Malam yang Mencekam
Setelah telepon dengan Raka, Luna merasa pikirannya semakin kacau. Ia berjalan mondar-mandir di dalam apartemennya, mencoba menenangkan diri.
Apakah ini hanya halusinasi? Atau memang ada sesuatu yang masuk dan keluar dari cermin itu?
Matanya kembali tertuju pada benda yang kini menjadi pusat ketakutannya—cermin tua itu.
Namun, kali ini ia bertekad untuk tidak membiarkan rasa takut menguasainya.
Ia harus memastikan sendiri.
Dengan langkah hati-hati, ia berjalan mendekat. Napasnya terasa berat. Jantungnya berdetak semakin cepat seiring semakin dekatnya ia dengan pantulan dirinya sendiri.
Saat akhirnya ia berdiri tepat di depan cermin… tidak ada yang aneh.
Hanya pantulannya sendiri.
Atau begitu yang ia pikirkan.
Ia mengamati bayangannya dalam-dalam. Mata, hidung, rambut… semua tampak sama.
Hingga… Luna berkedip.
Dan bayangannya tidak ikut berkedip.
Pantulan yang Hidup
Tubuh Luna membeku. Matanya melebar, dadanya berdebar kencang. Ia mencoba menggerakkan tangannya—dan pantulannya tetap mengikuti.
Namun, saat ia berhenti bergerak… pantulannya terus bergerak selama beberapa detik sebelum akhirnya ikut diam.
Seolah-olah… yang ada di dalam cermin bukan dirinya.
Luna langsung mundur selangkah. Tangannya gemetar.
Apa yang barusan ia lihat?
Tapi sebelum ia bisa berpikir lebih jauh… pantulan dalam cermin mulai tersenyum.
Luna tidak tersenyum. Ia sama sekali tidak menggerakkan bibirnya.
Namun, pantulan itu… tersenyum lebar, terlalu lebar.
Dan itu bukan senyuman Luna.
Sosok di Dalam Cermin
Luna nyaris menjerit, namun suara itu tercekat di tenggorokannya.
Pantulannya menatapnya lurus dengan mata kosong.
Dan sebelum Luna bisa bereaksi… bayangan itu perlahan mulai mengangkat tangannya ke cermin.
Tangan itu menekan permukaan kaca, seolah berusaha mendorong sesuatu.
Sret. Sret. Sret.
Terdengar suara goresan halus dari dalam cermin.
Luna membeku. Napasnya tercekat saat ia menyadari pantulannya mulai bergerak sendiri—tanpa mengikuti gerakannya.
Sesuatu di dalam cermin mencoba keluar.
Perlahan, pantulannya menyandarkan wajahnya ke kaca, seolah berusaha menembusnya.
Retakan kecil mulai muncul di tengah cermin.
"TIDAK!" Luna menjerit dan langsung berlari keluar dari kamar.
Ia menutup pintu dengan keras dan menguncinya. Dadanya naik turun, tubuhnya gemetar hebat.
Tapi sebelum ia bisa menarik napas lega…
Tok. Tok. Tok.
Suara ketukan itu kembali terdengar.
Namun kali ini, bukan dari cermin.
Ketukan itu berasal dari balik pintu kamarnya.
Telepon Misterius
Luna menahan napas. Tidak mungkin ada orang di dalam kamar. Ia sendiri yang menutup dan menguncinya!
Tok. Tok. Tok.
Ketukan itu terdengar lagi. Lebih keras. Lebih mendesak.
Luna tidak tahu harus berbuat apa. Tangannya gemetar saat ia meraih ponselnya dan mencoba menghubungi Raka.
Tapi sebelum panggilannya tersambung… layar ponselnya tiba-tiba mati.
"Sial!"
Ia mencoba menyalakannya kembali, tetapi layar hanya menampilkan gangguan statis.
Lalu, suara itu terdengar.
Bzzzzt… shhh… klik.
Dari ponsel yang mati itu, tiba-tiba terdengar suara napas berat.
Luna membeku. Ia tidak sedang melakukan panggilan, tapi ada suara seseorang di ponselnya.
Lalu terdengar bisikan…
"…Kenapa kamu lari?"
Suara itu berasal dari dirinya sendiri.
Luna menatap ponselnya dengan mata membelalak. Suara itu terdengar persis seperti suaranya sendiri.
Bisikan itu semakin lirih, terdengar seperti gumaman lembut.
"Aku sudah di luar… Aku melihatmu…"
Napas Luna tercekat. Di luar?
Tiba-tiba, ia merasakan sesuatu yang membuatnya ingin pingsan seketika.
Dari pantulan layar ponselnya yang gelap…
Ada sosok berdiri di belakangnya.