Lampu-lampu disko berputar, memantulkan cahaya warna-warni ke seluruh ruangan. Dentuman musik elektronik menggetarkan lantai, menciptakan energi yang menggairahkan. Arya berdiri di tengah kerumunan, gelas berisi sampanye di tangannya, senyum lebar menghiasi wajahnya. Malam ini adalah malam perayaan. Film terbarunya, "Senja di Jakarta", baru saja dirilis, dan sambutannya luar biasa.
Film pertamanya, sebuah drama eksperimental yang ambisius, memang kurang berhasil di pasaran. Namun, "Senja di Jakarta", sebuah film drama romantis yang mengambil latar hiruk pikuk kota metropolitan, ternyata berhasil menyentuh hati penonton. Ulasan positif berdatangan dari berbagai media, dan tiket bioskop terjual habis di mana-mana.
Arya merasa lega dan bahagia. Ia akhirnya membuktikan bahwa ia bukan hanya sutradara film festival, tetapi juga mampu membuat film yang disukai banyak orang. Ia mengangkat gelasnya, bersulang dengan para kru dan pemain filmnya yang berkerumun di sekelilingnya.
"Untuk 'Senja di Jakarta', untuk kesuksesan kita semua!" seru Arya, suaranya hampir tenggelam dalam dentuman musik.
Sorak sorai dan tepuk tangan menggema di ruangan. Arya melihat wajah-wajah bahagia para pemain dan kru filmnya, wajah-wajah yang telah bekerja keras bersamanya selama berbulan-bulan. Ia merasakan kebanggaan yang luar biasa.
Malam itu, Arya larut dalam pesta. Ia menari, tertawa, dan bercakap-cakap dengan semua orang. Ia merasa seperti berada di puncak dunia. Ia bahkan sempat bertemu dengan beberapa penggemar yang datang untuk mengucapkan selamat.
Namun, di tengah hingar bingar pesta, Arya merasakan ada sesuatu yang hilang. Ia melihat sekelilingnya, mencari seseorang. Matanya tertuju pada seorang wanita yang berdiri di sudut ruangan, sendirian. Wanita itu adalah Maya, pemeran utama dalam filmnya.
Maya adalah seorang aktris muda berbakat dengan mata yang indah dan senyum yang menawan. Ia telah memberikan penampilan yang luar biasa dalam film Arya, menghidupkan karakter yang kompleks dan penuh emosi. Namun, malam ini, ia terlihat murung dan tidak bersemangat.
Arya menghampirinya, merasa penasaran.
"Maya, kenapa kamu sendirian di sini?" tanya Arya.
Maya menoleh, tersenyum tipis. "Aku hanya sedang menikmati musik," jawabnya.
Arya tahu ada sesuatu yang mengganggunya. Ia duduk di samping Maya, menatapnya dengan lembut.
"Ada apa, Maya? Kamu terlihat sedih," kata Arya.
Maya menghela napas, menatap Arya dengan mata berkaca-kaca.
"Aku... aku merasa kesepian," katanya. "Aku merasa seperti orang asing di tengah keramaian ini."
Arya terkejut. Ia tidak menyangka Maya, seorang aktris yang dikagumi banyak orang, merasa kesepian. Ia merangkul Maya, mencoba menghiburnya.
"Kamu tidak sendirian, Maya," kata Arya. "Kamu punya aku, punya kita semua."
Maya menatap Arya, air mata mengalir di pipinya. "Terima kasih, Arya," katanya. "Kamu adalah teman terbaikku."
--
Lampu disko terus berputar, menciptakan lautan cahaya yang memantul dari pakaian gemerlap para tamu. Arya, dengan senyum kemenangan masih terpampang di wajahnya, berkeliling tempat dansa, menghampiri satu per satu anggota timnya. Ucapan selamat dan rasa terima kasihnya mengalir bebas, menciptakan suasana keakraban dan kebahagiaan.
Di tengah kerumunan, matanya tertuju pada seorang gadis yang berdiri agak menyendiri. Gadis itu menatapnya dengan pandangan genit, seolah berusaha menarik perhatiannya. Arya, yang baru saja meraih kesuksesan, merasa percaya diri dan tertarik. Ia mendekati gadis itu, yang berpakaian minim dan terlihat sangat menawan.
"Sepertinya kita pernah bertemu," sapa Arya, mencoba mengingat di mana ia pernah melihat wajah itu.
Gadis itu tersenyum misterius. "Siapa coba?" jawabnya, suaranya menggoda.
Arya mengerutkan kening, berusaha mengingat. "Siapa ya? Apa kita pernah bertemu di lokasi syuting?"
