- 1617 SM -
Seorang pria bangsawan tengah duduk tenang diruang perpustakaan. Pria tampan itu bernama Rajendra. Dia dengan tekun membaca disana ditemani oleh gurunya. Awalnya, dia memang duduk tenang, namun baru 15 menit berlalu, dia sudah mulai gelisah. Berulangkali menghela nafas dan mengerutkan dahinya.
"Yang Mulia, sikap dari seorang bangsawan yang baik ialah ketenangan dan keanggunan. Jadi Yang Mulia, bisakah anda tidak bergerak-gerak seperti itu. Bacalah buku anda dengan tenang," ujar sang guru.
"Haah, mana bisa aku membaca buku dengan tenang. Aku sangat benci belajar, paman tahu sendiri kan, kalau aku lebih suka berlatih pedang ataupun memanah. Disini sangat membosankan dan aku tak bisa menangkap pelajaran apapun dari buku yang aku baca," keluh Rajendra yang biasa dipanggil Yang Mulia oleh guru sekaligus pamannya.
"Yang Mulia, sebentar lagi anda akan dilantik sebagai putra mahkota. Anda setidaknya harus belajar sedikitnya mengenai silsilah kerajaan dan filosofi dasar. Kalau seperti ini terus bagaimana anda bisa menjadi panutan?"
"Ya, ya, aku tahu. Tapi bisakah Paman memanggil namaku tanpa embel-embel Yang Mulia, aku benci mendengar kata itu." ujar Rajendra, sambil memutar bola matanya malas.
"Dan ijinkan aku istirahat sebentar saja. Punggungku terasa pegal sekali."
"T..tap..tapi mana boleh hamba memanggil Yang Mulia hanya dengan nama kecil. Bagaimana bila ada seseorang yg mendengarnya. Hamba bisa langsung digantung dan.."
"Paman, sudahlah, kita hanya berdua. Dan saat ini tidak ada yang bisa menguping obrolan kita. Jadi seperti perjanjian kita dahulu, jika kita hanya berdua, jangan memanggilku dengan sebutan itu. Aku membencinya dan jangan menyebut diri paman 'hamba', aku ini keponakanmu paman." Rajendra memulai aksi protesnya.
"Haaah, baiklah," Guru Darya, nama paman Rajendra, menghela nafasnya pasrah.
"Paman akan menurutimu. Tapi kalau boleh paman tanya, kenapa kau tidak ingin menjadi seorang putra mahkota?"
tanyanya, matanya berubah sendu.
"Kenapa paman tanya? Seharusnya paman lebih tahu jawabannya ketimbang diriku?"
jawab Rajendra acuh sambil menyandarkan tubuhnya ke kursinya.
Ia tahu ia seorang pangeran, tapi tak pernah sekalipun dia menginginkan tahta itu dari ayahandanya. Itu dikarenakan oleh kenangan masa lalunya.
Ia mulai memejamkan matanya, namun tak tertidur melainkan pikirannya kembali pada saat ia berusia 10 tahun.
*flashback*
15 tahun yang lalu
Rajendra kecil sedang berjalan-jalan ke pasar desa. Ia sangat senang bisa kabur dari istana dan bermain disepanjang pasar desa. Namun ia pun juga tahu, jika ia tidak mungkin dibiarkan kabur sendirian, ia pasti diikuti oleh pengawalnya yang tak lain adalah pamannya sendiri.
Ia lebih senang lagi karena pamannya tak berusaha memaksanya pulang, tapi hanya mengawasi dirinya dari jauh.
Tak menyia-nyiakan kesempatan itu, dia pun pergi berkeliling desa sepuasnya. Mencoba berbagai macam hal baru. Ekspresinya terlihat lucu dan menggemaskan, bahkan pamannya yang mengawasinya dari jauh pun tak hentinya ikut menyunggingkan senyum dan menggeleng - gelengkan kepalanya melihat tingkah keponakannya. Rajendra berlari kesana kemari tanpa arah. Dan tanpa ia sadari, ia sudah berada di perbatasan desa.
Disana ia melihat beberapa anak-anak sebayanya sedang bermain layang-layang. Ia penasaran dan memutuskan untuk mendekati mereka.
"Hai semuanya, apa aku boleh ikut bergabung bersama kalian?" tanya Rajendra.
Anak-anak itu kaget dan menoleh kepada Rajendra. Mereka melongo, menatap Rajendra dari atas sampai bawah, kemudian saling pandang satu sama lain. Sampai salah seorang dari mereka membuka suara.
"Hoi, kalau dari penampilanmu, sepertinya kau seorang Tuan Muda. Dan aku juga belum pernah melihatmu, kau pasti bukan orang sini kan?"
"Memang bukan," jawab Rajendra polos.
