Chereads / Jalan Menuju Surga / Chapter 27 - Bertemu dengan Sepasang Mata

Chapter 27 - Bertemu dengan Sepasang Mata

Saat malam tiba, Jing Jiu pergi ke kaki puncak gunung dari Puncak Pedang, tanpa diketahui oleh siapapun termasuk para penjaga Puncak Yunxing.

Di gedung kecil yang berada di sana, terdapat sebuah peta yang menggambarkan posisi dari kartu - kartu pedang yang berada di gunung itu, dan di peta itu, hanya terlihat kartu pedang milik Zhao Layue yang berada jauh di puncak gunung yang tertutup awan - awan itu.

Kartu Pedang milik Jing Jiu ditinggalkannya di pojok ruangan dalam rumah guanya.

Beberapa ekor monyet terlihat sedang berlompatan di lereng gunung diluar rumah guanya.

Jing Jiu pun berjalan menuju ke Puncak Pedang.

Tidak ada pepohonan yang dapat ditemui di Puncak Pedang, hanya ada bebatuan yang tersebar di antara lereng - lereng gunung yang memancarkan tekad pedang yang sangat menakutkan. Tidak mudah untuk tumbuh - tumbuhan yang lain untuk bisa bertumbuh di tempat ini, kecuali ilalang.

Tidak terlihat satu ekor binatang pun di gunung itu. Sejauh mata memandang, hanya terlihat gunung yang gersang dan tandus.

Sangat sulit bagi murid - murid di inner sect untuk bisa berjalan di tengah - tengah puncak gunung ini. Bahkan, mereka yang telah berhasil mendapatkan pedangnya pun masih merasa gelisah saat mengingat pengalaman yang mereka alami di Puncak Pedang. Namun bagi Jing Jiu, tidak ada bedanya antara Puncak Pedang dengan tempat - tempat yang lainnya. Tidak ada yang istimewa dari tempat ini.

Ia berjalan di antara puncak - puncak gunung dan lereng - lerengnya dengan begitu mudah dan cepat, seakan - akan ia sedang berjalan di jalan yang datar, meskipun tidak secepat jika ia terbang.

Securam apapun lereng - lereng gunung itu, ia tetap tidak menggunakan tangannya untuk memanjat, namun ia selalu bisa menjejakkan kaki di lereng - lereng itu.

Tidak lama kemudian, ia tiba di bagian tengah dari Puncak Pedang, yang berada di ujung awan - awan tebal itu.

Jika ada orang di bawah puncak gunung itu yang melihat ke atas, orang itu pasti akan melihat titik hitam yang berada di tengah bebatuan, yang ada di lereng gunung itu.

Adalah sebuah pencapaian besar bagi setiap murid di inner sect, jika mereka mampu mendaki hingga ke ujung awan - awan itu dalam percobaan pertama mereka.

Murid-murid yang mampu berjalan ke dalam awan - awan itu sangat jarang ditemui.

Jing Jiu pun terus berjalan menuju awan - awan itu.

...

...

Puncak Yunxing adalah tempat, dimana awan - awan di sekitarnya terus bergerak.

Awan - awan tebal yang sangat lembab dan berair itu, terus bergerak naik turun. Menghalangi sinar matahari, dan membuat tempat di bawahnya diselimuti kegelapan.

Disinilah tempat berkumpulnya tekad - tekad pedang itu, terutama tekad - tekad pedang yang sangat menakutkan dan murid - murid di inner sect tidak akan mampu bertahan menghadapi tekanan dari tekad - tekad pedang yang menakutkan ini, walau hanya untuk beberapa saat.

Namun, tekad - tekad pedang dan kegelapan yang ada disekitarnya tidak mampu mempengaruhi Jing Jiu sedikit pun. Justru, ia tidak perlu menyembunyikan kemampuan yang dimiliki tubuhnya, sehingga kecepatannya dalam menempuh perjalanan ini menjadi jauh lebih cepat, bagaikan sekelebat bayangan yang seperti asap, ia mampu menempuh jarak seratus meter hanya dalam satu langkah. Dengan kedua telinganya bergerak ke arah yang berlawanan dengan arah angin, ia mendengarkan suara yang ada di langit dan di bumi, untuk memastikan agar dirinya tidak menghadapi bahaya.

Jing Jiu berhenti setelah sekian lama ia mendaki.

