12 Februari 1250 AG - 01:00 Pm
Rumah kecil di pojok Manor Stauven
—————
"Hahahahhaaha!"
Grall tertawa lepas. Dia tidak tahan melihat wajah memerah adiknya yang baru saja berganti celana. Kalimat vulgar Phulia benar-benar di luar batas Barlux yang tidak punya pengalaman menghadapi makhluk yang bernama perempuan.
"Kamu polos sekali, untung saja braies-ku pas dengan ukuranmu. Dasar perjaka, hahahaha!" Grall berganti menoleh istrinya yang kompak mentertawakan Barlux. "Apa dia tadi pingsan seperti kemarin-kemarin, Sayang?"
"Hampir, hahahaha!"
"Sial, perutku sakit, hahahaha!"
Barlux terlampau malu. Dia tidak terima jadi bahan bercandaan pasangan suami istri itu.
"Jangan menghinaku, Abang juga baru saja ganti celana, bukan?"
"Ehem!" Kalimat itu kontan ditimpali seorang pria paruh baya berambut merah. Sedari tadi Tonos memandang kemesraan dua merpati itu dengan tatapan tidak sedap. "Iya, dia langsung terkencing begitu melihatku. Aku tidak percaya puteriku menikahi seekor ayam," tukas Tonos menepuk pundak Barlux dan melirik Grall dengan wajah semakin ketus. "Berhenti mengagumi si keparat itu. Jadilah dirimu sendiri. Jangan ikut-ikutan budaya tolol Keluarga Stauven."
Grall langsung diam. Dia tidak berani membalas apapun selain menundukkan kepala dan meneteskan keringat dinginnya. Sang prajurit perkasa itu semakin gemetaran begitu Tonos berganti menepuk pundaknya.
"Hei menantu sialan, kamu sudah memahami informasi tadi? Jadikan itu kesempatan mendapatkan maaf dariku. Mengerti?"
Grall mengangguk. Dia menurut ketika Tonos mengajaknya melanjutkan pembicaraan di halaman belakang. Ruang tamu itupun sekali lagi hanya dihuni seorang perempuan berambut merah dan si pria muda yang masih lugu memandang dunia.
"Manusia lahir membawa takdir mereka masing-masing, Barlux. Kamu mungkin pria paling lemah di antara para Stauven. Tapi kamu adalah pria paling berwawasan di keluarga itu. Hargai itu."
Barlux mengangguk. Phulia pun tersenyum. Dia melirik buku yang masih Barlux pegang dan memberikan nasihat tambahan.
"Pedang hanya menentukan hidup mati seseorang di pertarungan. Kamu punya medan tempurmu sendiri dengan buku-buku, Barlux. Lagipula yang menghinamu hanya kerabat jauh, bukan?"
Barlux mulai bisa tersenyum tulus. Kata-kata sejenis itu lah yang sering dia dengar semenjak kecil dari bibir Phulia juga dari mulut Grall yang pola pikirnya jadi berbeda karena pengaruh dari istrinya. Sepasang suami istri itu adalah pendukung nomor satu di saat para Stauven lain menghina minat besarnya membaca buku.
Sungguh lelaki yang beruntung. Sampai detik ini Barlux masih iri perempuan sebijak itu bisa kakaknya miliki. Dia merasa iri karena Phulia selalu melukis keceriaan kakaknya, kematangan berpikirnya, juga kemantapan hati Grall memandang dunia.
Dia iri ... sekaligus berbahagia dengan semua prestasi kakaknya karena dukungan perempuan itu.
Barlux adalah saksi dari perjalanan cinta mereka. Dia adalah orang pertama yang mendukung Grall di kala pria kaku itu berniat mempersunting Phulia yang notabene 11 tahun lebih tua darinya. Meski perempuan itu selalu meremehkan kedewasaannya, tapi kegigihan Grall berbuah manis ketika tiga tahun lalu ...
"Kamu masih penasaran sejak kapan aku mencintai kakakmu sebagai seorang perempuan?" Phulia membaca gelagat Barlux dan langsung menjawab benak pria itu. "Aku menganggap dia sebagai lelaki semenjak dia menyentuhku pertama kali sebagai lelaki, Barlux." Sekali lagi, perempuan itu menghampiri Barlux dan membisikan sesuatu ke telinganya. "Apa kamu juga mau aku anggap seperti lelaki?"
Barlux langsung terjatuh dari kursinya.
"Hahahaha! Kamu menggemaskan sekali. Sudahlah, mumpung Abangmu tidak ada, kamu menemuiku karena masalah perempuan, bukan?"
Barlux terhenyak.
"Bagaimana kakak bisa tahu?"
Phulia tersenyum simpul.
"Jangan remehkan intuisi perempuan yang membesarkanmu, Barlux." Phulia menurunkan intonasi suaranya dan memandang Barlux dengan wajah teduh. "Segera nikahi dia dan terimalah posisiku sebagai kakak iparmu. Kamu sudah dewasa, Barlux, kamu harus tahu kapan saatnya kamu berhenti mencintaiku sebagai seorang laki-laki. Kamu mengerti?"
"Iya ..." Barlux ikut tersenyum teduh. "Aku mengerti, Kakak ipar."
Pesan itu pun menjadi komitmen yang Barlux pegang, sampai dunia menjadi sangat berbeda tiga tahun kemudian.
***
Barlux telah menikah dan resmi mengganti nama belakang mengikuti keluarga istrinya. Dia juga telah memiliki seorang anak perempuan yang baru bisa berjalan. Barlux bahagia. Gelar Stauven pecundang tidak lagi terdengar di telinganya.
Namun, dunia juga jadi sangat berbeda untuk seorang Grall. Barlux menepuk pundak pria itu dan membisikan kalimat terbaik yang bisa dia ucap.
"Kami semua mencintainya, Abang."
Grall masih menatap kosong wajah pucat seorang perempuan yang sudah terpejam. Dia masih memegang tangannya dan sesekali mengecup jemarinya yang sudah dingin.
Matanya sembab. Dia mungkin menimbang apakah harus pura-pura tegar sebagai seorang Stauven atau menangis saja seperti layaknya manusia. Grall menggigit bibir bawahnya hingga berdarah. Dia sudah sampai batasnya untuk bisa menyangkal fakta bahwa Phulia sudah tiada.
"Setidaknya, anak keduamu lahir dengan selamat, Abang ..." Barlux menghentikan kalimatnya sendiri ketika melihat airmata menetes di pipi si jenderal muda. Dia enggan menegurnya karena tidak mungkin bisa mengatasi hal yang paling menyakitkan dari sebuah kematian.
Beban kenangan itu terlalu berat. Grall pasti sulit menerima kenyataan bahwa hari-harinya tidak akan sama tanpa seseorang yang dia cinta.
Tidak akan sama ... tidak akan pernah.
"Manusia lahir membawa takdir masing-masing. Itu yang sering Phulia ucapkan semenjak kita kecil, Barlux." Grall mulai bersuara setelah sekian lama mengunci mulutnya. Dia masih terpaku dan memandang bibir Phulia yang tersenyum anggun.
Senyum anggun yang sangat tidak asing.
Barlux semakin terdiam. Dia tidak sanggup membayangkan kesedihan yang kakaknya rasakan.
"Aku tidak mau menerimanya, Barlux. Jika ini takdir istriku, mungkin ini pertama kalinya aku tidak mau mempercayai kata-katanya ... " Grall mulai terisak. Dia menggenggam jemari istrinya dan mengecupnya sambil menangis. "Aku tidak mau mempercayainya, Barlux ... ak—aku tidak mau ...."