15 Desember 1259 AG - 04:00 Pm
Mansion Grall del Stauven
—————
Mascara duduk memeluk lutut. Dia masih menangis sekalipun dilarang menitikkan air mata oleh ayahnya. Dia masih menyesal meninggalkan Simian karena tantangan duel teman sepermainan. Setelah diperintahkan ayahnya untuk membalas anak-anak Stauven itu Mascara masih belum puas. Dia tak mempedulikan darah yang mengalir di kepalanya ataupun beberapa tulangnya yang mungkin retak.
Hatinya sakit ... jauh lebih sakit karena ...
"Berdiri, Mascara. Berikan adikmu kalimat terakhir."
"Tidak mau! Uwaaa!!!"
Ucapan tabib itu bohong. Mascara tidak mau mempercayainya. Dia menepis tangan ayahnya yang hendak mengantarnya menemui Simian yang sedang sekarat. Dia berlari sendiri memeluk tubuh si rambut merah itu dan menggoncangnya.
"Bangun, Simian! Aku janji kita main lagi. Ayo main ke halaman, banguuunnn!!!!"
Tidak ada satu orang pun yang mencegahnya. Tidak ada pula yang menitikan airmata selain Mascara, seorang wanita pelayan paruh baya, dan seorang gadis pirang emas berumur tujuh tahun. Suasana itu membuat Mascara mulai membenci ayahnya yang merelakan sisa hidup Simian dengan hanya helaan napas.
Apa yang salah dengan orang-orang dewasa?
Apa yang salah dari Simian?
Mascara terus memeluknya dan mengucapkan semua penyesalan yang sudah terlambat.
"Bangun, Simian! Aku janji tak akan meninggalkanmu lagi, hiks! Nan—nanti aku bawakan redberry kesukaanmu ... atau hazelnut ... apapun Simian, nanti aku petik yang banyak buat kamu, hiks."
Si rambut merah itu tidak merespon. Satu-satunya yang bergerak dari anak itu hanyalah darah yang mengalir dari hidung dan telinganya. Mulut Simian bahkan masih menganga seperti waktu Mascara tadi menggendongnya.
"Bangun ... aku mohon ..." Mascara kehabisan suara. Dia juga kehabisan harapan untuk bisa membangunkan adik kesayangannya.
Seorang adik yang sangat lemah. Seorang adik yang selalu Mascara jaga.
Simian hanya sesekali saja keluar kamar. Badannya terlalu rapuh untuk bisa bermain seperti anak-anak lain. Mascara tidak tahu kenapa Simian mudah lelah dan sering sakit-sakitan. Karena keadaan itulah Mascara selalu menidurkan Simian dulu jika dia ingin bermain sendirian.
Tapi siapa sangka Vodi mengajak Simian bermain? Siapa sangka pula sang ayah sibuk dengan orang-orang sehingga Vodi membangunkan Simian? Mascara menyesal. Dia mengecup kening Simian dan menggunakan sisa suaranya untuk kata-kata terakhir.
"Kalau kamu bangun ... aku selamanya akan bersamamu, Simian. Aku akan menjagamu sampai rambutmu putih seperti Kakek Clavus. Ka—kalau aku meninggalkanmu lagi, ak—aku ... aku mau dikutuk jadi ikan."
Bibir tipisnya mengecup dahi Simian sekali lagi. Mascara turun dari ranjang itu dan menghapus air matanya. Dia ingin meluapkan kesedihannya sendirian karena orang-orang dewasa tidak akan mau menemani. Dia juga tidak mau melihat ayahnya lagi yang tidak sayang kepada Simian. Dia semakin membencinya dan memberi sang ayah tatapan bermusuhan.
Namun ketika dia menatap matanya, dia melihat ayahnya menangis.
Bukan menangis sedih, tapi menangis kaget. Ayahnya ternyata melotot ke arah sang adik yang nyawanya tak mungkin tertolong lagi. Begitupun semua orang di ruangan itu. Mereka semua melihat ke arah Simian dengan mata terbelalak dan mulut melongo.
Mascara pun menoleh ke belakang dan melihat bibir kecil Simian bergerak perlahan.
"Mascara ... kamu janji akan terus bersamaku? Selamanya?"