Chereads / Sang Sutradara / Chapter 5 - Baracuda

Chapter 5 - Baracuda

Keesokan harinya, Arya melangkahkan kakinya memasuki Cafe Baracuda. Matanya menyapu sekeliling ruangan, mencari sosok yang ditunggunya. Di salah satu sudut kafe, ia melihat seorang wanita duduk dengan anggun, menyesap kopi dengan tenang. Wanita itu adalah Aruna.

Arya tertegun sejenak. Aruna tampak begitu berbeda dari malam pertama mereka bertemu. Ia tidak lagi mengenakan pakaian minim yang menggoda, tetapi pakaian kasual yang elegan. Auranya tetap memikat, tetapi dengan cara yang lebih lembut dan berkelas.

Arya menghampiri Aruna, senyum tipis menghiasi wajahnya. "Hai," sapanya, berusaha menyembunyikan rasa penasarannya.

Aruna mendongak, tersenyum menyambut Arya. "Hai," balasnya. "Maaf membuatmu menunggu. Aku datang lebih awal, takut terjebak macet."

Arya merasa lega. Aruna ternyata orang yang tepat waktu, bahkan lebih dari itu. Ia datang sebelum dirinya datang. Sebuah sikap yang menunjukkan kedisiplinan dan rasa hormat yang tinggi.

--

Aruna tersenyum lembut pada Arya, menyapa dengan nada ramah, "Hai, apa kabar?"

"Aku baik," jawab Arya, matanya menatap Aruna penuh selidik. Ia tidak ingin membuang waktu, langsung menyerang dengan pertanyaan yang mengganjal hatinya. "Kamu ke mana waktu itu?"

Aruna menghela napas, seolah sudah menduga pertanyaan itu akan datang. "Aku harus bekerja," jawabnya singkat.

"Hari Minggu?" tanya Arya, mengerutkan kening. Ia ingat betul hari itu adalah hari libur.

"Ya," jawab Aruna, tanpa menjelaskan lebih lanjut.

"Kerja apa?" tanya Arya, rasa penasarannya semakin besar.

"Tidak penting," jawab Aruna, berusaha mengalihkan pembicaraan.

Arya tidak menyerah. Ia ingin tahu lebih banyak tentang Aruna, tentang kehidupannya yang misterius. "Aku penasaran," katanya, suaranya lembut namun penuh ketegasan. "Coba ceritakan."

--

Aruna menghela napas panjang, seolah berat untuk menceritakan tentang pekerjaannya. "Aku... aku seorang sales alat berat," ucapnya perlahan. "Alat berat macam... excavator, forklift, dan lain-lain."

Arya mengangkat alisnya, sedikit terkejut. "Wow... perusahaan terkenal?" tanyanya.

Aruna menggelengkan kepala. "Tidak," jawabnya, suaranya terdengar lelah. "Aku hanya bekerja di agen pemasaran saja. Bisa dibilang... makelar."

"Sudah dua tahun aku bekerja," lanjut Aruna, menatap kopinya dengan tatapan kosong. "Dan itu melelahkan. Bukan karena pekerjaannya yang berat, tapi... godaan dari para klien nakal. Mereka selalu meminta 'yang lain-lain' atas deal sebuah transaksi."

Arya mengerti maksud Aruna. Ia merasa kasihan pada wanita di hadapannya. Ia tahu, di dunia bisnis yang keras, tidak semua orang bermain jujur. Dan Aruna, dengan paras cantik dan tubuh yang menawan, pasti sering menjadi sasaran godaan para pria hidung belang.

"Kamu pasti mengalami banyak hal buruk," ucap Arya, suaranya lembut.

Aruna mengangguk pelan, air mata menggenang di pelupuk matanya. "Kamu tidak tahu seberapa menjijikkannya dunia ini," bisiknya, suaranya bergetar.

--

Aruna menghela napas panjang, seolah berat untuk menceritakan tentang pekerjaannya. "Aku... aku seorang sales alat berat," ucapnya perlahan. "Alat berat macam... excavator, forklift, dan lain-lain."

Arya mengangkat alisnya, sedikit terkejut. "Wow... perusahaan terkenal?" tanyanya.

Aruna menggelengkan kepala. "Tidak," jawabnya, suaranya terdengar lelah. "Aku hanya bekerja di agen pemasaran saja. Bisa dibilang... makelar."

