Chereads / Two Moons : The Legend of Goddess Moon / Chapter 4 - Chapter 3 Menembus Lorong Waktu

Chapter 4 - Chapter 3 Menembus Lorong Waktu

- 2017 -

Chandini dan Kirana keluar bersama pagi ini. Seperti biasa Kirana berangkat ke sekolah sedangkan Chandini pergi ke kuliah. Sebetulnya, jadwal kuliahnya hari ini tidaklah padat. Hanya beberapa kelas saja dan itupun dosennya sedang tak bisa mengajar. Jadi kali ini ia memutuskan untuk masuk ke kafe di pagi hari.

Bos Chandini menelpon pagi tadi, meminta tolong padanya untuk menjaga kafenya karena istrinya sedang sakit. Bosnya juga bilang ia boleh menutup kafenya kapan saja jika ia merasa lelah.

Chandini senang sekali bisa masuk kerja shift pagi. Selain ia merasa tidak enak jika harus menolak permintaan bosnya yang sudah sangat baik padanya, ia bisa sekalian menghindari kelompok geng yang selalu mengganggunya setiap ia akan berangkat kerja sepulang kuliah.

Sedangkan Kirana, ia sebenarnya sedang malas berangkat ke sekolah. Dia benci karena harus berurusan dengan Krystal. Dan entah kenapa, setelah kejadian di ruang latihan dance beberapa hari yang lalu, Krystal malah makin gencar mengganggunya. Kirana merasa kesabarannya di uji terus menerus oleh Krystal.

* * *

Kirana membereskan buku-bukunya setelah mengerjakan tugas diperpustakaan. Ia lapar dan berpikir akan membeli makan siang favoritnya. Saat memasuki kantin, para siswa berbisik - bisik sambil menunjuk kearah dirinya. Dia bingung sembari menatap heran pada seluruh siswa yang ada disana. Ia pun mencoba tak peduli, namun saat ia mencari tempat duduk untuk dirinya, tiba-tiba kakinya dijegal oleh siapa lagi kalau bukan Krystal.

Tak ayal ia pun terjatuh dan semua makanan yang dibawanya tumpah mengotori seragam yang dipakainya. Ia menoleh pada Krystal dengan penuh kemarahan. Sementara Krystal sendiri hanya melirik disertai seringai, seolah menertawakan Kirana yang kini kelihatan nampak konyol dilantai.

Kirana sudah emosi sekarang ini, ia bangkit dan membanting dengan keras nampan bekas makanan miliknya di hadapan Krystal, sambil menatap Krystal dengan mata berapi-api.

Krystal mendengus, namun matanya sempat bergetar saat melihat Kirana dikuasai amarah.

"Kau mau apa, hah? Kau mau protes? Kau ingin membalasku? Lakukan saja dan akan aku pastikan kau dikeluarkan dari sekolah ini bahkan kalau perlu melenyapkanmu dari muka bumi ini," tantang Krystal.

Kirana hanya terdiam geram, matanya melirik kearah gelas plastik yang berisi jus jeruk yang masih penuh. Tanpa pikir panjang, tangannya langsung meraih gelas itu dan menyiramkannya ke rambut Krystal sampai habis. Tak hanya itu, ia pun membanting gelas plastik itu dengan keras nyaris mengenai kaki Krystal.

Mata Kirana terus terpaku pada Krystal yang kini syok dengan kelakuan Kirana.

"Kau! Kau pikir selama ini aku takut dengan ancamanmu, hah?! Aku sudah mencoba bersabar padamu karena kita dulu adalah teman baik, tapi kali ini, aku sudah tak bisa lagi menahan kesabaranku padamu, Krystal!!" Kirana berteriak marah. Suasana kantin yang tadinya penuh bisik - bisik, mendadak sepi.

Mereka baru pertama kali ini melihat Kirana mengamuk.

"Sebenarnya apa masalahmu denganku, hah? Seharusnya kau bilang saja apa salahku padamu, bukan dengan membuat lelucon konyol kepadaku. Ini terakhir kalinya aku peringatkan dirimu Krystal. Jika kau berani macam-macam lagi denganku, akan aku pastikan kau mati disini, dihadapan mereka semua kalau perlu!" dengan menahan emosi Kirana berbalik pergi.

Krystal yang sedari tadi hanya menatap Kirana dengan kemarahan yang sama, tak terima dipermalukan oleh Kirana di depan seluruh siswa lain. Tanpa pikir panjang, ia tiba-tiba mengambil salah satu garpu dan ia mencoba menusuk Kirana dari belakang, siswa lain berteriak pada Kirana untuk awas.

