Chereads / Where the Worlds Ends and Born / Chapter 3 - Chapter 2

Chapter 3 - Chapter 2

"Kita bisa bicarakan ini baik-baik!" kata seorang pria tua gemuk yang tak berdaya, ketakutan terukir jelas di wajahnya yang penuh lemak. 

Sosok di hadapannya mengangkat pistol dan mengarahkannya ke pria gemuk itu.

"Aku takut tidak ada pembicaraan yang baik malam ini," jawab sosok itu diakhiri dengan seringai yang muncul dari kegelapan ruangan. 

"Morgan… tunggu—" pistol itu mengeluarkan asapnya, dan jas hitam yang dikenakan pria gemuk itu mulai mengeluarkan cairan merah, mengalir menyelimuti tubuh gemuknya seperti sungai.

Tak hanya si pria gemuk itu, ruangan tersebut dipenuhi banyak pria berjas hitam, tubuh mereka terciprat darah yang tak karuan, seolah darah adalah seni. 

Di tengah semua itu, sosok tersebut berdiri tegak, pistolnya masih digenggam erat, di tengah ruangan penuh mayat. 

Mantel hitamnya tak ternodai sedikit pun, sementara rambutnya hitam keunguan tampak bergerak lembut oleh angin yang datang dari terbukanya jendela.

Morgan, sosok yang sudah lama tenggelam dalam kegelapan dunia. Manusia yang membuang harapannya. 

Larut dalam kehampaan yang tak terasa lagi. Membunuh hatinya sendiri, menyerahkannya pada kegilaan. Menodai tangannya demi kebencian, menajamkan matanya demi kekacauan.

Sepanjang hidupnya hanya untuk membunuh. Awalnya hanya kesenangan sesaat, seperti mengkonsumsi obat-obatan. 

Namun, ia menyadari hidup di atas dunia yang kacau, berputar hanya untuk uang dan kesenangan. 

Sampai akhirnya ia sadar, wajahnya menjadi buronan. Kotanya menganggap seseorang yang seperti itu berbahaya—membunuh untuk uang dan kesenangan semata. Morgan, itulah dia.

Hari demi hari, Morgan semakin mengerti satu hal.

Dirinya semakin kuat. Seakan tak tersentuh. Semua musuhnya tak berdaya. Adrenalin mengalir deras di setiap pembuluh darahnya, seolah berkata 'lagi, lagi, lagi' tanpa henti. 

Morgan bertanya-tanya, obat jenis apa yang ia konsumsi.

Seluruh kota mengincarnya. Wajar saja, ia baru saja membunuh pejabat kota dan seluruh penjaganya. 

Namun, sekarang jalan-jalan di tengah kota terasa seperti akan pergi piknik di taman.

Sirene berteriak kencang, menyelimuti suasana tengah malam kota. Tak sedikit orang yang terbangun, penasaran dengan apa yang sedang terjadi. 

Tak lama, para tentara bersenjata lengkap mengepung Morgan, mengarahkan laser merah ke arahnya.

"Menyerah atau mati!" teriak seorang tentara melalui pengeras suara. 

Mobil bersenjata lengkap berdatangan, helikopter tempur mengarah dengan lampu sorot tajam, menciptakan suasana yang mencekam, seakan ini adalah fenomena yang serius.

Morgan mengangkat kepalanya, menatap bulan dengan matanya yang memancarkan cahaya semesta. Rambutnya terhembus angin malam, terlihat bintik merah di dahinya bersinar seperti tanda bahaya. 

Namun, Morgan tidak gentar. Ia melebarkan kedua tangannya, seolah siap menjadi sayap untuk menantang takdir.

"Untuk-Nya, oh—Tuhan, wahai—kematian!" teriak Morgan, dengan senyum lebar yang mengerikan.

Suaranya menggema di tengah keheningan malam, seolah menantang langit untuk menghentikannya.

Peluru bertebangan melubangi tubuhnya. Darahnya membanjiri tempat ia berdiri, tetapi Morgan tidak jatuh.

