Chereads / Brave New Age (Bahasa) / Chapter 73 - Phulia

Chapter 73 - Phulia

24 tahun lalu

12 Februari 1250 AG - 09:00 Am

Rumah kecil di pojok Manor Stauven

—————

Tidak ada yang lebih menyedihkan dibanding nasib pecundang yang kebetulan lahir di keluarga juara. Itu lah yang dialami Barlux si pria lemah. Nama Stauven yang seharusnya membanggakan, justru jadi bahan tertawaan bagi dirinya yang tidak pandai mengayunkan pedang. Celakanya, Barlux memiliki seorang kakak yang digadang-gadang sebagai Stauven sejati.

Siapa yang tidak mengenal Grall del Stauven?

Warga Tigris mana yang belum mendengar reputasi knight captain yang baru menginjak 20 tahun itu?

Barlux semakin murung. Setiap kali kakaknya pulang dari medan perang, telinganya seperti dituangi minyak panas. Pujian dari para Stauven untuk prestasi Grall pasti akan berlanjut cacian dan kalimat membanding-bandingkan.

"Berhenti melamun. Seharusnya kamu beruntung bukan bagian dari orang-orang dungu itu." Suara seseorang menyadarkan Barlux dari lamunannya.

"Sejak kapan ayah di sini?"

"Semalam. Kebetulan Blackfin bersandar di Anteros." Tonos menjawab santai. Pria berambut merah itu duduk di depan Barlux dan meletakkan sesuatu di atas meja ruang tamu. "Oleh-oleh untukmu. Tersenyumlah."

Barlux tersenyum lebar. Dia raih buku itu cepat-cepat.

"Kapal mana lagi yang ayah jarah?"

"Kerajaan Eldorad."

"Apa ayah Clavus juga terlibat?" Barlux bertanya, menyebut nama ayah kandungnya.

Tonos menjawabnya dengan anggukan kepala. Dia berdiri dari kursinya dan mengamati ornamen-ornamen di ruang tamu rumah kecil itu. Barlux tidak berani berkata apa-apa, karena saat ini bukan waktu yang tepat untuk menegur pria bengis itu.

Siapakah Tonos di mata Barlux?

Tonos The Blackfin, Mar Tonos, atau bajak laut berambut merah, pria itu adalah teror di lautan yang hanya mau merampok kapal-kapal pemerintahan. Pria itu adalah kriminal nomor satu yang paling dicari semua kerajaan di Benua Meropis. Si raja bajak laut itu selalu berhasil merampok mereka seketat apapun kapal-kapal itu dikawal. Hanya satu orang saja yang bisa melawannya. Orang itu adalah Admiral terbaik di seluruh Benua yang merupakan sahabat Tonos sendiri. Orang itu adalah penasihat militer Kekaisaran Brittia sekaligus ayah kandung dari Barlux dan Grall.

Pria itu benama Clavus del Stauven. Pria itu juga dijuluki Clavus the Whitefin, Mar Clavus, Alba, atau entahlah julukan mentereng apalagi yang sama banyaknya seperti Tonos.

"Grall belum pulang?" Tonos menanyakan kakak laki-laki Barlux. Dia bicara tanpa berpaling dari lukisan karya anak perempuannya. "Aku dengar dia sudah pulang kemarin. Kenapa dia tidak langsung ke sini?"

Barlux semakin enggan bicara. Dia celingukan karena pertanyaan itu lebih mirip interogasi jika Tonos yang mengucapkannya.

"Ayolah, Nak. Aku sudah memaafkan Abangmu. Lagipula di sini ada Phulia. Mana berani aku memenggal kepalanya."

Tenggorokan Barlux seperti tercekik. Dia pura-pura tidak mendengar apapun dan memilih membaca buku yang baru saja dia dapatkan.

Grall kakaknya, sudah melakukan dosa besar. Dia nekad menghamili anak perempuan Tonos karena sebuah hubungan tanpa persetujuan. Sekalipun kejadian itu sudah tiga tahun lalu, tapi Tonos masih berniat menghabisi anak angkatnya itu, yang saat ini berubah status menjadi menantunya karena terpaksa.

