, jika bisa besok atau lusa…'
"Saya akan menyiapkannya, Kapten…"
"Bungsu…"
"Saya, Kapten…"
"Saya tidak memaksamu untuk ikut terus bergabung dengan kami dalam pasukan veteran ini. Tapi untuk mengantarkan jenazah Robert, kumintakan benar bantuanmu…"
Tak ada alasan bagi si Bungsu untuk menolaknya. Dia ingat bahwa Robert mati karena menyelamatkan nyawanya. Kalau saja tidak didorong oleh Robert hingga dia jatuh di jalan di depan hotelnya dulu, maka dirinyalah yang kena sasaran peluru otomatik itu. Bukan Letnan Robert. Sudah sepantasnya dia mengiringkan jenazah Robert dan menyampaikan duka pada keluarganya.
"Saya mendapat kehormatan untuk mengiringkan jenazahnya ke Australia, Kapten…" dia berkata perlahan.
Kapten itu menarik nafas lega. Benar-benar lega.
"Letnan, setelah engkau kembali dari Australia, engkau bisa langsung ke Jakarta. Kemudian ke kampungmu. Atau kemana saja engkau suka. Jika engkau mau ke Singapura ini, bergabung dengan kami, maka kami benar-benar mendapat kehormatan atas hal itu. Kami yakin, banyak tugas besar yang bisa kita selesaikan jika engkau berada dalam pasukan kami. Kita akan menghantam kaum penghianat, penculik, penipu dan bandit-bandit di seluruh dunia. Kami punya rencana ke Amerika setelah ini.
Namun jika engkau tak lagi kembali pada kami, kami mengaturkan banyak terimakasih atas bantuanmu. Jika engkau memerlukan bantuan kami, dimanapun engkau berada, dan bilapun saatnya, selagi kami masih hidup, meski agak seseorang, kami akan datang membantu. Kirim saja telegram. Meski diujung dunia sekalipun, kami akan datang membantu. Alamat kami di eropah, di Amerika, di Afrika, di Singapura ini, dapat kau terima dari donald. Kami akan merasa bahagia kalau engkau mengirimkabar pada kami…"
Si Bungsu menunduk. Diam. Perkenalannya dengan bekas pasukan Baret Hijau Inggris yang tersohor ini benar-benar luar biasa baginya.
+++000+++
Siang itu Overste Nurdin yang tengah duduk disertai isteri dan anaknya kedatangan seorang tamu. Staf Konsulat memberitahukan kedatangan tamu itu ke kamarnya di tingkat atas gedung konsulat.
"Ada tamu untuk bapak dan ibu…" staf itu berkata.
"Tamu…?"
"Ya.."
"Silahkan masuk.."
Staf konsulat itu berjalan ke sebelah. Cukup lama Nurdin dan isterinya menanti. Kemudian pintu terbuka perlahan-lahan. Dan di pintu, dengan keheranan baik Nurdin maupun Salma menatap, seorang gadis cantik tegak disana. Mirip gadis Jepang.
"Selamat siang, apakah saya berhadapan dengan tuan Overste Nurdin..?" gadis itu bicara dalam bahasa Indonesia yang fasih.
"Ya. Sayalah orangnya. Silahkan masuk. Ini isteri saya. Maaf, saya tak bisa bangkit…"
Gadis itu melangkah masuk. Salma berdiri menyambutnya. Kedua perempuan cantik itu bersalaman dan saling pandang.Gadis itu mengambil tempat duduk di depan Salma.
"Nampaknya anda baru dari Indonesia. Apakah yang bisa saya perbuat?" Nurdin bertanya.
Gadis cantik itu sekali lagi melayangkan pandangannya pada Salma. Kemudian pada Overste Nurdin.
"Tidak. Saya tidak dari Indonesia. Saya dari Kyoto, Jepang" suara gadis itu bergetar perlahan. Ada rasa heran dan kaget menyelinap dihati Nurdin dan Salma.
"O, alangkah jauhnya perjalanan nona, adakah yang bisa saya bantu?"
"Nama saya Michiko. Saya mencari seseorang yang barangkali tuan dan nyonya mengenalnya"
Salma dan Nurdin bertukar pandang. Hati Salma berdetak. Jantungnya berdegup kencang.
Si Bungsu, pikirnya. Pastilah gadis cantik ini mencari si Bungsu. hati perempuannya berbisik. Dia tatap gadis itu. O, alangkah cantiknya.
"Saya mencari,…seorang lelaki bernama Bungsu. Apakah saya bisa menemuinya?"
Overste Nurdin tercengang benar. Dia menatap pada isterinya. Namun saat itu Salma masih menatap pada Michiko. Sadar bahwa nyonya Overste itu menatap terus padanya, Michiko menoleh pula. Kedua wanita itu kembali saling pandang. O, inikah perempuan yang memberikan cincin pada Bungsu-san itu? Alangkah cantiknya, pikir Michiko. Namun hatinya sedikit lega. Sebab ternyata perempuan cantik itu telah menikah. Ya, pastilah nyonya ini yang bernama Salma, bisik hati Michiko pula.