Rasanya seperti setiap peluru yang menembus tubuhnya hanya menambah kekuatannya. Dia tertawa, suaranya menggema di tengah kekacauan. 

"Apakah ini yang kalian punya?" teriaknya, menantang tentara yang mulai ragu.

Namun, di balik senyumnya, ada sesuatu yang kosong. Matanya yang berbinar tidak yakin mencerminkan kegembiraan atau kebencian, atau mungkin hanya kehampaan semesta.

Dengan cepat, Morgan mengambil dua pistol dari balik mantelnya dan menembak keduanya dengan tangannya yang sangat mahir. 

Seketika medan perang terjadi.

Peluru bertebangan, namun Morgan seolah tidak bisa mati meski peluru bersarang di tubuhnya, sementara para tentara itu mati satu per satu.

Namun, tentara jelas unggul dalam jumlah dan persenjataan. Morgan tak peduli, ia berpikir hanya perlu membunuh semuanya.

Peluru terus menghujani malam itu, hingga akhirnya helikopter tempur mengudara, tank tempur mendekat ke arah Morgan.

Merasa kedua pistolnya sudah tidak berguna, Morgan tanpa pikir panjang melemparkannya sekuat tenaga tepat ke arah kedua kokpit helikopter tempur itu.

Pistol itu berputar kencang seperti roda, menembus besi hingga tengkorak kepala pengemudi. Jatuh dan meledak di tengah kota, helikopter tempur canggih pun tidak bisa menghentikan Morgan.

Namun, alih-alih merasa menang, salah satu tank tempur menyeruduk Morgan. Mendudukinya seperti gajah, seketika sunyi, tentara merasa sosok gila itu mati mengenaskan.

Tanpa disadari, tank tempur itu terbelah menjadi dua bagian dengan dramatis, seolah terpotong sempurna. 

Di tengahnya, terlihat sosok Morgan dengan sebuah katana sepanjang tubuhnya, memegangnya dengan lengan kanan di atas kepalanya, menunjukan bilah katana yang tajam meruncing ke bawah. Ia menyeringai.

"S—sejak kapan ia mengeluarkan pedang?!" terkejut salah satu tentara, menyaksikan kegilaan dengan matanya sendiri, mulai merasa putus asa dengan sosok yang dihadapi.

Hujan peluru kembali menderu, tentara frustrasi. Seolah itulah satu-satunya harapan mereka. 

Di tengah hujan peluru yang menderu, di mata Morgan waktu terasa seperti berhenti. Setiap butiran peluru yang melesat menuju tubuhnya tampak bergerak dengan lambat, mengungkapkan detail yang sebelumnya tak terlihat—percik cahaya dari peluru yang memantul di gelombang udara, jejak-jejak asap yang membubung tinggi.

Dengan konsentrasi luar biasa, matanya yang tajam terfokus pada titik-titik peluru yang semakin dekat.

Katana-nya terangkat dengan gerakan penuh ketenangan, waktu seakan melambat. Katana berkilau dalam cahaya samar, siap memotong segala yang menghadang.

Pada detik yang menegangkan, katana itu menyentuh peluru pertama.

Dengung halus terdengar saat baja tajam dan peluru bertemu, menghasilkan percikan kecil yang terlihat jelas di udara yang berat.

Katana memotong peluru itu dengan presisi yang sempurna, mengubah jalurnya menjadi dua bagian yang terpisah, masing-masing meluncur ke sisi yang berbeda.

Gerakan Morgan semakin halus, tubuhnya meluncur dengan ketenangan, memotong peluru satu per satu. 

Setiap gerakan pedangnya terlihat begitu mulus, seolah-olah ia menyentuh udara, mengarahkan bilah katana ke arah yang tak terduga, memotong hujan peluru dengan sempurna.

Adrenalin memompa cepat, darah yang mendidih dalam dirinya berbisik, 'Kurang! Lagi! Lagi! Lagi!' Perlahan gerakannya meningkat, semakin cepat, tak terkendali.