"Kalau begitu kau dilarang ikut! Karena kau orang asing. Lagipula kau seorang bangsawan," jawab anak lainnya.
"Lalu kenapa jika aku seorang bangsawan? Kalian manusia, aku juga manusia, iya kan?" Rajendra bingung.
"Justru karena kau seorang bangsawan dan kami ini anak kaum rendahan, makanya kau kami larang ikut bermain," ujar yang lain lagi.
"Maaf, tapi aku masih belum paham apa maksud dari perkataan kalian. Bisa kalian jelaskan?" tanya Rajendra sungguh - sungguh.
Mereka saling pandang, ragu akan memberi jawaban seperti apa. Mereka takut jika Rajendra itu seperti anak - anak bangsawan lainnya. Namun salah seorang dari mereka maju ke depan dan dengan berani menjawab pertanyaannya.
"Kau benar-benar ingin tahu?" tanya anak pemberani itu. Rajendra mengangguk yakin, sembari menatap mata anak itu mantap. Dalam hatinya, ia merasa tak asing dengan tatapan mata itu.
"Akan aku katakan," anak itu maju selangkah lebih mendekat pada Rajendra
"Biasanya, anak dari seorang bangsawan itu manja. Jika dia kalah atau cedera saat bermain dia akan marah dan menyalahkan temannya. Setelah itu, dia akan mengadu pada orang tua mereka. Dan kami anak-anak miskin akan dihukum bahkan sampai ada yang dipenjara sebelum kami bisa membela diri kami," jawab anak pemberani itu dengan berapi-api.
Rajendra membelalakkan matanya, tak menyangka dengan jawaban itu. Ia melangkah mundur, sementara anak pemberani itu terus mendekat sambil terus menyeringai kepadanya.
"Dan kau tahu apa yang lebih menyakitkan bagi kami? Orang tua kami jadi lebih menderita karena sikap kalian yang sok itu. Maka dari itu, kami sepakat siapapun yang berasal dari golongan bangsawan, dilarang bermain bersama kami," kata anak itu tajam, matanya berkilat, seringainya pun menghilang dari wajahnya.
Rajendra membeku ditempatnya. Dia melongo sambil mengerjap - ngerjapkan matanya lucu. Sejenak dia menundukkan kepalanya, mungkin ia menyadari bahwa semua hal tak selalu terlihat sama seperti yang biasa ia lihat di lingkungannya.
Namun ia menjawab,
"Kalian mungkin benar, tapi kalian juga harus tahu, tidak semua dari kami punya pemikiran sama. Termasuk aku pun juga berbeda. Aku tidak sama dengan mereka."
"Mana mungkin, wajahmu dan penampilanmu mengatakan hal yang sebaliknya," kata yang lain.
"Kenapa dengan wajahku?" Rajendra heran.
"Wajahmu itu sangat bersih dan tak bernoda. Seperti tak pernah tergores apapun. Bahkan kalau kulihat - lihat telapak tanganmu juga halus seperti perempuan. Kau pasti sangat di manja oleh orang tuamu," ketus yang lain lagi.
Rajendra ingin mengelak, namun setelah ia pikir lagi, ia mengakuinya.
"Aku akui, mungkin sebagian dari kami memang manja dan tukang mengadu. Tapi sebagian dari kami ada yang tidak. Terserah kalian mau percaya atau tidak."
Rajendra memandang mereka semua, lalu tatapannya teralihkan pada sebuah layang-layang tersangkut di sebuah pohon. Ia pun meneruskan,
"Jika kalian tak percaya, aku bisa membantu kalian mengambilkan layang-layang itu."
Mereka menoleh ke arah layang-layang dia atas pohon tinggi, lalu kembali pada Rajendra. Semua mendengus, bahkan ada yang menertawakan Rajendra,
"Mana mungkin, pohon itu sangat tinggi. Jika kau berusaha memanjatnya dan nanti terjatuh, kau bisa terluka bahkan mati. Apa kau sudah gila?"
"Aku tidak gila, kau hanya butuh keahlian," Rajendra tersenyum penuh arti.
Sementara yang lain saling menatap bingung, hanya satu dari mereka yang tak menunjukkan ekspresi apapun. Seolah dia memang menantikan hal ini terjadi.
"Baiklah, tunjukkan pada kami," tantang anak berwajah datar itu.
"Tapi dengan satu syarat," ucap Rajendra.
"Katakanlah,"
"Kalian tidak boleh mengatakan hal ini pada siapapun, bahkan kepada orang tua kalian sendiri," pinta Rajendra tegas.
"Baiklah" jawab anak berwajah datar. Dan yang lain ikut mengangguk setuju.
"Kalau begitu lihat baik-baik,"
Rajendra mulai mengulurkan tangannya kearah layang-layang itu. Dan seakan memiliki tali tak terlihat, layang-layang itu melayang mendekat ke arah tangan Rajendra yang terjulur. Dengan pelan, ia menangkapnya.
