He Jichen menatap jalanan lengang di depannya cukup lama, sebelum perlahan mengalihkan perhatian ke tepi jalan.
Seorang gadis berjongkok di tepi jalan itu, tubuhnya meringkuk di bawah cahaya lampu yang kekuningan.
Meski ia menunduk sehingga He Jichen tidak dapat melihat wajahnya, ia masih dapat mengenali gadis itu hanya dengan sekali lihat saja.
Pundak gadis itu bergetar seakan sedang menangis.
Tanpa sadar He Jichen mempererat genggamannya pada kemudi ketika melihat apa yang terjadi di depannya.
-
Ji Yi berjongkok di tepi jalan sambil meletakkan kepalanya di sela kedua lututnya. Kedua alisnya bertaut, satu tangannya menekan perut dan yang lainnya mengepal erat.
Ia baik-baik saja sebelumnya, tetapi entah mengapa perutnya mendadak sakit.
Awalnya, ia mengira bahwa rasa sakit yang samar-samar namun menusuk itu hanyalah karena kembung, dan gadis itu menganggapnya sepele. Tak disangka rasa sakit itu kian menjadi-jadi dalam perjalanannya kembali ke kampus. Sakitnya menjadi tak tertahankan sampai-sampai ia kesulitan bernapas dan kedua kakinya menjadi lemas sehingga ia tak sanggup lagi melangkah. Yang bisa dilakukannya hanyalah duduk, menekan perutnya, dan berharap rasa sakit itu perlahan menghilang.
Sekitar lima menit kemudian, rasa sakitnya sedikit berkurang. Dengan kaki gemetar, Ji Yi baru saja mencoba berdiri ketika tiba-tiba- rasa sakit yang tajam itu kembali menusuk lambungnya. Kali ini, sakitnya berkali-kali lipat lebih parah dari sebelumnya, seakan ada pisau yang menyayat perutnya. Sakitnya tak tertahankan sampai ia mengerang kesakitan, dan air matanya mengalir keluar. Ia pun kembali terduduk di tanah.
Gelombang rasa sakit itu bukannya berkurang, tapi justru bertambah. Ji Yi begitu kesakitan hingga tubuhnya gemetaran. Ia sadar pasti ada yang salah dengan dirinya. Ji Yi hendak mengambil ponselnya untuk menelepon dan meminta bantuan.
Rasa sakit membuat jemarinya bergetar hebat. Ia memakai seluruh tenaganya untuk menarik tasnya ke depan. Baru saja ia hendak menarik resleting tas, rasa sakit yang hebat kembali menyerangnya tanpa ampun. Ji Yi sangat kesakitan hingga tubuhnya limbung, ia hampir tersungkur ke tanah. Gadis itu menguatkan diri, menahan napas, dan berusaha tidak bergerak sesaat lamanya sambil mengeratkan giginya. Jari-jemarinya menyentuh resleting, tapi ia sudah kepayahan menahan sakit hingga tak mampu lagi menekan kepala resleting, apalagi menariknya agar terbuka.
Ji Yi mulai merasa berkunang-kunang. Ia memaksakan diri untuk tetap sadar, tapi rasa sakit itu makin menusuk-nusuk, hingga punggungnya basah kuyup oleh keringat.
Sesekali ia mendengar suara mobil berlalu-lalang, dan perlahan menghilang di kejauhan.
Ketika ia begitu kesakitan dan hampir pingsan, samar-samar ia mendengar suara yang sudah tak asing lagi dari atas kepalanya, "Mengapa kau duduk di sini?"
Ji Yi mengira ia hanya berhalusinasi. Sejenak ia terkejut sebelum akhirnya mengangkat kepalanya dengan susah payah.
Di depannya terlihat sepasang sepatu kulit pria.
Ji Yi mengerutkan kening ketika berusaha keras untuk mendongak. Baru saja pandangannya mencapai pinggang lelaki itu, rasa sakit di lambungnya membuat segalanya menjadi gelap. Tubuhnya seketika ambruk ke tanah.