Tepat saat Kirana berbalik, saat itu juga Krystal menghujamkan garpunyanya ke arah dada Kirana.

Reflek, Kirana menahan hunjaman garpu itu dengan tangannya. Darah segar mengalir kelengan Kirana mengenai seragam sekolahnya. Telapak tangan Kirana tertusuk garpu Krystal.

Semua siswa dikantin itu memekik kaget melihat keadaan Kirana yang terluka. Krystal segera menyadari keadaan Kirana, buru-buru melepaskan genggaman garpunya, Kirana mengerang kesakitan dan jatuh pingsan.

Semua siswa mengerumuni Kirana. Sebagian mencoba ingin menolong, sebagian lagi, ingin tahu bagaimana kondisi Kirana. Dan kebetulan, seorang guru lewat di depan pintu kantin. Penasaran dengan kerumunan siswa di dalam, ia pun bergegas mendekati para siswa itu.

"Ada apa ini?" tanya guru itu,

"Ooh ya Tuhan..!! Apa yg terjadi padanya?!"

Guru itu terkejut melihat keadaan Kirana yang tangannya bersimbah darah.

Guru langsung membopong Kirana keruang UKS, setelah membebat telapak tangan Kirana dengan kain, meninggalkan Krystal yang gemetar hebat di belakang kerumunan siswa.

Semua siswa dikantin beralih menatap Krystal dengan tatapan menuduh. Dan bisik-bisik pun kembali terdengar, mereka saling mencibir ke arah Krystal.

"Krystal sudah gila,"

"Ternyata dia sangat mengerikan,"

"Kalau aku jadi dia, detik ini juga aku keluar dari sekolah,"

"Aku tak akan sanggup menunjukkan wajahku lagi,"

"Jangan dekati dia, atau kau akan bisa kehilangan nyawa,"

Krystal menundukkan kepalanya. Entah dia malu atau takut. Segera ia berlari keluar dari kantin tak tentu arah. Mencoba menghidari bisikan dan cemoohan yang ia tahu ditujukan pada dirinya.

Kali ini tak ada seorang pun yang mencoba membela, menghiburnya atau menenangkan dirinya. Ia benar-benar sendirian, tak ada seorang pun teman menemaninya. Ia menangis sendirian di atap sekolah. Satu hal yang pasti, Krystal mulai merasa menyesal atas apa yang baru saja dilakukannya.

Kirana kini dirawat oleh perawat sekolah, wali kelas sekaligus guru yang menolong Kirana tadi menunggu diluar dengan cemas. Mereka juga menelpon wali Kirana.

"Halo, selamat siang,"

"Halo, dengan siapa saya berbicara?" suara dari seberang.

"Ah maaf, saya wali kelas sekaligus guru dari Kirana, apakah anda benar walinya?"

"Oh, iya saya Chandini, kakak sekaligus wali dari Kirana, ada masalah apa ya?"

"Begini, bisakah anda meluangkan waktu datang kesekolah Kirana siang ini? Ada hal serius yang ingin saya bicarakan dengan anda mengenai masalah Kirana," kata wali kelas itu setenang mungkin.

"Masalah Kirana? Ada apa dengannya? Apa dia membuat masalah dan dihukum? Atau jangan-jangan adik saya sakit dan jatuh pingsan?" Chandini merasa cemas, tak biasanya wali kelas Kirana menelpon dan memintanya untuk datang ke sekolah.

Wali kelas itu pun merasa bingung akan menjawab seperti apa, akhirnya ia hanya menjawab,

"Eumm, maaf saya tidak bisa bicara lebih banyak, karena ada hal mendesak yang harus saya tangani. Saya tunggu kedatangan anda secepat mungkin. Selamat siang."

"Eh, tunggu seb..halo, halo? Loh kenapa sudah diputus? Aku ingin tahu apa yang terjadi pada Kirana," Chandini benar-benar khawatir.

Ia memandang sekeliling kafe itu,

"Bagaimana ini, kafe ini baru buka beberapa jam yang lalu, masa aku harus menutupnya sekarang. Ah, aku coba hubungi bos saja." ucapnya bermonolog.

"Halo? Ada apa, Din? Tumben sekali kau menghubungiku di jam segini, apa ada sesuatu?"

"Halo bos, apa aku boleh minta ijin pulang lebih awal? Aku mendapat panggilan dari wali kelas Kirana, sepertinya ada sesuatu hal terjadi padanya di sekolah. Aku cemas sekali dan tak biasanya mereka memanggilku supaya datang ke sekolah. Jadi bisakah aku menutup kafenya lebih awal untuk hari ini saja bos?"

tanya Chandini pada bosnya.