"Sudah dua tahun aku bekerja," lanjut Aruna, menatap kopinya dengan tatapan kosong. "Dan itu melelahkan. Bukan karena pekerjaannya yang berat, tapi... godaan dari para klien nakal. Mereka selalu meminta 'yang lain-lain' atas deal sebuah transaksi."

Arya mengerti maksud Aruna. Ia merasa kasihan pada wanita di hadapannya. Ia tahu, di dunia bisnis yang keras, tidak semua orang bermain jujur. Dan Aruna, dengan paras cantik dan tubuh yang menawan, pasti sering menjadi sasaran godaan para pria hidung belang.

"Kamu pasti mengalami banyak hal buruk," ucap Arya, suaranya lembut.

Aruna mengangguk pelan, air mata menggenang di pelupuk matanya. "Kamu tidak tahu seberapa menjijikkannya dunia ini," bisiknya, suaranya bergetar.

--

Arya, yang merasa tersentuh dengan kisah Aruna, tiba-tiba memiliki ide brilian. Ia ingin mengangkat pamor Aruna, memberinya kesempatan untuk keluar dari dunia kelam yang selama ini membelenggunya.

"Aku punya ide," ucap Arya, matanya berbinar. "Bagaimana kalau kamu menjadi pemain utama di filmku selanjutnya?"

Aruna terkejut mendengar tawaran Arya. Ia tidak percaya seorang sutradara terkenal seperti Arya ingin memberinya kesempatan emas seperti itu. "Apa? Kamu serius?" tanyanya, matanya membulat.

Arya mengangguk mantap. "Tentu saja," jawabnya. "Kamu memiliki potensi yang besar, Aruna. Aku yakin kamu bisa menjadi aktris yang hebat."

Namun, Arya juga menyadari bahwa kemampuan akting Aruna masih sangat terbatas. Ia masih amatir, dan belum mampu bermain dalam peran utama. "Tapi, kamu harus banyak berlatih," kata Arya, suaranya lembut namun tegas. "Kamu harus bekerja keras untuk mengasah kemampuan aktingmu."

--

"Oke, sekarang kamu berhenti dari pekerjaanmu," kata Arya, menatap Aruna dengan mantap. "Lalu, kamu mulai kerja bareng aku."

Aruna terkejut mendengar perkataan Arya. "Hah?" tanyanya, matanya membulat. "Jika aku berhenti sekarang, bagaimana dengan penghasilanku? Aku harus membayar biaya kos dan makan. Aku khawatir tabunganku belum cukup sampai ada proyek film lagi."

Arya tersenyum meyakinkan. "Tenang," katanya, suaranya lembut. "Kebutuhanmu akan aku cukupi untuk sementara waktu, sampai aku mencarikan film untukmu."

Aruna menatap Arya dengan tatapan ragu. Ia merasa tawaran Arya terlalu bagus untuk menjadi kenyataan. Namun, ia juga merasa tergiur dengan kesempatan emas yang ada di hadapannya. Ia tahu, bekerja sebagai pemain film adalah impiannya sejak lama.

Aruna menimbang-nimbang tawaran Arya. Di satu sisi, ia takut kehilangan penghasilan tetapnya. Di sisi lain, kesempatan untuk mengubah hidupnya terlalu menggiurkan untuk dilewatkan. Ia menatap Arya, mencari keyakinan di matanya.

"Baiklah," ucap Aruna akhirnya, suaranya sedikit bergetar. "Aku setuju."

Arya tersenyum lebar, merasa lega dan senang. "Bagus," katanya. "Mulai besok, kamu akan menjadi bagian dari timku."

--

"Ayo, kita pergi ke kantor sekarang," kata Arya, berdiri dari tempat duduknya. Ia ingin segera memulai proyek mereka, dan mengenalkan Aruna kepada timnya.

Aruna mengangguk, mengikuti langkah Arya keluar dari kafe. Ia merasa sedikit gugup, tetapi juga bersemangat. Ia tidak sabar untuk melihat tempat kerjanya yang baru, dan bertemu dengan orang-orang yang akan membantunya mewujudkan mimpinya.

Sepanjang perjalanan menuju kantor Arya, mereka berdua bercakap-cakap tentang rencana mereka. Arya menjelaskan tentang alur kerja di kantornya, tentang orang-orang yang akan bekerja sama dengan Aruna, dan tentang proyek film mereka yang akan datang. Aruna mendengarkan dengan seksama, berusaha memahami setiap detail yang disampaikan Arya.