Jarak dari tempatnya berdiri dengan bagian teratas dari puncak gunung itu sudah tidak begitu jauh. Apa yang dikatakan oleh Lin Wuzhi memang benar. Paman Guru dari Puncak Shiyue itu memang menunjukkan harga dirinya untuk terakhir kalinya. Ia meletakkan pedangnya di tempat yang sangat tinggi, yang jauh melebihi kemampuannya, dikarenakan perkataan yang diucapkan oleh Jing Jiu, sebelum ia meninggal.

Jing Jiu bisa merasakan kalau tekanan dari tekad - tekad pedang itu mulai berkurang, namun suasana mencekam yang terpancar dari ratusan pedang yang ada di sana justru menjadi semakin tak tertahankan. Pedang yang dicarinya seharusnya berada ditempat yang lebih tinggi dan ia pun lalu melompat keatas.

Kedua kakinya mendarat di tanah, dengan keheningan yang menyelimutinya.

Awan - awan tebal itupun akhirnya menghilang.

Pandangan Jing Jiu tertuju pada sepasang mata yang ada di sana.

Mata itu sungguh sangat indah, bagian putihnya bagaikan merkuri dan pupilnya yang hitam terlihat seakan - akan baru dilukiskan di mata itu.

Bagi orang lain, pasti akan sangat menakutkan jika mereka tiba - tiba melihat sepasang mata yang ada dibalik awan.

Begitu juga dengan pemilik sepasang mata itu, ia pun pasti akan sangat ketakutan.

Namun, Jing Jiu dan pemilik mata yang indah itu bukanlah orang biasa.

Tidak ada teriakan yang terdengar, hanya ada keheningan.

Mereka hanya bisa melihat mata dari orang yang ada di depannya, yang berarti bahwa wajah mereka berada sangat dekat satu sama lain.

"Maaf, Aku tidak tahu kalau ada orang disini." ujar Jing Jiu.

Beberapa helai rambutnya berayun didepan matanya, terkena tiupan nafasnya, seperti ranting pohon willow yang tercelup ke air saat sedang berayun.

Jing Jiu lalu melangkah mundur dan melihat wajah orang itu.

Wajah orang itu sangat cantik. Meskipun tidak seindah wajahnya sendiri, namun bisa dikatakan, kalau mata dan alis orang itu seakan muncul dari dalam lukisan.

Akan tetapi, alis gadis ini sangat hitam walaupun sedikit pendek dan rambutnya juga pendek... sangat pendek.

Debu yang terlihat di wajah dan rambutnya, membuatnya terlihat kotor, seakan - akan sudah lama tidak dibersihkan.

Terdapat sebuah gua yang berukuran setengah tinggi orang dewasa di tengah lereng gunung itu.

Gadis muda itu sedang duduk bersila, ia tampak seperti sebuah patung batu.

Jing Jiu ingat siapa gadis itu.

Hanya ada satu orang di Sekte Gunung Hijau, yang tinggal di puncak gunung ini sepanjang tahun, sambil berlatih Menempa Tekad Pedang dan orang itu adalah Zhao Layue.

"Siapa kamu?" tanya Zhao Layue.

Suaranya sangat enak didengar, se jernih suara deru pedang, dengan nada suara yang sedikit meninggi di akhir ucapannya, bagaikan pedang yang dipantulkan oleh mata air di musim gugur.

"Jing Jiu."

"Sepertinya aku pernah mendengar namamu." ujar Zhao Layue setelah ia berpikir sejenak.

"Aku juga sudah mendengar tentangmu." ujar Jing Jiu.

Zhao Layue yang memiringkan kepalanya, sambil menatap Jing Jiu, ia lalu berkata, "Kamu tidak setampan yang digosipkan."

"Gosip - gosip itu tampaknya terlalu dilebih - lebihkan."

Jing Jiu pun mengangguk ke arah gadis itu, lalu ia pergi meninggalkan lereng gunung itu dan kembali mendaki ke ketinggian yang lebih tinggi.

Zhao Layue yang tidak begitu memperhatikan gerak - gerik Jing Jiu, lalu menutup mata tanpa pikir panjang dan kemudian, melanjutkan latihannya untuk merasakan dan memahami arti dari pengalaman yang ia dapatkan dari tekad - tekad pedang yang ada di sekitarnya.