"Oh, benarkah? Apa Kirana baik-baik saja? Kalau begitu pergilah, tak apa kau tinggal saja kafenya, dan aku akan minta tolong pada temanku untuk menggantikanmu hari ini. Kirana lebih penting dari pekerjaanmu. Jika sesuatu terjadi padanya kau harus menghubungiku, ya, jangan sungkan." bosnya memberinya ijin.

Dan Chandini menghela nafas lega, berulangkali mengucapkan terima kasih.

Ia segera membereskan mejanya dan membersihkan konternya. 10 menit kemudian teman bosnya datang menggantikannya dan ia pun bergegas ke sekolah Kirana.

Disepanjang perjalanan, tak henti - hentinya menggigit bibirnya cemas.

Sesampainya di sekolah, ia langsung menuju ruang guru, namun wali kelas yang dicarinya tidak ada.

Ia baru akan menelponnya, ketika ia menerima sebuah pesan singkat dari wali kelas Kirana.

'Datanglah ke ruang UKS. Kirana sedang dirawat di sana.'

Dengan panik Chandini berlari menuju ruang UKS. Sesampainya disana, ia terkejut melihat Kirana yang terbaring dengan telapak tangan diperban.

"Kirana!!" ia syok melihat kondisi adiknya, lalu mengalihkan pandangannya pada wali kelas Kirana.

"Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa adikku bisa seperti ini?" suaranya bergetar menahan tangis.

"Haaah, maafkan saya, sebenarnya saya sendiripun tak tahu apa yang terjadi. Saat saya menemukannya di kantin tadi, ia sudah pingsan dan teman-temannya tak ada yang mau bercerita kepadaku tentang kejadian sebenarnya. Aku rasa dia di bully oleh teman-temannya yang lain. Saya benar-benar tak menyangka bisa sampai seperti ini. Saya sungguh meminta maaf, sebagai wali kelasnya tidak bisa mengawasi murid-murid saya dengan baik." wali kelas itu menunduk menyesal.

"Saya tahu," Chandini menanggapi ucapan wali kelas itu dengan sinis, tapi pandangannya tak lepas dari adiknya,

"Saya selalu tahu akan terjadi hal seperti ini. Dan penyebab itu semua adalah karena kami bukan pewaris perusahaan ataupun keturunan seorang konglomerat. Kami yang seperti itu, selamanya akan selalu mendapat perlakuan tak menyenangkan dari teman-teman kami. Bahkan para guru yang seharusnya bisa melindungi murid-muridnya lebih memilih menutup mata mereka." air mata Chandini menetes, ia mengingat masa lalu yang pernah di alaminya sama seperti adiknya.

Wali kelas itu hanya menunduk terdiam, semua yang dikatakan Chandini memang benar, ia sendiri mengakui hal itu. Ia pun juga membenci perbedaan perlakuan itu. Ia membenci hal yang segalanya bisa dibicarakan dengan menggunakan materi dan status sosial. Tapi, ia bisa apa. Ia sendiri tak memiliki kekuasaan itu untuk mencegahnya.

"Pak guru, nanti setelah Kirana bangun, saya ingin membawanya ke rumah sakit dan pulang, kalau anda tidak keberatan." Chandini memecah keheningan.

"Tt..tentu saja, nona. Silahkan, saya juga sudah memberikan ijin padanya untuk beristirahat dirumah beberapa hari sampai ia sembuh." ujar wali kelas itu.

"Terima kasih," Chandini menunduk singkat.

"Sama-sama. Saya juga sekali lagi meminta maaf atas kelalaian saya," wali kelas itu masih tak berani menatap Chandini secara langsung, ia merasa bersalah.

Chandini hanya mengangguk.

* * *

"Nah Kirana, sekarang kau istirahat saja. Kakak hari ini sudah ijin libur. Jadi kakak punya banyak waktu untuk memasakkan makan malam yang enak untukmu," Chandini tersenyum dan beranjak pergi.

"Kak.." panggil Kirana, Chandini berhenti dan menoleh.

"Aku menyayangimu, terima kasih untuk hari ini, dan maaf aku belum bisa bercerita padamu soal kejadian tadi siang," Kirana menunduk.

"Tak apa, kakak paham. Kakak juga tak akan memaksamu, kakak bisa menunggu. Seperti yang selalu kau katakan padaku. Jadi, sekarang tidurlah, kalau ada sesuatu yang kau mau, kakak ada didapur," Chandini membelai sayang adiknya, lalu melangkah keluar menuju dapur, sambil menahan air matanya.

