Chereads / Our Boss! / Chapter 34 - Hug me, please.

Chapter 34 - Hug me, please.

Apa aku harus jadi soal UN? Biar diseriusin sama kamu.

-Unknown-

©

Hilman tersenyum saat Tria melambai-lambaikan tangannya, hampir satu jam lebih ia menunggu kedatangan Tria di lobby.

"Jadi yang itu?" tanya Tria, pertanyaan ambigu yang membuat Hilman kini mengernyitkan kening.

"Itu apa?"

"Katanya mau main Ice Skating di TA" kata Tria. Ia mengecek kembali pesannya yang dikirim Hilman, benar kok. Jika Hilman mengajaknya bermain ice skating.

"Maaf banget," belum Hilman menjawab Tria sudah menyuarakan permintaan maafnya karena membuat Hilman cukup lama menunggu. "Tadi ada sedikit masalah." Tria tertawa lemah di ujung penjelasannya.

"Enggak apa-apa," ucap Hilman. Tangannya meraih tangan Tria, menyelipkan sesuatu di sana. "Energi, biar kamu enggak bad mood."

Senyum Tria mengembang mendapati permen asam manis yang diberikan Hilman, "Nice."

"Kamu capek enggak?" tanya Hilman takut-takut, karena ia akan merasa lelaki tak tahu diri jika memaksakan kehendaknya mengajak Tria pergi keluar jika kondisi Tria saja tidak dalam kradaan fit. "Kalau capek enggak usah ke CP, kita nonton aja gimana? Mainstream sih, tapi lebih baik dari pada harus bikin kamu capek."

Tarikan napas lepas Tria terasa sedikit mengganjal di rongga saat Hilman menatapnya, "Enggak apa-apa."

Anggukan dan persetujuan Tria membawanya pada keyakinan, di mobil Hilman memberikan Tria kentang goreng dan yogurt. "Kamu pasti lapar."

"More than hungry," Tria menerima kentang goreng yang mungkin dibeli Hilman sebelum menunggu Tria, "Kamu jadi balik ke Singapur minggu depan?"

"Iya, karna harus urus beberapa hal sebelum bisa pindah ke Jakarta," ungkap Hilman. Meski matanya fokus pada jalanan Jakarta yang lumayan padat ia sesekali tetap memperhatikan Tria lewat ekor matanya.

"Mungkin bulan depan baru bisa mulai kerja di tempat baru," lanjut Hilman. Wajahnya sedikit kaku saat Tria menjulurkan stick kentang tepat di depan mulutnya, namun beberapa saat ia tetap menerima suapan Tria.

"Sounds good," Tria mengangguk-anggukan kepalanya. Duduk dengan nyaman di samping Hilman tanpa tahu ia sudah berhasil membuat Hilman kikuk. "Kita bisa sering ketemu berarti."

"Aku seneng-seneng aja diajak jalan sama kamu, tapi ya kamunya susah banget diajaknya."

Jadi Tria yang tak enak hati, menelan ludahnya seret. Ia membuka Yogurt rasa strawberry, meminta Hilman menyalakan radio. Dari Jakarta Selatan ke Barat bukan waktu yang sebentar.

"Kamu terakhir pacaran kapan, terus mantannya berapa?" tanya Tria iseng-iseng, penyiar radio yang diputar Hilman memberitahu kemacetan jalan yang akan dilalui dan Tria hanya bisa mendesah tanpa mengeluh.

"Dua, itu juga mereka yang ninggalin aku."

Kayaknya dua saudara ini punya bakat ditinggalin cewek. Enggak Gean maupun Hilman mereka sama-sana ditinggal.

"Itu pun waktu kuliah, pas terakhir pacaran sama Karenina. Dia bilang aku terlalu Astaghfirullah, buat dia yang Subhanallah." sudut bibir Hilman tertarik ke atas, meski ini jelas bukan hal lucu. Tria menahan tawanya, maunya bertanya cerita lengkapnya. Namun ia tidak mau disangka terlalu ingin tahu.

"Kalau kamu?" suara rendah Hilman yang diiringi alunan lagu Thank u, Next dari Ariana membuat atmosfer di dalam mobil menjadi sedikit berbeda.

"Enggak ada," Tria mendelik saat Hilman menatapnya dalam ketidakpercayaan, raut wajahnya jelas menunjukan keraguan. "Serius, aku nggak punya mantan."

"Can I? Be your first ex boyfriend?"

Tawa Tria terdengar lepas, ada Pria yang mau jadi mantan? Ya cuman Hilman kayaknya.

