Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Where the Worlds Ends and Born

🇮🇩Nobel_Nizam
--
chs / week
--
NOT RATINGS
144
Views
Synopsis
Putih dan Hitam. Cahaya dan Kegelapan. Baik dan Jahat. Bagaimana takdir mereka yang sesungguhnya?
VIEW MORE

Chapter 1 - Prolog

Kegelapan. Kekosongan. Tanpa suara. Tak ada waktu, tak ada ruang. Kesunyian yang tak berujung.

Menyaksikan segalanya. Alam semesta yang bermula dari kehampaan, cahaya yang pertama kali menyala, bintang-bintang yang lahir dan mati, kehidupan yang tumbuh dan musnah.

Tidak perlu dijelaskan, karena tidak ada yang tidak tahu.

Namun…

Keseimbangan telah runtuh. Moralitas manusia tergerus hingga abu. Maka takdir telah ditetapkan dari awal. Dunia ini telah mencapai akhirnya.

—

Di suatu malam yang tenang, di dalam sebuah kamar sederhana, seorang pemuda berbaring dalam tidurnya.

Yohan, demikian ia dipanggil. Hatinya bersih, tekadnya teguh, meski dunianya semakin tenggelam dalam kebusukan. 

Di malam itu, matanya terbuka tanpa sebab, dan di tepi kasur, seseorang telah mendudukinya.

"Yohan… kau sudah bangun?"

Sosok itu tak bisa dikategorikan sebagai lelaki maupun perempuan. Parasnya begitu sempurna, terlalu indah, terlalu mempesona hingga seakan melampaui konsep gender. 

Jubah putihnya berpendar lembut, bercahaya namun tak menyilaukan. Rambutnya hitam pekat, panjang, dan jatuh dengan anggun.

Tetapi, yang paling mencolok adalah matanya—hitam seperti kehampaan, namun di dalamnya, bintang-bintang kecil berputar seakan menyimpan seluruh tata surya.

Yohan merasakan sesuatu yang aneh. Tidak ada ketakutan, tidak ada kecemasan. Justru, kehangatan mengalir dalam dirinya, seolah sosok di hadapannya adalah bagian dari keluarganya sendiri.

"Yohan?" suara itu terdengar lembut, menenangkan, namun ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan dalam intonasinya. Sesuatu yang lebih tua dari waktu itu sendiri.

"Maaf, siapa... Anda?" Yohan bertanya, bukan dengan rasa takut, tetapi dengan rasa bingung seakan dirinya melupakan sesuatu yang penting. Sosok itu hanya tersenyum.

Tiba-tiba, ruangan melipat dirinya seperti origami. Terbuka alam semesta, tidak ada pergerakan, hanya angkasa. Seperti menyalakan layar, pemandangan yang luar biasa luas terbentang di hadapan Yohan.

Bintang-bintang tak terhitung jumlahnya bermekaran di kehampaan, membentuk gugusan tak terbayangkan. Dunia-dunia, galaksi, dimensi, dan sesuatu yang lebih besar dari itu semua.

"Ini... semesta?" bisiknya, terpana oleh keindahan yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

"Bukan hanya satu. Yang kau lihat adalah semua."

"S–semu–aa?!" semuanya terasa terbang dari pandangan Yohan. 

Menyaksikan segalanya. Gedung tinggi buatan manusia, kota dan jalannya, perlahan runtuh tertelan planetnya sendiri. 

Bintang meledak memancarkan cahaya yang gila. Ruang melengkung dan membengkok, berputar seperti roda raksasa yang tak terhingga kemudian retak dan pecah bagaikan cermin jatuh.

Di depan mata Yohan, dimensi-dimensi bergeser seperti tirai teater. Ia melihat lautan cahaya yang berdenyut seperti denyut jantung, menciptakan pola-pola geometris yang tak terhingga. 

Ada juga ruang gelap yang tak berujung, diisi oleh suara-suara samar yang berbisik dalam bahasa yang tak pernah ia dengar sebelumnya.

Waktu yang melipat diri, masa lalu dan masa depan yang berbaur menjadi satu. Ia melihat dirinya sendiri sebagai bayangan samar—versi-versi lain dari dirinya yang bisa saja ada jika ia membuat pilihan yang berbeda.

Menyaksikan segalanya seolah ia melakukan perjalanan kosmik jutaan tahun lamanya dan berakhir begitu saja seolah hanya sebuah mimpi.

"Aku—tidak mengerti…" Yohan mencoba mencerna kegilaan yang ia saksikan.

Suara itu tertawa kecil, bukan tawa yang mengintimidasi, "Tentu saja. Tidak ada yang bisa benar-benar mengerti. Bahkan mereka yang telah hidup selama miliaran tahun pun masih mempertanyakan keberadaan mereka."

Yohan mengalihkan pandangannya ke sumber suara itu. Dan di sanalah ia berdiri, di tengah ruang, menatap dengan hangat seperti melihat bayi.

Yohan sadar, dia bukan manusia. Bola mata sosok itu berpendar seperti nebula yang terus berubah warna, seakan berisi jutaan bintang di dalamnya. 

Ia tidak memiliki bayangan, dan tubuhnya terasa terlalu nyata—seakan realitas itu sendiri berpusat pada keberadaannya. 

Tanpa disadari Yohan menatapnya dengan mata yang sama.

—

Di sisi lain dunia, di sebuah gang sempit yang berbau anyir darah, seorang pria berdiri di atas tubuh yang baru saja ia bunuh. Tangannya penuh noda merah, tapi ekspresinya tetap datar seakan tidak puas. 

Morgan, manusia yang sudah terlalu lama tenggelam dalam kebencian dan kekacauan.

Lalu, ia merasakan sesuatu.

Bukan ancaman. Bukan ketakutan. Tapi kehadiran. Di ujung gang yang gelap, seseorang berdiri.

Rambut hitam panjang. Jubah putih bercahaya. Mata hitam yang pekat dan asing.

Morgan merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya—dorongan untuk menyerang tanpa berpikir. Tidak ada peringatan, tidak ada basa-basi.

Ia mengangkat pisaunya dan melemparnya dengan kecepatan mengerikan, tepat ke arah jantung sosok itu.

Pisau itu melesat jauh, menembus begitu saja, lalu jatuh ke tanah.

Morgan menyipitkan mata. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia menghadapi sesuatu yang tidak bisa ia bunuh begitu saja.

"Morgan…" suara itu terdengar ramah, nyaris seperti berbicara dengan teman lama.

Morgan hendak menggerakkan tangannya lagi, tetapi sebelum ia bisa bereaksi, matanya tiba-tiba terasa terbakar.

Ia menegang. napasnya terhenti.

Cermin kaca yang retak di belakangnya memantulkan sesuatu yang membuatnya terdiam. Realitas tak terbatas. Rasa sakit membakar matanya yang menghitam, mengeluarkan darah seakan menangis kesakitan.

Bintang-bintang berputar di dalamnya, tata surya dan alam semesta, kegelapan dan lubang hitam seolah menari mengukir matanya. Teriakan mengudara, menahan sakit yang tak terbayangkan.

Sang sosok tersenyum tipis lalu menghilang begitu saja.

Dunia berputar, menuju kehancurannya.

—