Baru saja ia sampai di dapur, terdengar suara gedoran di pintu depan. Chandini bergegas mengecek siapa yang bertamu pada jam segini. Biasanya tak pernah ada tamu yang datang kerumahnya.

Chandini mengintip lewat lubang pintu. Ia kaget, bagaimana mungkin orang-orang yang selalu mengganggunya bisa tahu tempat tinggalnya. Dia yakin sudah berhati - hati supaya tak ada orang lain tahu dimana ia tinggal.

Chandini panik, ia tahu mereka pasti mencarinya untuk mencoba membawa dirinya dan adiknya pada bos mereka lagi. Sial, batin Chandini.

"Aku dan Kirana harus segera pergi dari sini," Chandini buru-buru ke kamar adiknya. Dibukanya pintu kamar Kirana dengan keras, membuatnya terbangun dengan kaget.

"Kirana! Kita harus segera pergi dari sini. Pakai pakaian hangatmu segera dan masukkan barang yang kau perlukan ke dalam tasmu. Dan tak usah membawa pakaianmu." Chandini sendiri berbicara sambil berlarian kesana kemari mengumpulkan barang yang ia perlukan.

Dan Kirana yang baru terbangun, terbelalak, ia paham dan segera memakai pakaian hangatnya.

"Kak, kali ini kita akan kemana?" tanya Kirana, sambil memasukkan beberapa barang dan dompet ke dalam tasnya.

"Kakak juga tidak tahu. Yang penting, sekarang kita segera kabur dulu sebelum mereka mulai mendobrak pintu dan menangkap kita. Kakak tak mau kita menjadi budak mereka sampai kapanpun. Semua barang yang kau perlukan sudah kau masukkan ke dalam tasmu?"

Kirana mengangguk. Chandini segera menggandeng adiknya menuju pintu belakang yang kebetulan tak dijaga.

Dengan hati-hati mereka keluar, menoleh ke kanan dan kiri, mencoba tak membuat suara.

Saat yakin tidak ada salah satu dari mereka mengecek pintu belakang, secepat kilat Chandini dan Kirana kabur. Dan dari kejauhan, samar terdengar dobrakan pintu dan teriakan marah.

Chandini dan adiknya berdua mempercepat laju lari mereka, saat salah seorang dari geng itu melihat dirinya berdua melarikan diri lewat pintu belakang. Teriakan mereka terdengar di sepanjang jalan.

Mereka dikejar terus menerus, tak pelak mereka makin lama makin kelelahan. Mereka berdua berbelok ke sebuah gang sepi. Di ujung gang itu terdapat sebuah rumah kosong yang tampak sudah sangat tua sekaligus angker. Di sekitar halaman yang luas itu pun ada sebuah pohon dedalu tua yang sangat besar.

Jika saja mereka sedang tak dikejar-kejar orang, mereka hanya akan mau mengagumi rumah tua ini dari jauh. Akan berpikir dua kali untuk masuk ke rumah kosong itu.

Tapi kali ini, orang-orang yang mengejar mereka makin dekat, tanpa pikir panjang lagi, mereka pun masuk ke rumah tua itu. Kirana sudah kelelahan, wajahnya makin pucat dan Chandini menyadarinya.

"Kenapa mereka masih terus mengejar? Apa mereka tak lelah? Kirana apa kau masih kuat?" Kirana menggeleng.

"Tak apa-apa, kau sebaiknya duduklah disini, kakak akan mencari tempat untuk kita bersembunyi. Kau tunggu disini ya,"

Chandini mencemaskan keadaan adiknya yang makin pucat karena kejadian yang ia alami tadi siang.

Chandini memperhatikan keadaan sekeliling didalam rumah. Ada 4 pintu disana. Ia mengeceknya, 3 pintu lain tak bisa di buka. Ia mulai frustasi akan bersembunyi dimana, harapannya adalah pintu terakhir itu.

Beruntung, pintu itu tak terkunci. Chandini segera menghampiri adiknya dan memapahnya menuju pintu tak terkunci itu.

Tepat saat Chandini menutup pintunya, orang-orang yang mengejar mereka masuk kedalam rumah itu. Dari balik pintu, Chandini dan Kirana menahan nafas mereka dengan tegang sembari mencoba mendengarkan suara-suara dari luar.

Mereka semakin panik saat mendengar suara dobrakan pintu yang makin lama makin mendekat. Chandini meremas tangan Kirana erat, mencoba menenangkan adiknya. Ia tak kehabisan akal, ia bangkit mencoba mencari celah lain. Kirana memanggil kakaknya dengan berbisik,

"Pssst.. kakak, cepat kemari, disini ada pintu tingkap, kita masuk dan bersembunyi disini saja, bagaimana?"