"Be your ex boyfriend and then be your husband."

Ternyata lanjutan pernyataanya mampu membuat Tria seperti terkena serangan jantung tiba-tiba.

"Kamu tau enggak kalau aku punya keinginan nikah di usia 28 tahun," jalanan macet Ibu Kota memperlancar segalanya. Percakapan berat dinaungi senja mampu membuat hati Tria disapa risau. "But, I am thirty one, Now. Payahnya lagi single."

"Manusia hanya bisa berencana, Tuhan yang menentukan," nasehat yang hampir bisa kita dengar darimanapun. "Like me, aku udah lumayan atau memang tergolong tua untuk menikah. Terlalu sibuk dengan suatu hal sampai lupa dengan berbagai hal yang penting."

"Ya, kita hanya berusaha dan berencana sebaik mungkin. Tuhan yang menentukan akhirnya, kalau pun apa yang kita inginkan tidak sesuai dengan apa yang terjadi. Mungkin ada hal baik yang tidak kita sadari, seperti sekarang. Kalau aku sudah menikah di usia 28, aku mungkin enggak bisa ketemu kamu."

Raut wajah Hilman seolah mengatakan jika bertemu Tria sekarang adalah sebuah keberuntungan yang tertunda, Gean butuh waktu lima tahun untuk menyadari keberadaan Tria, sementara Hilman dia mengambil setiap kesempatan yang ada.

"Yang ku pelajari dari semua apa yang sudah terjadi adalah waktu yang tidak pernah menunggu, kenapa harus nanti kalau aku bisa sekarang. Kenapa harus menyia-nyiakan setiap kesempatan yang ada kalau kita bisa melakukannya," Hilman melirik kearah Tria yang termenung. "Kamu salah satunya, aku terlalu takut menunggu. Kamu perempuan baik dan mau mengerti, itu lebih dari cukup."

"Debaran di hati kamu masih untuk Gean, tergantung kamu. Mau membiarkan rasa itu pergi atau tumbuh, dan aku menunggu di sini."

"Can I be yours?"

"First, you've to be honest with your heart," kata Hilman, ia masih melengkungkan senyum membuat Tria lagi-lagi dihantam kenyataan sulit dengan keadaan. "You're happy with him."

"Man...," Tria menatap memohon pada Hilman, "Let me say something, aku masih menunggu. Aku enggak terlalu yakin dengan perasaan Gean."

"Aku beberapa hari ini menahan diri untuk enggak ketemu kamu, aku nggak mau merebut kebahagiaan kamu di samping Gean," ucap Hilman, membuat ogurt Tria sulit melewati tenggorokannya. "Yang baru kamu sadari adalah Gean punya perasaan buat kamu."

"After 5 years?" decak Tria. "Gean terlalu lama menyadarinya."

"Kamu yang menyimpan rapi perasaan kamu sampai Gean sulit melihat," kata Hilman, tatapan teduhnya membuat Tria benar-benar dihantam kenyataan sulit. Ada pria seperti Hilman yang ingin hidup bersamanya, "Aku enggak mau membuat kamu menjadi perempuan jahat yang menggantung dua hati, Tria. You have to make decision, follow your heart."

Kenapa Tria merasa dirinya memang jahat tepat seperti apa yang diucapkan Hilman, "Even I know, I can treat you better than him. Tapi kalau kamu bahagia di sisi Gean, aku bisa apa?"

Senyum usang yang terlengkung di wajah Tria jelas menggambarkan kerisauan hatinya sekarang, "Aku terlalu tidak tahu diri sekarang, maunya ada kamu tetap di sampingku, meski kehadiran kamu untuk meyakinkan perasaanku terhadap Gean saja. Aku egois juga jahat."

"Take your time, aku masih di sini. Aku menunggu kamu meyakinkan hati kamu, aku atau Gean sama-sama enggak mau bikin kamu sakit hati. Your happiness is everything for us," Hilman mengeluarkan sesuatu dari paperbag yang ia simpan sejak tadi di kursi belakang.

"Kasih tau aku ketika kamu merasa keberadaanku membuat kamu terganggu, jangan ragu menegurku kalau apa yang aku lakukan salah. Karena aku hanya sedang berusaha menjadi orang yang pantas buat kamu." Hilman melirik ke dalam paperbag, lewat tatapan matanya ia menyuarakan kata yang terucap. Sebuah pot berisi tanaman Sansevieria yang masih kecil.

"Let love grow between us, or stop this feeling."

.......

Hmmm *5jam...*

Lagi mendalami peran seandainya gue yang jadi Tria.💕