Saking takjubnya, anak-anak desa yang lain tanpa sadar melongo dan berkedip tanpa henti. Hanya satu dari mereka menatap pada Rajendra dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Sulit dipercaya.."
"Bagaimana kau melakukannya?"
"Apa kau hantu?"
"Apa kau seorang penyihir?"
"Jangan-jangan aku jadi gila sekarang,"
Mereka berkomentar tanpa henti. Namun saat Rajendra akan menjawab, ada serombongan orang-orang berkuda dari luar desa yang akan melewati jalan itu. Tanpa pikir panjang mereka menyingkir, menepi.
Tapi tiba-tiba anak berwajah datar tadi menarik tangan Rajendra berlari menjauh dari tempat itu. Ia heran sekaligus bingung, namun dia pasrah saja.
Saat sudah terlihat cukup jauh dari yang lain dan tak terlihat oleh siapapun, Rajendra pun menghentikan laju larinya.
"Hei, berhentilah, aku capek. Kita sudah berlari cukup jauh. Dan kenapa kau mengajakku bersembunyi dari yang lain? Aku ini bukan buronan kau tahu," Rajendra terengah-engah sekaligus merasa kesal.
Ia mengatur nafasnya yang seakan tertinggal di pinggir desa tadi.
"Kau!" anak itu menunjuk-nunjuk Rajendra dengan tiba-tiba, membuatnya terlonjak kaget.
"Darimana kau bisa melakukan hal itu? Dari lahir atau kau seorang anak penyihir?"
"Yaak,, hati-hati kalau kau bicara pada orang. Aku ini putra bangsawan terhormat, mana mungkin orang tuaku seorang penyihir." Rajendra agak tersinggung.
"Ck.. kau tinggal jawab saja, kan, tak perlu marah-marah begitu. Jadi, aku butuh jawaban segera," kata anak itu mulai frustasi karena panik.
"B..baiklah akan aku jawab, tapi kau harus memberiku jawaban atas pertanyaanku juga," balas Rajendra.
Anak itu mengangguk dengan segera, bahkan tatapan mata anak itu begitu tajam menusuk.
Rajendra menghela nafas,
"Aku bisa melakukan hal itu sejak dari lahir, orang tuaku yang mengatakannya padaku. Mereka awalnya juga terkejut, namun akhirnya menerimaku apa adanya. Tapi, mereka sebenarnya melarangku menunjukkan keahlianku secara sembarangan pada siapapun."
Rajendra menatap lawan bicaranya, ia cemas dengan reaksi anak itu.
"Lalu bagaimana denganmu, kau berjanji menjawab semua pertanyaanku kan? Jadi sebagai pertanyaan pertama dariku, apa kau akan mengatakan pada orang-orang tentang kekuatanku?"
Awalnya anak berwajah datar itu hanya menatap tajam Rajendra. Tapi sedetik kemudian ia tersenyum, Rajendra pun ikut tersenyum.
"Aku tak akan mengatakannya pada siapapun. Tenanglah," jawab anak itu, Rajendra pun merasa lega.
"Tapi kenapa?" mau tak mau Rajendra masih penasaran dengan sikap anak laki-laki dihadapannya yang berubah-ubah.
Anak itu kemudian menundukkan kepalanya, dengan pelan ia berkata,
"Karena... aku pun memiliki keahlian. Yah, walaupun tidak sama denganmu."
"Apa!?" Rajendra kaget bukan main, matanya melotot.
"Lalu apa keahlianmu?" tanyanya penasaran.
Anak itu menjulurkan tangannya dan melambaikannya dengan pelan. Angin pun berhembus agak kencang, dan saat tangannya berhenti melambai, anginpun berhenti berhembus.
"Wah.. itu hebat sekali." Rajendra takjub.
"Aku kira disini hanya aku sendiri, rupanya ada yang lain juga." Rajendra girang bukan main.
"Oh iya, siapa namamu? Aku sedari tadi tidak tahu siapa namamu."
"Panggil aku Surendra. Sebenarnya, aku juga tidak berasal dari desa ini. Aku hanya suka bermain dan berpetualang kemanapun kakiku membawaku. Dan aku tadi juga benar-benar terkejut saat tahu ada anak lain yang seusia denganku memiliki sesuatu yang spesial seperti diriku." Anak kecil bernama Surendra itu sangat senang mengetahui ada anak lain yang memiliki kemampuan ajaib sepertinya.
"Ayo ikut aku sebentar. Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu."
Rajendra yang sedang senang karena mendapat teman baru, ia pun jadi lupa dengan semuanya. Sedangkan ditempat bermain layang-layang tadi, sang paman kebingungan mencari keponakan sekaligus Yang Mulia-nya. Ia lengah saat serombongan orang-orang menghalangi pandangannya.
