Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Beruntung perlombaan tingkat provinsi tahun ini diadakan di kota kami, sehingga kami tidak perlu menyewa penginapan untuk bermalam. Perlombaan akan dilaksanakan pada pukul 7 malam di gedung seni dekat alun-alun kota.
Keluargaku sangat bersemangat karena hasil dari latihan kakakku selama hampir satu bulan akan ditampilkan di depan banyak orang. Aku yakin kakakku sangat gugup sekali, tetapi dia berusaha terlihat tetap tenang. Aku dapat melihat dari perilakunya yang selalu mengontrol nafasnya dan meremas jarinya, itu adalah kebiasaannya dari dulu saat dia sedang gugup. Aku tertawa kecil melihat tingkahnya itu.
"Udah latihan satu bulan kok masih gugup aja? Latihannya sampe malem gak ada abisnya," godaku pada Mas Andi sambil tertawa kecil.
"Atuh latihan dan gugup mah beda. Walaupun udah latihan satu tahun juga kalo pas hari perlombaan pasti ada gugupnya. Lagian siapa juga yang latihan sampe malam. Ngawur kamu," jawab Mas Andi sambil mengacak-acak rambutku.
"Andi... Melati... ayo masuk mobil. Kapan kalian mau berangkat? Ini udah jam setengah tiga sore. Nanti bisa telat sampe sana kalau terlalu sore," suara ibuku membuyarkan percakapan kami.
"Iya Bu," jawab kami berdua.
***
Selama di perjalanan, aku terus memikirkan percakapanku dengan Mas Andi. "Jika bukan Mas Andi yang memainkan piano itu, lalu siapa yang setiap malam aku lihat disana?" pikirku. Aku terus memikirkannya sampai tidak terasa sudah setengah perjalanan yang kami tempuh dan jam menunjukkan pukul lima sore.
"Mas, aku mau nanya," aku memanggil Mas Andi.
"Mau nanya apa?" tanyanya.
"Mas Andi beneran nggak latihan malam-malam?" aku memberanikan diriku karena sudah sangat penasaran.
"Ya nggak lah. Ngapain malam-malam main piano? Lebih baik tidur, istirahat biar paginya nggak ngantuk," jawab Mas Andi.
"Eh tapi beneran loh Mas, aku selama satu minggu terakhir selalu kebangun jam 10 malam gara-gara suara piano dan setiap aku liat siapa yang main, pasti selalu Mas Andi. Lagian kan di rumah cuma Mas Andi satu-satunya anak laki-laki yang bisa main piano. Emangnya ada lagi selain Mas Andi?" ucapku agar Mas Andi percaya.
"Mungkin itu halusinasi kamu saja Dik," kata Mas Andi. Mas Andi berusaha untuk menenangkan adiknya agar tidak berpikir yang aneh-aneh karena dia sangat mengenal adiknya yang penakut tetapi memiliki rasa ingin tahu yang tinggi.
"Tapi kalo halusinasi, kok bisa sampai satu minggu Mas?" tanyaku yang semakin penasaran.
"Udah, udah, jangan dipikirin lagi. Eh, kamu tumben nggak bawa si beruang? Biasanya kamu bawa kemana-mana," ucap Mas Andi.
"EH IYA AKU LUPA!" aku terperanjat dan tersadar dari rasa penasaranku. Ternyata bonekaku ketinggalan di rumah.
"Ada apa sih Melati? Kok teriak-teriak? Ibu sampe kaget loh. Kalau ayah kaget terus jadi salah belok gimana?" kata ibuku.
"Itu Bu, boneka aku ketinggalan di rumah," jawabku sambil menahan tangis. Begitulah aku, jika aku memiliki barang baru, pasti selalu aku bawa kemana pun aku pergi sampai aku benar-benar bosan dengan barang itu.
"Yasudah, terus kita harus balik lagi cuma buat ngambil boneka? Ini udah mau sampai, lagian bonekanya juga nggak bakal nangis kalo ditinggal di rumah," kata ibuku dengan kesal.
"I... Iya Bu, nggak apa-apa kok," kataku sambil berusaha menahan tangis. Aku terus menahan tangis hingga akhirnya aku terlelap.
***