Chandini agak ragu, tapi setelah mendengar suara orang - orang diluar semakin mendekat, tanpa pikir panjang mereka masuk ke pintu tingkap itu.

Segera suara-suara tadi teredam, mereka aman untuk saat ini. Orang-orang itu pasti tak akan dapat menemukan mereka. Namun Chandini dan adiknya kini harus menghadapi masalah baru, ruang bawah tanah yang gelap.

Mereka berdua meraba di sekeliling tempat itu, tapi yang tersentuh oleh tangan mereka hanyalah tanah lembab.

"Kenapa didalam rumah sebagus ini ada ruangan seperti ini?" Chandini heran sendiri.

Kirana kemudian mengambil handphonenya, dan menghidupkan mode lampu senter.

"Kau memang adik yang pintar," Chandini menyeringai sambil menepuk pundak adiknya bangga. Kirana ikut nyengir lebar.

"Ayo kita jalan lagi, kita cari jalan keluarnya." Mereka saling bergandengan tangan.

Selama kira - kira 15 menit mereka terus berjalan menyusuri jalan bawah tanah yang sempit itu. Chandini dan adiknya mau tak mau kelelahan juga berjalan di tempat pengap seperti itu. Mereka merasa kepanasan dan nafas mereka terasa sesak.

"Kakak, jangan-jangan jalan ini tak ada ujungnya. Aku sudah sangat lelah dan haus, apa mungkin kita bisa segera keluar dari sini?" Kirana terduduk di tanah, Chandini pun ikut duduk juga. Ia bingung harus bilang apa kepada adiknya. Ia sama tak tahunya.

Mereka terdiam cukup lama, lalu sama-sama tertidur kelelahan dengan kepala saling bersandar.

Kondisi para pengejar itu pun tak kalah mengenaskan. Pemimpin dari geng yang mengejar kedua bersaudara itu kesal dan marah saat tak menemukan siapapun di dalam rumah itu. Hari sudah malam namun mereka tak berhasil mendapatkan apapun. Ia menyalahkan anak buahnya yang lupa tak menjaga pintu belakang rumah Chandini saat mereka mencoba menangkap 2 bersaudara itu.

Pemimpin itu menendang dan memukul segala sesuatu yang berada didekatnya sampai semuanya hancur. Dan sebuah buku kuno pun terjatuh dari rak tua, namun ia tak mempedulikannya.  Setelah puas, ia dan anak buahnya pergi dari rumah itu.

Ia berkata kepada salah satu anak buahnya,

"Bakar tempat ini, jangan sampai ada yang tersisa! Dan kali ini kerjakan dengan benar!"

"Baik bos,"

Segera mereka mengambil persediaan minyak tanah di mobil mereka yang selalu mereka bawa.

Semua persiapan sudah dilakukan, namun mereka tak menyadari di langit telah terjadi gerhana bulan. Matahari perlahan menutupi sang bulan, dan awan hitam mulai menyelimuti langit yang mulanya bersih dan berbintang. Angin berhembus sangat kencang, sampai semuanya berterbangan. Petir menyambar, kemudian turun hujan yang sangat deras.

Pemimpin geng dan anak buahnya ketakutan. Mereka lalu berlomba mencari tempat yang aman, lupa dengan perintah bosnya, termasuk bos mereka sendiri pergi menyelamatkan diri menuju ketempat dimana mobil mereka diparkirkan.

Di bawah tanah tempat Chandini dan Kirana sedang tertidur, tanahnya tiba-tiba bergetar, seperti akan longsor.

Mereka berdua terbangun dengan kaget, dan seketika berdiri, saling pandang bingung, lalu sedetik kemudian melarikan diri dari sana.

Dikejauhan tampak sinar menyilaukan, yang Chandini dan Kirana pikir itu adalah ujung dari ruang bawah itu.

Tanpa pikir panjang lagi, segera saja mereka berlari mengikuti arah cahaya di depan mereka. Yang makin lama bertambah terang menyilaukan mata.

Dan karena sangat silau, Chandini tak dapat melihat jalan didepannya, membuatnya tersandung dan terjatuh. Telapak tangannya terluka dan berdarah tertusuk kerikil kecil yang tajam.

Tapi ia tak mempedulikannya dan terus berlari bergandengan tangan dengan adiknya.

Makin lama mereka masuk makin tenggelam kedalam sinar terang itu.

