Hujan deras mengguyur Velmora sore itu, seolah ikut meratapi kepergian kakakku, David Morgan. Kota ini memang selalu muram, tapi hari ini terasa lebih dingin, lebih menyesakkan.
Setiap tetes air yang jatuh ke tanah seperti membawa beban yang tak terungkapkan. Aku berdiri kaku di samping makam David, memandangi batu nisan hitam yang baru saja dipasang. Payung hitam besar melindungiku dari hujan, namun tak mampu menghalau dingin yang menusuk tulang. Semua yang ada di sekitarku terasa kabur, tak jelas, seperti dunia yang memudar seiring dengan kepergian David.
Di sampingku, Adrian, kakak sulung kami, berdiri tegap. Wajahnya tanpa ekspresi, seperti biasa. Namun, aku tahu betul bahwa hatinya hancur sama seperti aku. Kami berdua, meski tak pernah menunjukkan kelemahan, saling memahami rasa sakit yang dalam. Kami adalah dua jiwa yang terikat oleh darah dan kenangan, namun juga terperangkap dalam dunia yang penuh dengan rahasia dan kebohongan.
Pandangan mataku kosong, tetapi pikiranku terus berputar. Terlalu banyak pertanyaan yang belum terjawab. Ini bukan kecelakaan biasa. David tidak akan mati karena rem blong. Ada sesuatu yang lebih gelap, lebih jahat, yang tersembunyi di balik kematiannya. Aku tak bisa begitu saja menerima kenyataan ini. Aku tahu ada seseorang di luar sana yang ingin menghancurkan keluarga kami, dan David hanyalah korban pertama. Kami semua adalah sasaran.
Orang-orang yang datang hanya sekadar formalitas. Mereka datang bukan karena peduli, mereka datang hanya untuk memastikan siapa yang akan mewarisi bisnis keluarga. Aku bisa mendengar bisikan-bisikan tajam mereka di tengah hujan yang deras. "Anak kedua Morgan, mati muda." "Kira-kira siapa yang mewarisi bisnis sekarang?" "Keluarga Morgan akhirnya mulai runtuh." Mereka berbicara seolah-olah kematian David hanyalah sebuah peristiwa biasa, sebuah langkah menuju perubahan yang menguntungkan bagi mereka. Aku mengepalkan tangan, menahan amarah yang memuncak. Mereka tak tahu siapa kami sebenarnya.
"Helena..." suara Adrian memanggil lirih, nyaris tak terdengar di tengah hujan. Aku menoleh, menatapnya dengan mata merah. "Kau yakin ini kecelakaan?" tanyaku pelan, tetapi setiap kata yang keluar dari mulutku seperti pisau yang menusuk dalam-dalam.
Adrian menarik napas dalam-dalam, menatap lurus ke makam David. "Sekarang bukan waktunya, Lena," katanya dengan suara yang tegas, namun ada kelelahan yang jelas terlihat di matanya.
Aku menahan isak. "Lalu kapan? Setelah kita semua mati satu-satu?" tanyaku dengan suara yang mulai bergetar, menahan air mata yang ingin keluar.
Adrian menoleh cepat, menatapku tajam. "Jaga bicaramu," katanya, nadanya tajam, mengandung ancaman yang tak bisa diabaikan. Aku balas menatapnya, sama tajam. "Kau tahu ada yang tidak beres, Adrian. Jangan berpura-pura."
Dia tak menjawab, hanya mengalihkan pandangannya ke kejauhan, seolah-olah mencari jawaban di antara gemerlap lampu kota yang terlihat samar di balik kabut hujan. Kami berdua tahu, ini bukan sekadar soal kehilangan seorang saudara. Ini adalah pertarungan untuk bertahan hidup, untuk menjaga keluarga kami tetap berdiri tegak di tengah segala ancaman yang mengintai.
Tak lama kemudian, acara pemakaman selesai. Kami berjalan menuju mobil hitam keluarga, dikawal dua pria berbadan besar—bodyguard tetap keluarga Morgan. Mereka berjalan dengan langkah mantap, seolah-olah dunia di luar sana hanyalah sebuah permainan yang harus mereka kendalikan. Namun, di dalam mobil, suasana begitu hening. Aku hanya bisa mendengarkan suara tetesan hujan yang menderu di atas atap mobil, berusaha menenangkan pikiranku yang terus terombang-ambing.
Di dalam mobil, aku bersandar di kursi, menatap keluar jendela. Velmora, kota penuh gedung-gedung tinggi dan lampu-lampu neon, terlihat kelabu di bawah hujan. Setiap sudut kota ini menyimpan rahasia yang gelap, dan aku tak tahu lagi siapa yang bisa dipercaya. Selama ini, kami hidup dalam cengkraman kekuasaan dan uang, tetapi semua itu kini terasa seperti ilusi yang hancur berkeping-keping.
Dan dari kaca spion, aku melihat mobil hitam lain mengikuti kami. Ketegangan semakin menggelayuti perasaanku. "Adrian," bisikku waspada.
"Aku tahu," balasnya cepat tanpa menoleh. Tatapan Adrian tetap lurus ke depan, tetapi aku bisa merasakan kekhawatirannya. Dia tahu bahwa ada mata-mata yang mengawasi setiap gerakan kami.
Aku mengepalkan tangan. "Mereka mengawasi kita."
Adrian mendengus pelan, suara tubuhnya yang besar menandakan bahwa ia sudah siap menghadapi apapun. "Biarkan saja. Semakin kau reaktif, mereka semakin menang."
Aku menggeleng. "Aku tidak mau kalah, Adrian. Aku mau tahu siapa yang bunuh David."