"Mungkin," jawab gadis itu, matanya berbinar. "Aku Aruna, figuran di filmmu."
Arya terkejut. Ia ingat beberapa adegan yang melibatkan figuran, tetapi wajah Aruna tidak familiar baginya. Ia merasa sedikit malu karena tidak mengenalinya, tetapi ia juga tertarik dengan aura misterius gadis itu.
"Aruna?" kata Arya, mencoba mengingat. "Maaf, aku tidak terlalu ingat. Tapi kamu terlihat berbeda malam ini."
"Tentu saja," kata Aruna, tersenyum lebar. "Malam ini aku bukan figuran. Aku Aruna."
Arya tertawa, terpesona dengan kepercayaan diri gadis itu. "Baiklah, Aruna. Senang bertemu denganmu."
"Senang bertemu denganmu juga, Arya," jawab Aruna. "Selamat atas kesuksesan filmmu."
"Terima kasih," kata Arya. "Kamu menikmati pestanya?"
"Tentu saja," jawab Aruna. "Apalagi setelah bertemu denganmu."
Arya tersenyum, merasa tersanjung. Ia merasa ada sesuatu yang menarik dari Aruna, sesuatu yang membuatnya penasaran. Mereka mulai mengobrol, dan Arya merasa semakin tertarik dengan gadis itu. Ia merasa seperti menemukan sesuatu yang baru, sesuatu yang berbeda dari dunia perfilman yang ia kenal.
--
Arya, dengan senyum menggoda, mendekati Aruna. "Aruna," panggilnya, suaranya sedikit serak. "Aku punya ide bagus untukmu."
Aruna menoleh, mengangkat alisnya dengan tatapan ingin tahu. "Ide apa?" tanyanya.
"Ide tentang peran," bisik Arya, mendekatkan bibirnya ke telinga Aruna. "Peran yang akan membuatmu bersinar."
Aruna tersenyum, merasa tertarik dengan tawaran Arya. "Kedengarannya menarik," katanya. "Tapi aku tidak bisa membicarakan ini di sini. Terlalu ramai."
"Tentu saja," kata Arya, matanya berbinar. "Bagaimana kalau kita pergi ke tempat yang lebih tenang? Tempat di mana kita bisa bicara lebih leluasa."
Aruna mengangguk setuju, merasa ini adalah kesempatan yang sempurna. "Ide bagus," katanya. "Aku tahu tempat yang cocok."
Arya meraih tangan Aruna, menggenggamnya erat. "Kalau begitu, ayo kita pergi," katanya.
Mereka berdua meninggalkan keramaian pesta, menuju ke tempat yang lebih pribadi. Arya, dengan rayuan halusnya, berusaha meyakinkan Aruna tentang potensi peran yang ia tawarkan. Sementara Aruna, dengan pesona dan kecerdasannya, berusaha memanfaatkan situasi ini untuk keuntungannya sendiri.
--
Sesampainya di apartemen
Pintu apartemen Arya tertutup rapat, mengisolasi mereka dari gemerlap malam kota. Aruna, meskipun sadar bahwa dirinya sedang dimanfaatkan, tidak menunjukkan keberatan. Ia justru merangkul pinggang Arya, membimbingnya menuju kamar tidur dengan langkah anggun.
Sesampainya di kamar, Aruna melepaskan rangkulannya dan menatap Arya dengan tatapan polos. "Kenapa kita di sini?" tanyanya, seolah tidak mengerti.
"Di sini lebih privat," jawab Arya, suaranya serak. "Kita bisa bicara lebih leluasa tentang peran itu."
Aruna mengangguk, pura-pura menerima alasan Arya. Ia duduk di tepi sofa, memperhatikan Arya dengan seksama. "Baiklah," katanya. "Jadi, peran seperti apa yang kamu bayangkan?"
"Sebentar," kata Arya, berjalan menuju minibar. "Aku ambilkan minuman dulu."
Aruna memanfaatkan kesempatan itu untuk pergi ke kamar mandi. Ia menatap dirinya di cermin, memperbaiki riasannya yang sedikit berantakan. Ia tahu persis apa yang sedang terjadi, dan ia tidak keberatan untuk bermain dalam permainan ini. Ia adalah wanita yang tahu apa yang diinginkannya, dan ia tidak akan membiarkan kesempatan ini berlalu begitu saja.
Ia keluar dari kamar mandi, melihat Arya sedang menuangkan minuman ke dalam gelas. Ia berjalan mendekati Arya, tersenyum menggoda. "Jadi, Arya," katanya, suaranya lembut. "Ceritakan padaku tentang peran itu."