Di tiga benua, semua kerajaan memiliki sistem feodal yang hampir sama. Mereka membagi kekuasaan menjadi tiga fraksi kebangsawan yang memiliki kekuatan politik berimbang. Khususnya dua faksi berbeda antara sipil dengan militer.
Pembagian kekuasaan ini umum diterapkan agar keluarga bangsawan tidak memberontak kepada raja atau ratu. Karena jika sebuah keluarga bangsawan memiliki uang dan kekuatan militer sekaligus, maka ....
Hmm ... orang paling idiotpun bisa membayangkan apa akibatnya. Demi mencegah pemberontakan, dilarang keras bagi keluarga bangsawan sipil untuk menjabat militer sekaligus. Begitupun sebaliknya. Kalaupun terjadi perkawinan silang, maka pernikahan mereka akan sangat diawasi kerajaan.
Beberapa kerajaan memperbolehkan bangsawannya mewariskan gelar mereka kepada keturunannya. Sedangkan beberapa kerajaan lain, murni mengedepankan pencapaian dari pengabdian-pengabdian, alias sistem meritokrasi. Kerajaan Arcadia adalah penganut sistem berbasis prestasi itu. Segala gelar yang disandang para bangsawannya tidak bisa diwariskan dan memiliki penilaian rumit yang sangat ketat. Karena sistemnya, kerajaan itu terkenal memiliki bangsawan-bangsawan yang berkemampuan di atas rata-rata.
Semua terjadi karena Arcadia adalah kerajaan yang tidak beruntung. Negeri itu gersang dan berada di batas paling selatan Benua Meropis. Kerajaan itu adalah negeri yang rentan konfrontasi dengan negeri-negeri di benua tetangga. Jika Kerajaan Arcadia tidak mengedepankan kualitas para bangsawan, maka negeri itu pasti musnah.
Di Arcadia, Keluarga Stauven adalah keluarga bangsawan yang memiliki reputasi tinggi sebagai keluarga militer. Keluarga itu melahirkan banyak nama-nama besar karena memiliki standar pencapaian yang tidak mudah, bahkan bisa dibilang ekstrim. Berbeda dengan bangsawan sipil, Keluarga Stauven tidak berhak memiliki lahan pertanian, pertambangan, atau ratusan petani yang mengerjakan lahannya. Sebagai gantinya, keluarga itu berhak jual beli senjata, serta memiliki prajurit pribadi yang bisa mereka sewakan untuk tugas resmi maupun sebagai mercenary¹.
Karena posisi militer tertinggi Propinsi Tigris ada di tangan marquis yang bernama Grall del Stauven, keluarga Stauven mendapat manor² sendiri untuk melatih kekuatan militer sesuai konstitusi. Di lahan itu berdiri puluhan mansion serta bangunan lain yang kental nuansa militernya. Ada barak, ada lapangan militer, ada gudang senjata hingga arena jousting². Dan di ujung paling selatan komplek manor itu, terdapat sebuah mansion paling besar yang bernuansa militer paling kental.
Mansion itu adalah hunian milik Marquis Grall del Stauven.
—————
30 September 1274 AG - 8:30 Am
Kota Tigris - Mansion Grall del Stauven
—————
Grall memijat tepian keningnya. Kabar mengejutkan itu masih saja mengusik ketenangannya. Sudah dia duga suatu saat nanti dua anaknya akan bersikap di luar batas. Dia memandang lagi Mascara dan Simian yang duduk menghadapnya dengan wajah menunduk.
"Kalian sudah dewasa. Seharusnya kalian bisa menahan diri."
Keduanya tidak membantah. Dua anak itu sudah tahu bahwa mereka lah yang salah.
"Bisa memperbaiki nama baik ayahmu?"
Grall melihat Mascara gelisah hendak berkata-kata. Tapi gadis itu mengurungkannya dan memilih membelai rambut Simian. Marquis itu tahu anak gadisnya menahan si rambut merah itu agar tidak mengucapkan sepatah katapun.
"Baiklah, aku juga sudah tidak peduli gelar marquis ini lagi. Biar ini jadi urusanku. Aku tahu hubungan kalian terlalu erat. Aku siap menerima resikonya."
"Ayah!" Mascara mulai bersuara.
"Tenanglah, aku tidak sedang menyalahkanmu." Grall menjawab dengan wajah teduh untuk meyakinkan Mascara bahwa sekarang memang sudah waktunya. "Aku tahu kamu sudah lama memendam hasratmu. Jangan merasa bersalah lagi."
"In—ini salahku. Aku yang memancing Simian. Ini sudah terlanjur terjadi. Apa yang harus aku lakukan, Ayah?"
Grall tersenyum. Dia berkata, "Jalani hari-hari kalian seperti biasa. Sebentar lagi Vodi pulang. Ajak adik bungsu kalian bermain. Sekarang pergilah."
Marquis itu menghela napas dalam-dalam setelah keduanya berlalu melewati pintu. Dia tersenyum dan mensyukuri bahwa penderitaan anak-anaknya telah membangun karakter kuat mereka. Grall merasa berhasil menjalankan perannya sebagai seorang ayah. Dia tidak mempermasalahkan lagi kesalahan yang baru saja mereka lakukan.
Apa yang terjadi antara Mascara dengan Simian?
Kenapa Grall memusingkan nama baiknya?
Selama bertahun-tahun kedua anak itu menahan diri dari hinaan beberapa Stauven. Mascara sering dilecehkan, sedangkan Simian sering mereka aniaya. Kedua anak itu sudah menyimpan dendam pada sebagian kerabat mereka sendiri. Tapi keadaan berkata lain. Grall berusaha menahan mereka agar tidak sembarangan bersikap. Karena para Stauven itu terkait erat dengan rencana besarnya, satu kesalahan saja bisa berujung mala petaka.
Menggores sedikit saja kulit para Stauven itu, Kota Tigris bisa dilanda perang saudara.
Namun, Grall tidak peduli lagi. Perlindungan politik itu sudah tergerus karena diam-diam dia memainkan langkahnya di belakang layar. Dia sudah siap kalau harus menghabisi para Stauven itu dan mengutus anak-anaknya sebagai malaikat maut. Hanya butuh waktu yang tepat untuk melakukannya. Dua anaknya harus dia kendalikan agar bisa membalas dendam. Karena jika tidak, nyawa anak-anaknya lah yang terancam.
Pilihannya hanya dua.
Membunuh
Atau terbunuh.