Ia pun panik, kemudian memerintahkan para pengawal yang dibawanya untuk mencari Yang Mulia mereka.
Sedangkan tak jauh dari tempat ia mengawasi tadi ada seorang perempuan mengenakan tudung, dan terlihat mencurigakan, sedang mengawasi gerak gerik mereka.
***
Rajendra dan Surendra sampai di sebuah gubuk tua. Tak jauh dari sana ada sebuah sungai yang airnya sangat jernih.
"Masuklah, ini adalah tempat persembunyian rahasiaku," kata Surendra.
"Tak ada yang tahu tempat ini selain kita. Bahkan kedua orang tuaku juga tidak tau. Kalau kau lelah, istirahatlah didalam. Aku akan membersihkan diriku terlebih dahulu."
Rajendra mengangguk, lalu ia masuk ke dalam. Dari luar, gubuk itu terlihat kumuh, seperti tidak terjamah, tapi setelah masuk kedalam, ternyata gubuk itu sangat rapi dan bersih. Hanya ada dua ruangan yang pintunya saling berhadapan. Rajendra membuka salah satunya, rupanya hanya tempat untuk beristirahat saja, namun terlihat sangat nyaman.
Lalu ia keluar dan membuka ruangan lainnya, dan ia takjub dengan isi dari ruangan itu. Terdapat bertumpuk-tumpuk buku yang tertata rapi. Dan ada juga beberapa mainan dan juga beberapa perabot yang sudah agak berdebu, namun tetap tertata rapi.
'Rumah yang nyaman,' batinnya.
"Kenapa kau berjongkok disitu?" Surendra tiba-tiba masuk dan mengagetkan Rajendra.
Ia kaget juga bukan karena hal itu saja, namun setelah melihat wajah Surendra ia melongo. Ia seperti melihat dirinya sendiri. Namun ditepisnya pikiran itu.
"Kenapa kau memandangku seperti itu?" tanya Surendra.
"Ss..surendra? Apa kau benar-benar Surendra?" Rajendra tergagap.
"Tentu saja aku Surendra. Kenapa?" tanyanya ikut heran campur bingung.
"Tt..tidak apa-apa sih, aku hanya terkejut melihat wajahmu saat ini. K..k..kau mirip sekali denganku." Rajendra masih tergagap.
"Oooh," jawab Surendra.
"Kenapa 'oh'?" giliran Rajendra yang heran.
Surendra tersenyum lalu dia duduk disebelah Rajendra.
"Sebenarnya saat pertama kali aku melihatmu tadi, aku juga sempat terkejut, namun aku mencoba bersikap normal. Aku tak mau anak-anak yang lain menyadari hal ini."
Rajendra manggut-manggut.
Namun matanya masih tak lepas dari Surendra.
"Kenapa lagi?" tanya Surendra yang merasa risih dipandangi terus menerus, ia sedikit menjauhkan dirinya dari Rajendra.
"Kenapa penampilanmu bisa sangat berbeda dengan yang tadi? Apa kau belajar menyamar atau bagaimana?" Rajendra benar-benar penasaran.
"Soal itu, sebenarnya aku beberapa kali ingin bermain bersama mereka. Tapi tiap kali mereka melihat penampilanku yang rapi, mereka tak pernah mau mengajakku bergabung dengan mereka. Seperti yang mereka lakukan padamu tadi.
Lalu pernah suatu kali aku sedang berlari berusaha menangkap kelinci dihutan, aku terjatuh ke lubang yang orang buat untuk menjebak hewan buruan mereka. Badanku kotor dan bajuku robek disana sini karena tersangkut, lalu beberapa anak desa lewat didekat lubang tempat aku terperosok. Jadi aku berteriak meminta tolong, dan mereka menolongku. Mereka mengira aku anak-anak desa yang terlantar seperti mereka, dan yah, seperti yang kau lihat tadi, mereka mengajakku bermain. Dan kuputuskan setiap akan bermain bersama mereka, aku mengubah penampilanku."
Rajendra melongo mendengar penuturan Surendra, ia pun tersadar dengan sendirinya dan segera mengalihkan pandangannya dari Surendra.
Rajendra mencoba mengalihkan topik pembicaraan.
"Apa kau sudah membaca semuanya?" tunjuknya ke arah tumpukan buku di depan mereka.
Surendra mengangguk,
"Aku sangat suka membaca. Aku bahkan punya lebih banyak dirumahku."
Rajendra melongo lagi, kali ini merasa lebih takjub.
"Oh iya, aku ingin memperlihatkanmu sesuatu. Sebentar akan kuambil," Surendra bangkit dan mengambil sebuah buku kuno, ia pun membukanya.