Akhirnya Nurdin bicara:"Ya. Kami mengenalnya. Anak muda itu adalah sahabat saya. Sahabat keluarga kami. Dahulu dia tinggal bersama kami ketika kami masih di Brash Basah. Tapi kini tidak lagi. Kalau kami boleh tahu, apakah anda temannya ketika dia ke Jepang dahulu?"
"Ya. Saya adalah bekas sahabatnya…"
Nurdin mengerutkan kening.
"Maaf, saya kurang mengerti dengan ucapan nona. Kenapa harus memakai kalimat "bekas" sahabatnya?...apakah…"
"Ya…saya memang bekas sahabatnya dalam arti sesungguhnya. Saya malah banyak berhutang budi padanya. Dia telah menolong saya dari cemar dan aib yang tak terhingga…"
Nurdin menatap pada isterinya. Salma menatap pula padanya.
"Lalu, kalau kini nona tidak bersahabat lagi dengannya, ada keperluan apakah kiranya, hingga jauh-jauh mencarinya. Atau barangkali anda kebetulan singgah di kota ini?"
"Tidak. Saya memang datang dari Jepang khusus untuk mencarinya. Jika dia tak disini, saya akan mencarinya sampai bertemu…."
"Alangkah pentingnya urusan itu. Tapi, baiklah, itu urusan anda nona. Hanya sayang, anda datang terlambat…"
Michiko menatap Overste itu. Terlambat, apa maksudnya, pikir gadis itu.
"Maksud tuan?"
"Dia tak di kota ini lagi…"
"Tak di kota ini?"
"Tidak. Dia sudah berangkat seminggu yang lalu…"
Wajah Michiko tiba-tiba jadi sangat murung. Dia kelihatan sangat kecewa. Dan perobahan air mukanya diperhatikan dengan seksama oleh Salma.
Hati wanitanya mulai menghitung dan mereka-reka. Hubungan apakah sebenarnya yang terjalin antara si Bungsu dengan gadis cantik ini, pikirnya. Apakah mereka telah bertunangan, atau baru berkasih-kasihan, lalu si Bungsu pergi, dan gadis ini mencarinya untuk menikah? Semuanya mungkin saja, pikir Salma.
"Saya mendengar tuan adalah sahabat si Bungsu. begitu pula dengan nyonya…"
"Hmm. Darimana anda tahu. Bukankah anda baru tiba di kota ini?" Nurdin bertanya heran.
"Saya mendapat informasi dari staf konsulat…"
"Hmm begitu. Ya. Kami adalah sahabatnya. Tapi apa yang saya sampaikan pada nona adalah hal yang sebenarnya. Dia telah pergi seminggu yang lalu…'
"Dia kembali ke kampungnya? Ke Situjuh Ladang Laweh di kaki Gunung Sago itu?"
Salma dan Nurdin bertukar pandang. Situjuh Ladang Laweh!
Gadis Jepang ini tahu dengan pasti tentang Situjuh Ladang Laweh. Alangkah banyaknya yang diketahuinya tentang si Bungsu. Nurdin kemudian menatap pada Michiko.
Alangkah cantiknya gadis Jepang ini, pikirnya. Dan sebagai seorang lelaki, dia juga punya dugaan, bahwa antara si Bungsu dengan gadis cantik ini pastilah ada hubungan selain sekedar teman biasa.
"Tidak nona. Dia tak kembali ke sana"
"Lalu, kemana dia? Apakah ke Jakarta?"
"Juga tidak.."
"Maksud tuan?"
"Dia ke Australia"
"Ke Australia?"
"Ya. Ke Australia"
"Alangkah jauhnya. Saya tak mengerti kenapa dia harus pergi sejauh itu…'
"Dia mengantarkan mayat seseorang"
"Mayat?"
"Ya. Mayat seorang sahabatnya.."
Michiko masih tak mengerti. Dia menatap pada Salma. Salma masih tetap menatap pada Michiko. Dia tengah mematut-matut. Sejauh mana hubungan antara si Bungsu dengan gadis Jepang ini?
Pastilah ada sesuatu yang istimewa dalam hubungan itu. Jika tak ada yang istimewa, mustahil gadis ini akan mencarinya sejauh itu.
"Ada seorang anak muda Asutralia…" suara Overste Nurdin mengejutkan Michiko yang tengah bertatapan dengan Salma, " dia berteman dengan si Bungsu. dan anak Australia itu mati tertembak. Dia minta agar jenazahnya diantarkan pada ibunya di Australia. Nah, itulah yang dilakukan oleh si Bungsu. mengantarkan jenazah temannya itu kesana…"
"Apakah dia lama disana?"
Overste Nurdin menarik nafas.
"Kami tak tahu nona. Tak ada yang bisa menebak apakah dia akan berada lama disuatu tempat atau tidak. Barangkali nona tahu bahwa dia adalah seorang pengembara. Seorang lelaki sunyi dan hidup sebatang kara…"
"Ya. Saya tahu…." Suara Michiko terdengar perlahan.