"dok.. dook.. dokk.."
suara ketukan pintu berulangkali terdengar dari luar, seseorang seperti tergesa-gesa ingin memberi sebuah kabar.
"ceklek.."
Lloyd membukakan pintu, ia sedang berada di ruang kerja pendeta agung Sri Isaac Xavier.
"ada apa, kenapa kau terus mengetuk pintu tak beraturan"
tanya Lloyd pada Sam, seorang pendeta junior yang barusaja dipindah tugaskan di kuil suci.
"hossh.. hoshh.. hossh"
Sam masih mengatur nafasnya agar tak tersengal dan dapat berbicara.
"be.. begini, mohon maaf atas ketidak sopanan hamba pendeta Lloyd, di depan aula utama.. pendeta Carlos, beliau menyuruh nona Eden untuk melakukan tes sebagai seorang kesatria terpilih"
ucap Sam dengan badan gemetar sambil menunjuk ke arah aula, sontak mendengar hal tersebut membuat Sri Isaac Xavier bangkit dari tempat duduknya, meskipun ia tak keluar ruangan namun penjelasan Sam terdengar di telinganya.
"apa maksud mu?!"
tanya pendeta agung dengan tegas yang membuat Sam tertuduk
"nona Eden akan berjalan melewati dua pohon suci dengan penutup mata"
ucapan Sam kali ini begitu jelas, raut wajah penuh khawatir tak dapat di sembunyikan oleh pendeta agung, ia sangat khawatir terhadap hal yang akan terjadi pada Eden, ia pun bergegas menuju ke aula diikuti oleh Lloyd yang berjalan dibelakangnya.
sebenarnya pendeta agung berencana akan melakukan tes tersebut pada Eden namun setelah ia menyelesaikan pendidikannya dan juga setelah mandi di danau Suci.
bukan tanpa alasan, jika seseorang telah mandi di danau Suci maka dapat dipastikan bahwa ia telah dibersihkan jiwa dan raganya sehingga untuk melewati pohon suci akan sangat mudah, tetapi jika Eden sudah akan melewati nya sekarang maka Sri Isaac Xavier sendiri tak dapat menjamin bahwa Eden bisa selamat.
bahkan meskipun Eden berhasil melewati nya namun belum tentu pengelihatannya akan normal karena kain penutup mata yang digunakan untuk melewati pohon suci merupakan kain khusus yang telah melalui serangkaian ritual dan juga doa doa, kain tersebut memiliki kuasa untuk mengambil pengelihatan seseorang jika ia terbukti tidak memiliki hati yang suci.
sesampainya di depan aula, Sri Isaac Xavier mendapati pemandangan yang mengejutkan, ia melihat Eden telah mengenakan penutup mata dan juga telah berada pada posisi untuk siap melangkah melewati dua pohon suci.
hal ini tentu saja membuat Sri Isaac Xavier marah juga kecewa pada pendeta Carlos.
"hentikan!!!"
seru Sri Isaac Xavier mencoba menunda Eden untuk berjalan, suasana di depan aula tampak mencekam, angin tiba-tiba berhembus kencang mengiringi langkah kaki Sri Isaac Xavier menuju pendeta Carlos dan juga Eden.
"Sri apakah itu anda?"
tanya Eden sedikit kebingungan, yang membuat Sri Isaac Xavier lebih mendekat pada Eden lalu memeluknya.
"s..Sri.. apa yang anda lakukan"
Eden merasa tak nyaman dengan pelukan yang diberikan oleh Sri Isaac Xavier terhadap dirinya.
beberapa orang yang lalu lalang pun seketika berhenti melihat Sri Isaac Xavier yang sedang memeluk Eden.
hal ini merupakan sesuatu yang jarang terjadi bahkan tak pernah terjadi sekalipun setelah Anna Lewis meninggal.
ibu Eden adalah orang terakhir yang mendapat pelukan dari Sri Isaac Xavier dan kini Eden juga mendapatkannya, sebuah pelukan dari seorang pendeta agung menandakan bahwa orang tersebut akan mendapat berkah yang merupakan sebuah perlakukan kehormatan bagi siapapun yang menerimanya.
pendeta Carlos yang juga menyaksikan hal tersebut kemudian tertunduk kaku, ia tak menyangka bahwa Sri Isaac Xavier akan melakukan hal semacam itu.