"Kau tahu, buku ini menceritakan sebuah ramalan turun temurun yang berasal dari nenek moyang kita. Disini di ceritakan bahwa suatu hari nanti akan ada 2 orang kesatria matahari. Dengan tanda di langit saat matahari bertemu dengan bulan, akan datang pula 2 malaikat yang diutus oleh Dewa Bulan turun ke bumi untuk menjadi pengawal dari kedua ksatria itu.
Kedua ksatria matahari tersebut berasal dari kaum atas dan kaum bawah. Mereka memiliki simbol di tubuhnya, serta memiliki kekuatan istimewa sejak mereka dilahirkan. Masing-masing dari mereka memiliki sebuah senjata yang hanya bisa didapat bila mereka bersedia mengorbankan seseorang yang sangat mereka cintai sebagai imbalannya. Dan pada masa itu, dua matahari dan dua bulan akan bertemu untuk menghapuskan keangkara murkaan di muka bumi ini."
Surendra membacakan paragraf dari buku itu pada Rajendra.
"Sebentar, tunggu dulu, apa maksudmu membacakan dongeng ini padaku?" tanya Rajendra bingung.
Surendra meletakkan bukunya dengan agak kesal,
"Ini bukan dongeng kau tahu, ini legenda ramalan kuno. Aku sudah berulangkali membaca ini. Aku sangat penasaran, karena aku mendapatkan buku ini di ruang membaca pribadi milik ayahku. Bahkan disimpan di tempat yang tertutup.
Maka dari itu, saat ayahku pergi, diam-diam aku mengambilnya dan kubaca isinya.
Ternyata sungguh menakjubkan. Setelah aku melakukan pencarian dan penelitian, aku merasa mempunyai sedikit petunjuk mengenai kebenaran ramalan ini."
Rajendra terdiam dan syok mendengar penuturan Surendra. Ia terus menatap Surendra dengan tatapan tak percaya.
"Apa kau benar-benar sehat? Atau mungkin kau sedang mengalami trauma hebat? Sebaiknya kau ikut pulang denganku saja, barangkali saja ada tabib ditempat tinggalku yang bisa mengobati sakitmu itu."
Surendra memutar bola matanya malas,
"Sudah aku katakan kalau aku itu baik - baik saja. Dan aku tidak gila. Setidaknya masih cukup waras untuk mengakui hal mustahil yang kau lakukan dipinggir desa tadi." balas Surendra kesal.
"Hei, kau sendiri bisa melakukan hal ajaib itu. Tak ada gunanya kau membantah apa yang kau lihat tadi," Rajendra mendengus.
"Baiklah, begini saja, aku akan mencoba mendengar penjelasanmu sekali lagi. Tapi jika semua itu tidak terbukti maka aku akan langsung pulang detik itu juga," Rajendra mengalah, merasa tak enak dengan tatapan memelas dari Surendra.
Saat mendengar penuturan Rajendra, Surendra nampak senang. Sedangkan Rajendra membatin bahwa sehabis ini dirinya akan mulai ikut tertular penyakit gilanya Surendra.
"Baiklah, dengarkan aku, kita coba urutkan perunjuknya mulai dari yang pertama." Surendra membaca ulang ramalan itu.
"Ah, ini dia petunjuk pertama yaitu 2 ksatria matahari, ini mungkin seperti keturunan bangsawan atau mungkin seorang keturunan raja. Dan matahari itu biasanya adalah simbol dari raja atau seseorang dengan kedudukan tinggi. Kau seorang bangsawan kan, bisa jadi kau salah satunya."
Rajendra mengerjap-ngerjapkan matanya, gugup,
"Mm..mana mungkin, memang benar aku ini bangsawan,tapi belum tentu juga aku ini sang ksatria. Kau ini sok tahu," ia berusaha mengelak, namun Surendra tak menghiraukannya, ia hanya terus membaca.
"Petunjuk kedua, 2 malaikat utusan dewa bulan akan turun saat bulan bertemu dengan matahari, tapi bagaimana caranya? Lalu kedua ksatria berasal dari kaum atas dan kaum bawah, maksudnya apa ya? Ah, lewatkan saja. Selanjutnya, memiliki keahlian khusus sejak lahir. Kau dan aku mempunyai itu. Lalu,, uumm,, ah, sebuah senjata. Ah, yang ini aku juga tidak tahu," Surendra mengoceh tanpa henti mengacuhkan kata-kata protes dari Rajendra.
Rajendra lalu mencibir kesal,
"Sudah kubilang itu hanya dongeng, mana ada hal seperti itu dalam kenyataan. Kusarankan sebaiknya berhentilah membaca buku itu, kalau kau mau sembuh."
Surendra merasa kecewa, tapi tak membantah apapun. Lalu menutup bukunya dan menyimpannya ketempat semula.