Jika kamu membiarkan tekadmu untuk bergerak secara alami dan menggunakan alam di sekitar untuk menempanya, maka alam disekitarmu akan memberikan banyak manfaat untukmu.

Dalam nafasnya terdapat denyut tekad pedang, yang secara perlahan menjadi tenang dan berdenyut semakin pelan, hingga akhirnya nafasnya tidak terasa, untuk waktu yang lama.

Detak jantungnya pun menjadi semakin pelan dan hampir tidak terdengar, di tengah suara angin yang bergemuruh dan tekad - tekad pedang yang kacau, di antara lereng - lereng gunung itu.

...

...

Jing Jiu tiba di lereng gunung yang berada di bagian barat dari Puncak Pedang.

Ia masih berpikir tentang Zhao Layue.

Ia merasa kalau ia pernah mendengar nama ini jauh sebelum ia tiba di Gunung Hijau, namun, ia tidak tahu mengapa ia merasa begitu familiar dengan nama ini. Apakah karena ia terlalu sering mendengar nama ini atau karena alasan lain?

Ia merasa kalau ia pernah melihat mata itu, baik bagian putih nya yang sangat mencolok maupun bagian hitam dari mata itu.

Sebagai murid yang paling diistimewakan oleh seluruh sekte dan juga para gurunya dan juga sebagai orang yang akan menjadi bintang di Turnamen Pewaris Pedang, Zhao Layue dipercaya memiliki mata yang agresif dan penuh percaya diri.

Namun apa yang dilihat oleh Jing Jiu dimatanya tidaklah sesederhana itu. Gadis itu seakan sedang menyembunyikan sesuatu dan ia bisa merasakan kegelisahan yang ada di matanya.

Tapi, itu semua tidak ada hubungannya dengan dirinya.

Ia lalu melihat ke sekitarnya, ia yakin kalau pedang yang ia cari pasti ada disekitar sini dan ia kemudian mengaktifkan kekuatan pikirannya untuk memancarkan Piercing Discernment nya.

Pedang - pedang yang berada dalam jangkauan Piercing Discernment nya yang jangkauannya mencapai jarak sekitar seribu meter, memberi respon padanya, sekalipun pedang - pedang itu tersembunyi di bagian terdalam dari puncak gunung ini.

Bebatuan yang ada di puncak gunung ini sedikit bergeser dari tempatnya semula, seakan tertiup angin yang lembut dan sebagian dari batu - batu itu mulai berjatuhan.

Banyak kilatan cahaya yang berasal dari tekad - tekad pedang berusaha untuk keluar dari tempat persembunyian mereka, namun, saat mereka bersentuhan dengan Piercing Discernmentnya, tekad - tekad pedang itu kembali ke lereng - lereng gunung itu dan tidak lagi berani untuk keluar.

Mereka bertingkah seperti kelinci - kelinci yang merasakan bahaya.

Siapapun pasti merasa lucu ketika menyaksikan kejadian ini.

Namun, tidak ada seorangpun yang bisa melihat apa yang sedang terjadi di dalam awan - awan tebal yang ada di Puncak Pedang.

Kecuali, jika kamu berada di dalamnya.

Zhao Layue yang duduk di antara lereng gunung yang berada dibagian timur dari Puncak Pedang, membuka matanya saat ia merasakan perubahan yang terjadi pada tekad - tekad pedang yang ada disana, ia pun bertanya-tanya mengapa hal ini bisa terjadi.

Disisi lain dari puncak gunung itu...

"Kalian tidak layak untuk menjadi pedangku." ucap Jing Jiu pada pedang - pedang yang menjauh darinya.

"Aku serius, kalian benar - benar tidak layak untuk menjadi pedangku." ulangnya lagi setelah terdiam sejenak.

Pada akhirnya ia berkata, "Tapi aku tidak keberatan."

Pedang - pedang yang ada di puncak gunung ini tetap diam.

"Aku tidak akan terus berdiam diri lagi di gunung - gunung ini seperti dulu."

Jing Jiu mengerti apa yang diinginkan oleh pedang - pedang ini dan setelah berpikir sejenak, ia kemudian berkata, "Kali ini, aku akan pergi berkelana dan melihat - lihat dunia luar."

Pedang - pedang itu lalu bergegas maju kedepan Jing Jiu dengan gembira.

...

...