* * *

- 1617 SM -

2 hari sebelum gerhana dan upacara penobatan

Seluruh pelosok negeri sedang dihebohkan dengan adanya sebuah pengumuman dari istana. Yang mana dalam dua hari lagi akan diadakan upacara penobatan calon putra mahkota menjadi putra mahkota. Padahal semua tahu bahwa hari itu bertepatan dengan adanya gerhana matahari.

Diruang rapat istana pun, seluruh pejabat sedang berdebat mengenai hal ini.

Mereka terkejut dengan keputusan raja yang tiba-tiba melakukan upacara penobatan bersamaan dengan upacara gerhana.

Upacara sakral itu seharusnya tak boleh dilakukan secara bersamaan, karena bisa berakibat buruk bagi rakyat dan kerajaan kelak.

"Yang Mulia, hamba mohon pertimbangkanlah lagi keputusan anda. Pikirkanlah nasib para rakyat. Bagaimana jika malapetaka benar-benar datang?" Penasihat Andhaka mencoba memberi saran pada raja.

Namun raja tetap kukuh dengan keputusannya.

"Sudah kuputuskan dari awal, bahwa acara penobatan akan dilaksanakan setelah upacara gerhana. Aku melakukan ini karena memiliki alasan tersendiri, tentu saja ini semua aku lakukan demi rakyatku. Semua sudah aku pikirkan dengan matang, dan apabila terjadi sesuatu pada rakyatku nantinya, aku yang akan bertanggung jawab sepenuhnya. Sekian."

Raja mengakhiri pertemuannya dengan cepat.

Dari dulu raja sudah tahu bahwa penasihat Andhaka beserta para pengikutnya selalu berusaha menentang dirinya. Selain itu, Penasihat Andhaka itu sangat licik. Menggunakan berbagai macam cara untuk bisa menghancurkan tahtanya.

Bahkan putrinya sendiri yang tak bersalah ikut menjadi korban keserakahannya.

Sebelum raja memiliki putra kembar, Penasehat Andhaka pernah membuat siasat untuk menjatuhkan dirinya dengan alasan tak memiliki keturunan. Ia memang gagal dalam usaha menentang raja secara terang-terangan, tapi idenya tak berhenti sampai disitu. Dengan liciknya, ia bermaksud menjodohkan putrinya dengan raja. Menghasut semua pengikutnya yang setia untuk setuju dengan usulnya, demi kelangsungan tahta raja itu sendiri. Putrinya yang tak mengerti apapun dan tak bersalah, ikut menjadi korban kelicikan ayah kandungnya. Membuatnya harus menerima di jodohkan secara paksa dengan raja agar memberikannya keturunan. Yang Penasehat Andhaka pikir nantinya akan bisa memanfaatkan posisi cucunya untuk kembali menggulingkan tahta raja.

Penasehat Andhaka menyuruh seseorang untuk mencampurkan ramuan kedalam minuman raja, sehingga raja menjadi mabuk. Saat itulah Penasehat Andhaka menyuruh putrinya menemui raja, dan terjadilah sesuatu hal yang mengakibatkan raja harus menikahi putri Penasehat Andhaka.

Raja sendiri tak pernah mencintai putri Penasehat Andhaka. Menurut raja, yang dialaminya dulu adalah kejadian yang pantas untuk disesalkan seumur hidupnya. Sedangkan putri Penasehat Andhaka sendiri merasa menderita. Sedari kecil hingga dewasa tak pernah mendapat perhatian dan kasih sayang tulus dari ayahnya. Kini saat memiliki suamipun, ia tak pernah menerima cinta darinya.

Memang ia sendiri juga tak mencintai raja, tapi ia selalu berharap walau hanya sekali, suaminya bisa memandang dirinya sebagai seorang istri.

Apalagi sewaktu ia mengandung, raja tak pernah menjenguknya walau hanya sekali. Sampai dia melahirkan pun ia tak pernah mau mencoba untuk melihat atau sekedar menyapa putranya. Hanya bersedia memberi nama untuk putranya. Raja memberi nama putranya Pangeran Daryana.

Selang beberapa tahun setelahnya, sang Permaisuri turut mengandung. Dan sudah pasti, reaksi dari raja sungguh berbeda. Setiap hari raja selalu menyempatkan diri menemui permaisuri setiap malam sebelum tidur. Membawakan ramuan agar kandungannya sehat. Bahkan saat permaisuri melahirkan 2 putra kembar, raja tak bisa menyembunyikan rasa bahagianya. Hingga akhirnya mitos tentang 2 anak kembar terdengar sampai ke telinga raja. Yang mana anak kembar dilarang hidup berdampingan.

Hal itu membuat raja selalu murung dan dirundung gelisah.