Ia menghela nafas, mencoba menerima kenyataan,
"Sejujurnya, mungkin kau benar, Jendra. Tapi, hatiku merasa aku harus mencari petunjuk lain," ia tak menghiraukan Rajendra yang mendengus disampingnya.
"Aku tahu kita memang masih anak-anak. Namun setelah kita dewasa nanti, dan jadi lebih kuat, aku akan bisa mencari dan mendapat petunjuk lain." Surendra menyemangati dirinya sendiri, Rajendra menggelengkan kepalanya, tak percaya dengan kepercayaan diri Surendra yang menurutnya terlalu tinggi.
Tiba-tiba dari luar terdengar suara langkah orang berlarian mendekat ke arah gubuk. Rajendra dan Surendra panik, mereka mengintip dari balik lubang dinding gubuk itu.
"Gawat, itu pamanku sepertinya ia dan anak buahnya sedang mencariku. Sebaiknya kau lari atau bersembunyi sekarang sebelum terlambat. Kau bisa dihukum jika tertangkap nanti." Rajendra panik.
Sementara Surendra sibuk memandang ke sekeliling gubuknya dan menemukan tempat yang cocok untuk bersembunyi. Di bawah lantai kayu tempat ia duduk sekarang sepertinya sangat pas. Ada pintu tingkap disana sebagai tempat masuknya. Maka ia pun langsung bersembunyi di dalamnya.
"Surendra, apa yang kau.." belum sempat ia menyeleseikan kalimatnya, rombongan pengawal dan pamannya sudah masuk ke gubuk itu. Rajendra terlonjak kaget. Begitupun pamannya yang baru masuk, terkejut melihat Yang Mulia-nya duduk sendirian di dalam gubuk ini.
"Eh..pp..paman, bagaimana kau bisa menemukanku disini?" tanya Rajendra pura-pura bingung, padahal ia sebenarnya merasa takut.
"Yang Mulia, bagaimana anda bisa sampai ketempat seperti ini? Apa seseorang menculik anda dan menyembunyikan anda disini?" tanya paman Rajendra sambil melihat sekeliling waspada kalau-kalau ada musuh menyerang mereka tiba-tiba. Surendra yang bersembunyi di bawah pun merasa jantungnya berdegup makin kencang. Bukan karena ketakutan. Melainkan karena temannya di panggil dengan sebutan Yang Mulia. Dan itu berarti Rajendra bukan bangsawan sembarangan. Ia merasa dibohongi.
Rajendra menggeleng dengan gugup. Sekaligus merasa cemas memikirkan Surendra yang berada di bawah lantai kayu yang ia duduki. Surendra bisa kehabisan nafas kapan saja jika ia terlalu lama bersembunyi dibawah dan pamannya tidak segera pergi dari sini.
Saking gugupnya, berulangkali ia melirik kebawah pintu tingkap yang di dudukinya.
"Kenapa Yang Mulia? Wajah Yang Mulia mendadak sangat pucat," ujar pamannya.
Rajendra hanya sanggup menggelengkan kepalanya. Ia terus menerus melirik ke bawah tempat duduknya. Sang Paman yang sedari tadi memperhatikan, mulai merasa curiga, 'ada apa dibawah situ'?
"Maafkan atas kelancangan hamba Yang Mulia, hamba ingin memeriksa tempat itu sebentar saja."
"Ah, tidak perlu, tidak ada apa-apa," Rajendra makin gugup. Membuat pamannya makin yakin kalau Yang Mulia-nya tengah menyembunyikan sesuatu.
Paman melirik, memberi isyarat pada anak buahnya untuk menyingkirkan Rajendra dari tempat duduknya.
Mereka mengangguk dan mengangkat Rajendra ke pinggir, sementara pamannya menghunuskan pedangnya dan membuka pintu tingkap itu.
"Paman, aku mohon jangan lakukan itu paman. Jangan lukai dia paman," Rajendra berteriak, memohon dan merengek ketakutan.
Sang paman pun kaget, begitu juga Surendra yang tertangkap basah sedang bersembunyi, tiba-tiba dihadapannya terhunus pedang tepat ke arahnya. Untung saja paman Rajendra tidak mengayunkan pedangnya.
Sejenak mereka, Surendra dan paman Rajendra, saling tatap. Surendra sudah mulai ketakutan karena persembunyiannya terbongkar. Namun penyebab kekagetan pamannya yang sebenarnya, tak diketahui oleh Rahendra ataupun Surendra. Pamannya mendadak berubah pucat melihat Surendra yang begitu mirip dengan Yang Mulia-nya, Rajendra.
Tiba-tiba, paman Rajendra berlutut memberi hormat kepada Surendra.
"Yang Mulia, hamba tak menyangka akan bertemu dengan Yang Mulia dalam situasi seperti ini," ucap paman Rajendra dengan nada sedih sekaligus senang.