Tonos tidak pernah segan mencungkil mata seseorang yang memandang puterinya lama-lama.

Apalagi kepada Grall yang sudah berbuat gila.

Barlux takut salah bicara. Suasana pun membeku sampai terdengar suara perempuan yang memecahkan kesunyian itu.

"Dia suamiku. Aku mencintainya dan dia mencintaiku. Kulitnya lecet sedikit saja, Ayah berurusan denganku."

Tonos langsung berubah sikap. Wajah garangnya langsung lenyap begitu melihat seorang perempuan berambut merah keluar dari dapur.

"Ingat baik-baik, Tuan Bajak Laut," ucap perempuan itu menarik kerah leher ayahnya sendiri. "Namaku sekarang Phulia del Stauven. Bisakah kau bersikap selayaknya pria berumur?"

Tonos semakin pucat ketika perempuan yang bernama Phulia itu mempelototinya. Dia hanya mengangguk dan kembali duduk tenang di hadapan Barlux.

"Berhenti tertawa. Kamu baru tahu rasa kalau kamu nanti punya anak perempuan." Tonos menegur Barlux yang cekikikan. Dia meraih sebuah claymore berkilau crimson dari tepian meja dan meletakkan pedang panjang itu ke punggungnya. "Sudahlah, aku ada urusan penting dengan si menantu keparat itu."

"Ayah, namaku Phulia del Stauven, sekarang."

"Iya iya aku tahu. Aku hanya mau bicara dengannya." Tonos menyahut dan menunjuk Barlux yang masih mentertawakannya. "Lebih baik urus adik iparmu itu. Kamu tidak lihat wajah muramnya? Beri dia nasihat sebelum dia gantung diri."

Tonos pun berlalu meninggalkan Phulia yang kini memijat tepian keningnya.

"Aku sudah 31 tahun sekarang. Tapi si idiot itu masih menganggapku seperti bayi." Phulia mengeluh. Dia menduduki kursi yang ditinggalkan ayahnya dan memasang senyum angun kepada sang adik ipar. "Para Stauven itu menghinamu lagi, Barlux? Ayo cerita padaku."

Barlux tidak langsung menjawab. Dia masih belum menyangka perempuan istimewa itu tiga tahun ini resmi menjadi kakak iparnya. Oh, Phulia yang anggun dan dewasa, wanita itu adalah segalanya bagi Barlux. Phulia adalah salah satu dari segelintir orang yang memberinya keyakinan bahwa dirinya bukanlah pecundang.

Perempuan itu adalah pengasuhnya dan pengasuh Grall semenjak kecil. Perempuan berpupil biru safir itu pula yang membentuk kepribadiannya, sekaligus kepribadian dari kakak laki-lakinya.

"Hmmm ... Tidak ada apa-apa, Kakak. Aku sudah lega melihat senyumanmu." Barlux menjawab apa adanya. Kedatangannya ke rumah kecil itu memang hanya untuk sebuah senyuman.

"Apa kamu sedang merayu kakak iparmu?"

Wajah Barlux langsung memerah. Dia tidak pernah tahan dengan sikap Phulia yang suka sekali menggodanya.

"Kamu tahu, Barlux, aku sering ditinggal Grall bertugas. Aku jadi merasa rugi kamu hanya duduk di ruang tamu saja."

Barlux menundukkan wajahnya. Secepatnya dia basa-basi agar godaan itu segera Phulia akhiri.

"Apa Kakak baik-baik saja?" tanya Barlux, melirik perut Phulia.

"Maksudmu, kandunganku?" Phulia menjawab sambil mengelus perut langsingnya. "Aku tidak tahu apakah aku bisa hamil lagi setelah keguguran itu "

"Hmm ..." Barlux tidak mampu meneruskan basa basinya. Dia merasa bodoh telah memancing topik yang tidak nyaman untuk dibicarakan.

Nampaknya, Phulia memahami jalan pikirannya. Perempuan itu beranjak dan membisikan sesuatu ke telinga pemuda itu.

"Lagipula Abangmu terlalu sibuk dengan militer, Barlux ... Dia jarang menyentuhku ..."