Kabar ini berimbas pada Pangeran Daryana. Dirinya yang masih membutuhkan perhatian dan kasih sayang dari sosok ayah, semakin tak mungkin untuk didapat. Raja selalu mengacuhkannya, bukan karena ia membenci Daryana, tapi karena ia sendiri sangat terpukul karena harus kehilangan salah satu putra kembarnya yang gagal dalam usaha penyelamatan.

Sang raja pun bersumpah, sampai kapanpun ia akan terus mengejar orang-orang yang berusaha mencelakakan dia dan putra-putranya.

Dan rencananya yang pertama adalah mengadakan upacara penobatan putranya bersamaan dengan upacara gerhana.

Walaupun ia tahu ini hal yang terlarang, raja tetap tidak peduli. Ia tahu sebuah ramalan kuno, dari buku yang pernah dibacanya. Buku yang sama dengan buku yang pernah dibaca Rajendra dan Surendra. Namun ia masih belum tahu jika putranya sendiri sudah pernah membaca buku itu juga.

Raja bertambah yakin bahwa ramalan itu benar saat ia mendapat kunjungan dari teman lamanya beberapa hari yang lalu, dan mimpi-mimpi yang selalu datang menghantui tidurnya.

* * *

Hari penobatan tiba, semua orang kini tengah sibuk mempersiapkan barang-barang keperluan untuk  2 upacara sekaligus. Semua tampak was-was dengan apa yang akan terjadi nanti.

Mereka juga mendengar kabar akan ada seseorang penyusup yang menyamar dan berencana menggagalkan upacara penobatan putra mahkota.

Raja mengira putranya sedang mempersiapkan diri di paviliunnya, namun sebaliknya, disana tengah terjadi kehebohan.

Pangeran menghilang dan tidak ada seorangpun yang tahu kemana perginya.

Raja dan Permaisuri yang mendengarnya segera bergegas menuju tempat singgah putranya.

Raja menjadi gusar sekaligus cemas dengan keadaan putranya. Ia hanya takut jika mimpinya akan menjadi kenyataan. Raja memerintahkan semua para pengawal untuk mencari putranya.

Saat masuk kedalam kamar putranya, raja menemukan sepucuk surat tergeletak di atas meja.

"Ayahanda, maafkan atas kelancangan ananda. Ananda hanya ingin bertemu dengan seseorang sebentar saja dan memastikan sesuatu pada orang itu. Ananda berjanji tidak akan melewatkan upacara penobatannya dan kembali sesegera mungkin.

Namun ananda juga meminta maaf sekali lagi karena mungkin tidak akan bisa mengikuti upacara gerhana. Maaf.

Dari putramu Rajendra."

Raja meremas surat itu, dan menjelaskan kemana perginya putranya kepada Permaisuri. Tapi ia malah bertambah cemas, ia meminta pada suaminya untuk segera menemukan putranya. Raja mencoba menenangkan istrinya, dan berjanji segera membawa pulang putranya.

* * *

Rajendra berkuda dengan cepat menuju pondok tempat ia dulu bertemu dengan Surendra, saudara kembarnya.

Ia seperti mendapat firasat bahwa hari ini, Surendra akan pergi juga ke pondok itu. Dan dugaannya benar, dari jauh sudah terlihat sesosok pria berdiri diluar pondok.

Rajendra tak dapat menyembunyikan rasa bahagianya saat bertemu Surendra untuk yang kedua kalinya. Sedangkan Surendra yang mendengar derap kaki kuda, menolehkan kepalanya ke belakang. Ia terkejut melihat Rajendra yang tiba-tiba muncul di tempat itu. Rajendra turun dari kudanya, langsung menghampiri adiknya dan memeluknya erat begitu juga sebaliknya.

"Kakanda, tak kusangka kau akan datang ketempat ini. Aku sangat senang. Tapi, kenapa kau datang kemari?"

Surendra yang awalnya merasa senang dan tak menyangka akan kedatangan kakaknya, seketika wajahnya langsung berubah cemas.

"Kau kabur dari istana? Bagamana dengan acara penobatan dan upacara gerhananya?"

Rajendra yang tadinya bersemangat berubah merengut, namun ia tidak marah.

"Kau ini, aku baru saja sampai, kau sudah mulai menginterogasiku. Aku hanya merindukanmu dan juga tempat ini. Disinilah semua berawal, iya kan? Dan tenanglah Surendra, aku pergi berpamitan, meskipun hanya lewat tulisan. Aku hanya ingin, setidaknya satu kali saja bisa menemuimu sebelum aku dinobatkan," Rajendra terkekeh membayangkan bagaimana wajah ayahanda dan ibundanya sekarang setelah membaca surat yang ia tinggalkan.