"kau mendapat restu dari ku, berjalan lah semoga kau berhasil"
ucap Sri Isaac Xavier yang kemudian melepas pelukannya dari Eden, ia lantas mengarahkan pandangan matanya terhadap pendeta Carlos lalu mendekat ke arahnya.
"setelah ini, berhasil maupun tidak, aku ingin menerima surat pengunduran diri mu secara sukarela"
ucap Sri Isaac Xavier menegur keras perilaku tak terpunji pendeta Carlos yang dengan semena-mena memutuskan tanpa persetujuan dari dirinya.
"hamba tidak merasa yang hamba lakukan ini salah Sri, hamba hanya melakukannya sesuai prosedur yang telah ada sebelu..."
"tidak!!! kau salah besar!!"
ucap Sri Isaac Xavier dengan lantang memutus perkataan pendeta Carlos, asisten pendeta Carlos pun tak berani berbicara membela tuannya, mereka hanya diam tertunduk.
"prosedur yang benar adalah nona Eden harus mandi di danau suci terlebih dahulu baru boleh melewati dua pohon suci sebagai tahap akhir"
imbuh Lloyd yang ingin meluruskan kata-kata yang diucapkan oleh Sri Isaac Xavier.
"sebagai seorang pendeta kuil suci hamba yakin bahwa pendeta Carlos mengerti benar tentang resiko yang akan dihadapi nona Eden jika gagal"
Lloyd kembali meneruskan ucapannya, sedangkan Eden masih tak mengerti situasi yang ada di sekitarnya.
"hamba sudah mengatakannya pada nona Eden mengenai resiko yang akan ia hadapi jika gagal dan ia bersedia untuk melakukannya"
ucap pendeta Carlos yang masih saja membela dirinya.
"bukankah Anda sudah mendengar sebelumnya pendeta Carlos, bahwa anda sudah menyalahi aturan dengan membawa nona Eden kesini sebelum mandi di danau suci yang artinya anda harus mengundurkan diri!"
ucap Lloyd sedikit tegas terhadap pendeta Carlos yang sedari tadi berkelit.
suasana menjadi hening, pendeta Carlos tak dapat menyangkal lagi, ia tertunduk menerima sanksi yang akan ia hadapi setelah ini.
pendeta Sri Isaac Xavier pun kembali mendekati Eden, ia mengarahadapkan Eden pada bagian tengah pohon Suci,
"berjalanlah.. lepaskan semua emosi, nafsu dan ikuti kata hati mu, semoga kau kembali dengan utuh"
ucap pendeta Isaac Xavier pada Eden kemudian melepas pegangan tangannya dari pundak Eden.
Eden kini telah membulatkan tekad, ia harus berjalan dan membuktikan bahwa ia memang layak menjadi kesatria Terpilih seperti yang disebutkan oleh pendeta Sri Isaac Xavier tempo hari, ia tak ingin mengecewakannya.
Eden mulai melangkahkan kaki nya secara bergantian, kedua tangan ia rentangkan ke arah depan seolah sedang meraba memastikan bahwa langkahnya benar menuju tepat ke tengah-tengah pohon suci.
ia merasa waktu kian melambat karena ia tak segera sampai di tengah pohon, Eden mulai merasa ragu apakah arah yang ia tuju benar ataukah ia salah, terlebih lagi tanah yang kini ia injak memiliki tekstur yang berbeda dari tanah yang sebelumnya.
Eden semakin ragu, nyalinya mulai menciut, ia pun berhenti sejenak yang membuat pendeta Carlos tersenyum simpul seolah senang melihat Eden yang kini menjadi ragu.
begitupula Liliana yang mengamati dari jauh, yang ia harapkan bahwa Eden gagal dan menerima resiko nya nanti.
sedangkan yang lainnya merasa khawatir terhadap Eden.
"Eden"
suara pelan berbisik di telinga yang membuat Eden sontak menolehkan kepala ke arah kanan
"Eden"
kini suara tersebut berbisik dari arah kiri yang membuatnya kembali memalingkan kepala ke arah kiri.
suara yang asing seolah sedang mengganggunya, Eden mulai berpikir dan berkonsentrasi kembali, ia yakin bahwa suara tersebut merupakan bagian dari tes, jika Eden tergoda dan mengikuti arah suara berasal maka kemungkinan besar ia akan mengalami kegagalan, setidaknya itulah yang ada di benak Eden sekarang.
kini Eden berjalan kembali, ia mencari suara ketenangan yaitu suara angin, ia ingat betul ketika pertama kali melihat pohon suci terdengar suara angin yang menghembuskan dedaunan pada pohon suci, suara yang begitu khas, lembut dan menenangkan.
semakin lama ia berjalan semakin banyak suara-suara memanggil namanya, begitu menggoda hingga ia ingin menoleh.