Peluru besar mendekat, keluar dari laras panjang tank tempur. Katana menyapu dengan kecepatan tinggi, memotongnya menjadi dua bagian yang meluncur keluar dari jalurnya, jatuh ke tanah dengan kelembutan.

Seakan dunia ini hanya ada untuk membiarkan pedangnya bergerak.

Di sudut pandang orang lain, Morgan hanya seperti berusaha menangkis hujan peluru itu dengan katana-nya, seperti menari di tengah malam.

Tanpa disadari, kesunyian datang kembali. Hujan peluru terhenti, para tentara tergenang darah, tank tempur terbelah menjadi beberapa bagian, gedung-gedung di sekitar hancur. Pemandangan yang mengerikan di malam hari.

Tak lama, pasukan tentara kembali berdatangan, menyerahkan nyawanya.

Mobil bersenjata lengkap, tank tempur, helikopter tempur, menghampiri sosok ancaman militer di tengah kota itu.

Mereka berdatangan seperti semut, seolah tiada habisnya.

Morgan mulai bersiul, katana-nya siap menebas apapun. Merasa ini benar-benar perjalanan piknik yang menyenangkan. Siulannya menandakan dirinya santai, mulai terbiasa dengan kekuatannya.

Malam itu sunyi, panorama yang mengerikan.

Tidak ada tanda-tanda kehidupan, hanya kehancuran yang menguasai. 

Kecuali bagi sosok yang duduk di tengahnya, di bawah sinar rembulan yang menerangi kengerian kota mati. Ia hanya memandang bulan, larut dalam kehampaan yang mencekam.

"Ya—ampun, apa yang telah kau lakukan, bro?" tanya seorang lelaki yang tiba-tiba muncul di belakangnya, terlihat seperti petualang dengan barang-barang aneh tergantung di tas carrier-nya.

Morgan menoleh ke arah lelaki itu, memegang erat katana-nya. "Siapa kau?" tanyanya dengan nada dingin.

Lelaki itu mengangkat ekspresi seperti sedang menyadari sesuatu. 

"Aku Peace, hanya seorang yang cinta damai. Haha, kau tahu itu, bro? Peace—" jawabnya sambil mengangkat dua jari dengan santai.

Morgan tak sabar, melancarkan tebasan secepat kilat yang bahkan tak terlihat. Bilah katana seolah tidak melesat keluar dari sarungnya, tapi lelaki itu tidak terluka sedikit pun.

Morgan merasa jengkel, tapi semakin ia mencoba, semakin sadar ia bahwa lelaki bernama Peace ini adalah ancaman besar baginya.

Tak lama, Morgan berdiri kembali dan mencoba menebasnya dengan lebih kuat. Dengan cepat, Peace menangkap bilah katana itu hanya dengan dua jemari kurusnya.

"Peace—siapa namamu?" tanya Peace dengan nada yang seolah memohon kedamaian, sekaligus mengejek Morgan. 

Katana yang tertahan di tangan Peace tiba-tiba berbunyi retak dan pecah seperti kaca. Morgan terkejut, namun segera tersenyum, mengikuti nalurinya.

"Morgan. Senang bertemu denganmu, Peace." jawabnya sambil menatap tajam.

"Oh, Morgan. Baiklah, sepertinya aku harus pergi," balas Peace sambil melirik jam tangannya, tampak tergesa-gesa.

"Tunggu—" Morgan mencoba menahannya.

"Lihat! Ada alien!" jawab Peace sambil menunjuk ke arah langit malam.

Morgan menoleh, mencari arah jari yang ditunjuk. Namun, yang tampak hanyalah kegelapan malam, dengan bintang dan bulan yang memantulkan cahaya indahnya. 

Ketika ia memutar kembali lehernya, lelaki aneh itu sudah hilang tanpa jejak, meninggalkan seribu pertanyaan di kepala Morgan.