"Kau ini," Surendra mendengus.

"Rendra, ada hal penting yang ingin aku katakan padamu. Tapi kita tak boleh membicarakannya disini. Karena sebentar lagi para pengawal suruhan ayahku akan sampai disini. Aku yakin pamanku akan mengatakan pada ayahku soal tempat ini."

Rajendra berbicara seraya menarik tangan Surendra pergi secepat mungkin menjauh dari pondok itu.

Mereka berkuda dalam diam selama 15 menit, dan berhenti di depan sebuah gua kecil. Tanpa mereka tahu, gerhana matahari sudah mulai menunjukkan pergerakannya.

Langit sudah agak menggelap, matahari telah tertutup separuh. Tapi kedua kakak beradik itu seakan tak menyadari akan fenomena langit itu.

"Baiklah, kakanda. Kita sekarang sudah berada jauh dari pondok dan sepertinya tempat ini aman, aku harap. Jadi lekas katakan apa yang ingin kau sampaikan padaku." Surendra sudah tak sabar, ia sangat penasaran.

"Eummm, ini mengenai legenda ramalan kuno yang kau katakan dulu. Aku pikir...eumm, aku rasa kau benar. Aku banyak merenung dan memikirkan hal itu sepanjang tahun ini. Dan aku mulai mengakuinya." Rajendra menunduk namun perkataannya serius. Surendra menunggu apa yang akan diucapkan kakaknya selanjutnya.

"Kau tahu maksud dari salah satu petunjuk dari buku yaitu saat bulan bertemu matahari?" Rajendra memandang adiknya dengan tatapan penuh harap dan penuh arti.

Surendra mengernyitkan dahinya, berpikir sejenak, kemudian ia membelalakan matanya, menyadari sesuatu.

"Jangan bilang kalau itu... adalah gerhana matahari?!"

Rajendra mengangguk senang.

"Dan seperti yang kita tahu, bahwa sebentar lagi, gerhana akan terjadi di tempat ini, di negeri ini. Jika semua yang ada di ramalan itu benar, kita bisa meminta tolong pada utusan dewa itu untuk memberitahu kita petunjuk selanjutnya."

Surendra baru akan menjawab perkataan kakaknya, tapi mendadak angin berhembus sangat kencang, membuat mereka kebingungan. Mereka mendongak ke atas, baru menyadari langit sudah mulai menggelap.

Mendadak dari arah dalam gua yang berada di dekat mereka muncul cahaya menyilaukan. Rajendra dan Surendra menutupi mata mereka dengan lengan mereka, hingga terhuyung mundur.

Entah itu imajinasi mereka atau memang kenyataan, dari dalam gua keluar dua orang gadis. Mereka keluar dengan keadaan berlari dan lengan yang menutupi penglihatan mereka, sehingga tak memperhatikan ada apa di depan. Begitu pula Rajendra dan Surendra yang sibuk mencoba membuka matanya untuk melihat apa yang terjadi di depan mata mereka. Hingga tak melihat bahwa di belakang mereka ada tebing. Yang memang tidak terlalu tinggi dan dibawahnya ada sungai yang mengalir.

Dua gadis itu adalah Chandini dan Kirana.

Tanpa mereka sadari, mereka berdua telah memasuki lubang waktu yang berada di jalan ruang bawah tanah yang mereka lewati. Tanpa mereka ketahui pula, mereka kini terlempar ke masa lampau.

Chandini dan Kirana yang juga tak bisa melihat apa yang ada di depan mereka, terus saja berlari hingga mereka berdua menabrak Rajendra dan Surendra secara bersamaan. Tak ayal mereka berempat terjatuh ke sungai.

Chandini dan Kirana gelagapan karena tiba-tiba saja jatuh ke air, mereka kesusahan mengendalikan diri di dalam air. Untung saja Rajendra dan Surendra sigap dengan apa yang terjadi. Dengan segera mereka menolong Chandini dan Kirana terlebih dahulu ke tepi sungai.

Ditepian sungai, mereka berempat saling terkejut satu sama lain. Chandini kaget bukan main melihat seorang pria berjongkok disebelahnya memakai pakaian kuno dan aneh menatap intens pada dirinya. Dan lebih terkejut lagi saat Kirana malah berteriak sangat keras. Ia juga melihat di sebelah adiknya juga berjongkok seorang pria dengan model pakaian yang sama seperti pria disebelahnya.

Chandini balik menatap ke pria disebelahnya dengan tatapan bingung sekaligus takut. Ia membatin,

'Apa yang baru saja terjadi?'

TBC