Sedangkan yang lain melongo, Rajendra dan Surendra tampak syok mendengar perkataan pamannya barusan.
"Paman apa yang baru saja kau katakan tadi? Kau memanggil Surendra, dengan panggilan Yang Mulia. Ada apa ini sebetulnya?" Rajendra merasa bingung.
Yang kemudian otaknya mulai menyimpulkan sesuatu yang sebetulnya tak ingin ia tahu kebenarannya.
"Cepat jelaskan padaku, apa maksud paman memanggil temanku Surendra dengan sebutan Yang Mulia?" Rajendra meminta penjelasan.
"Paman!! Apa yang kau tunggu, cepat katakan padaku ini perintah!"
Paman Darya menunduk, dan berbalik menghadap ke arah Rajendra, dengan wajah sedih ia menjawab pertanyaan Yang Mulia-nya,
"Yang Mulia, hamba mohon ampun, hamba pantas mati. Anak ini, teman Yang Mulia ini, dia adalah adik kembar anda Yang Mulia..."
"APA??!" Rajendra.
"APA??!" Surendra.
"Hah??!" para pengawal ikut kaget.
"Paman, jangan bercanda,aku sedang tidak bisa tertawa sekarang," Rajendra syok bukan main, begitu pula Surendra.
"Hamba tidak bercanda Yang Mulia, anak ini memang adik kembar Yang Mulia. Dia memang sengaja dipisahkan dari anda semenjak bayi, karena mitos konyol dari para leluhur. Dan percayalah pada hamba, bahwa Yang Mulia Raja sebenarnya juga tak menyetujui hal ini." terang paman.
"Wah, wah, tunggu.. tunggu. Apa maksudnya ini, Yang Mulia? Adik kembar? Yang Mulia Raja? Lelucon macam apa ini? Ini bahkan lebih konyol dari buku dongeng yang biasa aku baca setiap hari." Surendra sendiri merasa tak percaya bercampur bingung mendengar perkataan paman Rajendra.
"Begini akan saya jelaskan secara singkat. 10 tahun yang lalu,Yang Mulia Ratu melahirkan 2 orang putra kembar. Dan menurut ramalan, jika di istana lahir putra kembar, maka malapetaka akan datang menimpa keluarga kerajaan dan seluruh negerinya. Dan untuk mencegahnya, bayi kembar itu harus dipisahkan, lebih tepatnya, salah satunya di lenyapkan. Supaya tak terjadi kekacauan di negeri ini. Banyak para pejabat yang jahat dan haus kekuasaan ingin memanfaatkan situasi ini untuk menghabisi salah satu nyawa anda berdua. Namun Yang Mulia telah memilih untuk menyembunyikan saja salah satu diantara anda berdua. Dan sialnya, para pejabat yang jahat itu mengetahui rencana Raja.
Dan pada waktu itu, seorang dayang diutus membawa pergi salah satu bayi kembar untuk disembunyikan. Namun di tengah perjalanan, mereka berdua hilang tanpa jejak dan 1 minggu kemudian jasad dayang itu ditemukan tak bernyawa di dasar jurang. Dan Raja pikir, beliau telah kehilangan salah satu putranya, karena ia tak diketemukan bersama jasad dayang tadi.
Raja selalu berharap putranya masih hidup dan berada di suatu tempat yang aman. Dan jika Yang Mulia berdua merasa penasaran dari mana hamba tahu cerita ini, itu karena hamba adalah salah satu dari pengawal yang kala itu di utus untuk menemani dayang membawa lari salah satu bayi Raja, namun diperjalanan kami terpisah."
Paman selesai bercerita.
Wajahnya berubah semakin sedih dan muram setelah menceritakan masa lalu Surendra.
Rajendra dan Surendra saling pandang, semakin syok, lalu sama-sama memalingkan wajah.
"Tak bisa dipercaya," Rajendra merasa lututnya lemas.
"Konyol, mana mungkin ada orang tua yang tega membuang anaknya sendiri," emosi Surendra naik.
"Itu benar Yang Mulia, jika anda tak percaya, anda bisa bertanya pada Yang Mulia Raja nanti," ujar paman Darya, ia tak tahu lagi harus bagaimana menjelaskan.
Ia paham betul, situasi ini merupakan pukulan telak bagi kedua Yang Mulia dihadapannya ini.
"Apa yang membuatmu yakin kalau temanku ini, Surendra, adalah saudara kembarku?" tanya Rajendra, matanya menatap pamannya tajam.
"Tentu saja karena wajah kalian, apa kalian tak menyadarinya? Dan aku yakin kalian memilik sebuah tanda lahir di pundak kalian masing-masing," Paman menunjuk pundak mereka.
