Han Sen membawa baju baja jiwa binatang dan kembali ke Penampungan Baju Baja. Ketika ia memasuki gerbang, dia bertemu dengan kenalannya.
"Sen?" Han Hao kaget saat melihat dirinya.
"Han Hao, kamu kenal si Bokong Maniak?" semua teman Han Hao mengenali Han Sen dan menatap Han Hao ganjil.
"Salah orang. Ayo pergi!" Han Hao berhenti dan terlihat gugup. Tanpa menyapa, dia berjalan melewati Han Sen.
Han Hao tidak menyangka Han Sen ada di penampungan yang sama, serta bahwa dia ternyata si Bokong Maniak terkenal itu. Jika ketahuan bahwa dia adalah sepupu Han Sen, Han Hao tidak bisa membayangkan apa yang Anak Surga dan Qin Xuan lakukan kepadanya.
Han Sen tersenyum getir dan tidak membongkar kebohongan Han Hao. Karena Han Hao tidak ingin berurusan dengannya, kenapa dia harus mencelakakan sepupunya?
Dengan uang dua juta di tangannya, Han Sen meninggalkan Tempat Suci Para Dewa dan pulang ke rumah. Dia meminta Mr. Zhang untuk membantu prosedur hukum soal rumah lamanya untuk menghindari perselisihan lebih lanjut dengan kerabatnya. Setelah itu, ia merasa lebih tenang. Semuanya akan terselesaikan dan hidupnya akan lebih baik. Jika dia mendapat uang lebih, Han Yan bisa pergi ke sekolah swasta di mana dia bisa mendapat pendidikan yang lebih baik darinya. Di beberapa sekolah elit, dia bahkan bisa belajar seni geno hyper dan bisa memulai lebih baik.
Akan tetapi untuk masuk ke sekolah elit, keluarganya haruslah kaum bangsawan. Jadi Han Sen harus menyelesaikan satu evolusi dan mendapatkan gelar.
"Itu sangatlah mudah untukku. Aku bahkan bisa memiliki gelar bangsawan berdarah sakral jika aku mau." jiwa Han Sen bergelora.
"Kakak, kau di sini?" Han Yan, dengan piyama motif bunga sambil memeluk boneka di tangannya, menyembulkan kepalanya dari balik pintu dan mencari Han Sen.
Melihat Han Sen duduk di kasur, dia pun berlari dan bersandar padanya dengan boneka yang dibawanya.
"Bocah nakal, kenapa kamu masih belum tidur?" Han Sen mencubit hidung mungilnya.
"Yan mau dengar sebuah cerita! Sudah lama sejak kamu menceritakanku sesuatu, dan aku kangen sekali padamu sejak kau pergi." Han Yan menatap Han Sen dengan berlinang air mata.
Han Sen menghela nafas diam-diam. Sejak dia lulus dan memasuki Tempat Suci Para Dewa, dia hampir tidak punya waktu untuk adiknya, dan dia merasa bersalah mengenai itu.
"Aku akan menceritakan sebuah cerita untuk Yan sekarang." Han Sen memangku Han Yan sambil membuka buku cerita dan membaca dengan lembut, "Pada suatu ketika..."
Setelah Han Sen kembali dari Tempat Suci Para Dewa, dia memutuskan untuk menangkap makhluk primitif untuk makanan, yang dengan dahsyatnya, akan berubah menjadi mutan dalam setengah bulan.
Tapi han Sen lebih penasaran untuk mengetahui berapa lama waktu yang diperlukan agar mereka menjadi makhluk berdarah sakral yang sebenarnya dia sangat butuhkan.
Masih tergolong mudah untuk berburu makhluk mutan liar, tapi hampir mustahil untuk berburu uang berdarah sakral. Contohnya sang Pembantai Berdarah: dia tidak mungkin bisa membunuhnya jika tidak sudah terluka parah karena Anak Surga.
Saat Han Sen meninggalkan ruangannya, dia ditarik oleh seseorang.
Han Sen menoleh dan melihat Han Hao yang menariknya ke tempat sepi. Setelah memastikan tidak ada siapa-siapa, Han Hao berkata,"Bisa-bisanya kau membuat masalah! Kau baru sebentar di sini, dan kau berhasil membuat kesal kelompok Qin Xuan dan Anak Surga."
"Aku tidak sengaja," jawab Han Sen santai.
"Masa bodoh. Itu urusanmu sendiri untuk semua kebodohan yang kau lakukan. Kau dilarang untuk bilang kalau aku ini sepupumu ataupun kau mengenalku di depan orang-orang. Aku baru mulai di sini dan punya masa depan yang cerah, dan tidak akan hancur seperti dirimu," kata Han Hao memelototi Han Sen.
"Tentu, aku tidak akan bilang siapapun." Han Sen tahu sepupunya memandangnya rendah sejak dia menjalani pendidikan wajib terintegrasi, dan mustahil dia akan mendukungnya saat ini. Tentu saja karena itu bukan kewajibannya.
"Urusan beres. Jangan bilang kau kenal aku," kata Han Hao pada Han Sen sekali lagi sebelum pergi, khawatir jika ada yang melihat mereka bersama.
Han Sen meninggalkan Penampungan Baju Baja dan pergi ke pegunungan. Dia tidak bermaksud untuk memburu binatang bergigi perunggu lagi karena dia punya cukup daging mereka dan tidak akan memperoleh poin geno primitif darinya lagi. Makhluk primitif lainnya lah yang dia incar. Dia bisa makan beberapa dan membawa yang hidup untuk berevolusi.
Han Sen memilih tempat bernama Gua Barathrum untuk perburuan kali ini. Itu adalah gua terpencil di pegunungan di mana makhluk primitif, kalajengking kristal, tinggal.
Karena begitu gelap dan sempit di dalam Gua Barathrum, bahkan dengan bantuan pencahayaan, kadang masih sulit untuk melihat kalajengking kristal yang tersembunyi di dalam lorong berbatu.
Jika tersengat oleh kalajengking ini, hanya butuh tiga sampai lima menit sebelum seseorang yang poin geno primitifnya penuh untuk mati keracunan.
Karena itulah, sedikit orang yang memilih kalajengking kristal sebagai target mereka. Akan tetapi, dengan baju baja kumbang besi, kecil resiko Han Sen karena tidak mungkin kalajengking kristal melukainya.
Dia memilih kalajengking kristal karena, pertama, mudah baginya untuk bersembunyi dari orang lain di dalam gua. Kedua, kalajengking kristal hanya sebesar kepalan tangan, jadi mudah untuk membawanya kembali, tidak seperti buruan besar yang sulit untuk dipindahkan. Ketiga, jika dia bisa memperoleh jiwa binatang kalajengking kristal, dia akan kaya raya, karena mereka adalah senjata seperti pisau tentara yang beracun dan sangat tajam. Sebagai jiwa binatang primitif, harganya sama tingginya dengan jenis mutan.
Di mulut gua, Han Sen memastikan bahwa dia sendirian dan memanggil baju bajanya, lalu memasuki Gua Barathrum dengan siaga.
Karena alat pencahayaan moderen tidak berfungsi di Tempat Suci Para Dewa, Han Sen membawa obor buatannya supaya dia bisa melihat beberapa langkah di depannya. Dengan mika pada batu yang memantulkan cahaya, dia agak sulit melihat kalajengking yang bersembunyi.
Ting!
Han Sen merasakan pukulan di kakinya. Dia menunduk dan melihat kalajengking berwarna biru gelap sebesar kepalan tangannya menyengat dirinya dengan ekornya.