"wwuuuussss, sssrrrrrrrsssss..."
suara angin menghembuskan dedaunan, Eden menemukannya suara itu kini melekat jelas dalam benak Eden hingga membuatnya yakin dan terus berjalan ke arahnya, ia terus melangkah dengan keyakinan dan keteguhan hati akan apa yang ia percayai dan suara itu kini lenyap begitu saja, Eden pun terhenti, ia terdiam memastikan apa yang terjadi, apakah ia sudah sampai ataukah ia masih harus berjalan.
tiba-tiba seseorang mendekatinya lalu melepaskan penutup mata yang ia kenakan, dia lah pendeta Sri Isaac Xavier yang datang menghampiri Eden untuk mengucapkan selamat atas keberhasilan yang telah ia lalui.
"selamat"
ucap Sri Isaac Xavier sambil memeluk Eden, diikuti dengan para pendeta lain yang menyaksikan Eden dengan simbolik menundukkan kepala seolah memberi penghormatan pada kesatria terpilih.
"apakah hamba berhasil?"
tanya Eden pada Sri Isaac Xavier
"ya tentu saja, dewa tak pernah salah memilih"
imbuh pendeta agung.
pendeta Carlos kini mengakui kekalahan nya, dengan berbesar hati ia pun ikut menundukkan kepala seperti yang lain sebagai tanda penghormatan.
* * *
(di kediaman keluarga Thompson)
para prajurit datang untuk menggeledah rumah Liliana sesuai dengan surat perintah yang diturunkan oleh raja Louise.
prajurit masuk bersamaan, mereka pun telah mendapatkan izin dari pemimpin keluarga Thompson untuk melakukan penggeledahan dibawah pimpinan pangeran Arthur secara langsung.
"periksa semua, jangan sampai ada yang terlewat bahkan sekecil butiran pasir sekalipun!!"
seru pangeran Arthur memberi perintah yang membuat para prajurit mulai melakukan penggeledahan.
dari lantai satu hingga lantai tiga semuanya tengah di periksa, bahkan setiap sudut ruangan pun tak terlewatkan.
Arthur kembali mengingat ucapakan kakaknya sebelumnya.
"aku yakin bahwa pelaku yang sebenarnya ingin menjadikan Liliana sebagai pelaku utama dan satu-satunya, ia pasti dengan sengaja meninggalkan sebuah bukti penting di rumah Liliana tanpa diketahui siapapun"
ucap Louise yang terngiang-ngiang dalam benak Arthur.
'jika memang benar demikian maka aku harus berpikir sederhana, bukti itu pastilah bukti yang mencolok bagi orang yang baru pertama kali datang namun tak terlihat menarik dari sudut pandang orang yang berada di rumah ini'
gumam Arthur dalam hati sambil melihat-lihat sekeliling.
ia pun bergerak menuju meja kerja Liliana dimana para prajurit juga sedang memeriksa tempat tersebut.
Arthur meletakkan tangannya pada beberapa buku, ia mulai meraba-raba, mengangkat buku lalu membukanya, tak sengaja sepucuk kertas tertekuk jatuh dari buku tersebut yang membuat Arthur terduduk untuk mengambil nya.
tak sengaja tercium bau sedikit amis, seperti darah yang sudah kering dari bawah meja Liliana, saat melihat lebih jauh ke bawah meja Arthur menemukan sepasan sepatu yang memiliki noda darah pada bagian bawah dan sedikit di bagian depan, ia pun mengambilnya lalu menyerahkan pada seorang prajurit.
"ambil dan amankan"
ucap Arthur yang diikuti anggukan prajurit seolah mengerti akan perintahnya.
Arthur kemudian membuka kertas yang ia pungut sebelumnya, ia pun terkejut melihat isinya.
"semuanya berhenti!! aku sudah menemukan bukti utamanya!"
sontak teriakan Arthur membuat para prajurit menghentikan pemeriksaan, Arthur pun memberi perintah untuk kembali ke istana.
ia berpamitan pergi pada tuan rumah, lalu bergegas menaiki kudanya.
'benar yang di katakan kakak, sejak awal pelaku sebenarnya memang berniat menjadikan Liliana sebagai pelaku utama"