Seketika mereka mengecek tanda milik mereka masing-masing. Dan memang benar, mereka mempunyainya. Jadi mereka saudara kembar. Pantas saja mereka merasa tak asing satu sama lain, seperti sudah saling mengenal jauh sebelum mereka bertemu hari ini, mereka tak menyangka akan kenyataan yang baru saja mereka dengar.
Mereka berdua saling menatap dengan banyak pertanyaan terlintas di benak mereka.
"Yang Mulia, maafkan kelancangan hamba yang satu ini tapi.."
Rajendra dan Surendra menoleh ke arah paman mereka, yang secepat kilat Paman Darya menekan titik syaraf mereka, hingga mereka hilang kesadaran.
"Kita harus membawa Yang Mulia pulang sekarang juga. Dan tinggalkan saja adiknya disini. Pastikan beliau istirahat dengan nyaman sebelum kau meninggalkannya. Ingat, dia adalah pangeran kita. Dan satu lagi, rahasiakan pertemuan ini dari siapapun! Jangan sampai ada yang tahu! Aku tak ingin sesuatu yang buruk menimpa kedua keponakan berhargaku!" perintah paman semua pengawalnya.
Beberapa saat kemudian, dengan diam mereka meninggalkan gubuk itu. Kedua saudara kembar itu kembali dipisahkan untuk yang kedua kalinya.
Dan tanpa sepengetahuan mereka, wanita bertudung yang sejak tadi mengawasi mereka, mencuri dengar pembicaraan mereka didalam gubuk tadi. Senyuman licik tersungging diwajahnya.
"Ayah, aku sudah menemukan mereka, selanjutnya aku serahkan sisanya padamu," gumamnya.
*Flashback off*
"Paman, apa kau pernah menemui adikku setelah kejadian waktu itu? Walaupun hanya satu kali saja? Aku sepertinya sangat merindukannya. Pertemuan pertamaku dengannya sungguh tak terduga. Aku merasa bersalah karena tak sempat mengucapkan kata 'sampai jumpa lagi' padanya." gumamnya sedih.
"Tenanglah Rajendra, aku yakin jika sudah waktunya, kalian akan bertemu lagi nanti. Pasti. Dan jika saat itu tiba, jangan sia-siakan kesempatan yang sudah Tuhan berikan pada kalian berdua," hibur Paman Darya.
"Paman benar, sebaiknya aku menyiapkan diriku sebaik mungkin. Aku akan merasa bahagia jika hal itu sungguh terjadi. Terima kasih paman," semangat Rajendra langsung bangkit. Dan ia pun meneruskan pelajarannya bersama Paman Darya dengan lebih bersemangat.
~ Kediaman Surendra ~
Surendra pun sedang merenung didalam kamarnya. Dia masih saja membaca buku tentang legenda 2 matahari dan 2 bulan itu.
Ia juga memikirkan saudara kembarnya yang lama tak ia jumpai lagi.
'Rajendra, kapan aku bisa bertemu lagi denganmu? Banyak hal yang ingin aku ceritakan padamu. Apa mungkin kita bisa bertemu lagi suatu hari nanti?' batinnya.
Sementara Surendra makin lama makin mengantuk dan ia pun jatuh tertidur dengan kepalanya bertumpu di atas meja.
Terdengar ketukan pintu, tak ada jawaban dari dalam. Seorang pria paruh baya masuk, ia melihat buku Surendra yang masih terbuka, baru saja dibaca oleh Surendra.
Ia pun penasaran dan membacanya. Keningnya berkerut, ekspresi terkejut terpancar dari wajah pria itu.
"Apa ini? Sepertinya, aku mengenal buku ini," pria paruh baya itu membalik sampulnya dan makin terkejut.
"Hah? Ini adalah buku itu. Surendra pasti mengambilnya diam-diam dari perpustakaanku," pria paruh baya itu menggelengkan kepalanya merasa kecolongan, namun dia tidak marah.
Perhatiannya lalu teralihkan ke buku catatan kecil milik Surendra, dan raut mukanya berubah lagi.
"Apa ini? Bagaimana Surendra bisa menyimpulkan teka teki dari buku ramalan ini? Sepertinya, aku harus bertanya pada temanku. Aku yakin dia pasti bisa memahami jawaban yang di tulis Surendra. Aku harus menunjukkan buku ini padanya,"
Segera saja pria paruh baya itu berlari keluar. Tanpa pria paruh baya itu sadari, Surendra telah terbangun dan mendengar semua perkataan ayahnya. Ya, pria paruh baya itu adalah ayahnya. Lebih tepatnya ayah angkat. Tapi Surendra penasaran, siapa orang yang akan ditemui ayahnya itu.
Bergegas ia bangkit dan diam-diam membuntuti kemana ayahnya pergi.
* TBC *