Adrian menoleh sekilas, hanya memberi pandangan yang tajam. "Jangan cari mati, Lena."
"Aku lebih baik mati daripada pura-pura buta," jawabku dengan suara yang keras, tak bisa menahan amarah yang ada di dalam dada. Aku tidak bisa begitu saja diam dan menerima semua ini. Aku harus tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Mobil berhenti di depan rumah keluarga Morgan, mansion besar berarsitektur klasik. Seindah apa pun rumah itu, bagiku hanya kandang emas yang penuh racun. Selama ini, rumah ini adalah tempat di mana kami bersembunyi, tempat di mana semua rahasia gelap tersembunyi di balik dinding-dinding megahnya. Namun, sekarang rasanya tidak ada tempat aman di sini.
Begitu masuk, aku langsung menuju kamarku, tanpa berbicara pada siapa pun. Mereka semua sibuk dengan urusan masing-masing, tidak ada yang benar-benar peduli padaku. Aku tidak ingin bicara dengan mereka. Malam ini, aku tidak berniat tidur. Aku hanya ingin memikirkan semuanya.
Aku keluar kamar, menyusuri lorong panjang yang dipenuhi lukisan keluarga. Pandanganku tertuju pada lukisan David, yang tersenyum gagah di atas dinding. Aku merasa seolah dia masih ada di sini, tersenyum pada aku, tetapi aku tahu bahwa dia telah pergi. "Maaf, David. Aku harus tahu siapa pembunuhmu," bisikku pelan, berjanji pada diri sendiri untuk mengungkap kebenaran.
Aku berjalan menuju kamar David.
 Tok. Tok.
Hening. Tidak ada jawaban. Aku mengetuk lagi, namun tetap tidak ada jawaban. Aku menghela napas, menunduk mencari sesuatu di bawah karpet kecil di depan pintu kamar. Kunci. Kunci yang tersembunyi di sana.
Perlahan, aku mengambil kunci logam tua itu, dan dengan hati-hati membuka pintu kamar David. Aroma khas parfum kayu manis yang biasa dia pakai masih tercium samar. Ruangan itu rapi, terlalu rapi untuk seorang pria sepertinya yang biasanya meninggalkan barang-barang berantakan di sana-sini.
Aku menuju meja kerjanya, membuka laci. Kosong. Namun, pandanganku menangkap sebuah buku catatan kulit hitam yang tersembunyi di bawah tumpukan map.
Aku membuka buku catatan itu dengan hati-hati, mencoba tidak menimbulkan suara sekecil apa pun. Hal pertama yang kutemukan adalah tulisan tangan David yang terburu-buru, seolah-olah dia sedang menulis sesuatu yang sangat penting, tetapi tidak ingin seseorang mengetahuinya. Di halaman pertama terdapat sebuah nama yang tercatat tegas: Adrian Morgan.
Aku tertegun sejenak. Nama itu adalah nama kakakku. Mengapa David mencatat nama Adrian di sini? Ada sesuatu yang tidak beres, dan aku bisa merasakan ketegangan yang semakin mencekik tenggorokanku.
Aku terus membuka halaman berikutnya. Di sana tertulis rangkaian tanggal yang acak, beberapa di antaranya adalah tanggal yang sudah berlalu, beberapa lainnya adalah tanggal yang akan datang. Setiap tanggal diikuti dengan catatan singkat yang sulit kupahami. Kata-kata seperti "konfrontasi" dan "pertemuan malam" muncul beberapa kali, tetapi tidak ada penjelasan lebih lanjut. Semakin aku membaca, semakin banyak tanda tanya yang bermunculan di kepalaku. Kenapa David mencatat hal-hal seperti ini? Apa yang sebenarnya terjadi di balik kematiannya? Aku merasa seperti berada di dalam labirin, semakin dalam aku menyelami, semakin sulit untuk keluar.
Tiba-tiba, sebuah suara keras terdengar dari arah luar pintu. Aku menegakkan badan, menutup buku itu dengan cepat, dan menyembunyikannya di bawah tumpukan buku di meja. Pintu kamar terbuka perlahan, dan Adrian masuk tanpa berkata apa pun. Wajahnya tegang, dan matanya langsung tertuju padaku.
"Apa yang kamu cari, Lena?" tanyanya dengan nada datar, namun aku bisa mendengar ketegangan yang terpendam dalam suaranya.
Aku berusaha menjaga ketenanganku, namun detak jantungku semakin kencang. Aku tidak bisa mengelak. "Aku... hanya ingin tahu lebih banyak tentang David," jawabku, berusaha terdengar tidak mencurigakan.
Adrian menatapku tajam, seolah-olah bisa membaca setiap pikiran yang melintas di benakku. "Jangan coba bermain-main dengan hal ini," katanya perlahan, suara seperti peringatan. "Ada hal-hal yang lebih baik tidak kamu ketahui."
Aku menggigit bibir, menahan perasaan yang mulai meluap. "Kamu pikir aku akan diam begitu saja setelah David mati? Tidak, Adrian. Aku akan menemukan kebenarannya. Apa pun yang terjadi."
Adrian mendengus pelan, seakan tidak terkejut dengan sikapku. "Lena, kita tidak hidup di dunia yang sama seperti yang kamu pikirkan. Ini bukan hanya tentang kita. Ada banyak hal yang lebih besar dari sekadar keluarga kita. Jangan sampai kamu terjebak dalam permainan yang lebih besar dari kemampuanmu."
Aku merasa amarahku mulai memuncak, tapi aku menahan diri. "Dan kamu? Apa kamu sudah menyerah begitu saja? Apa kamu sudah menerima kenyataan bahwa David mati dan semuanya berakhir?"
"Jika kamu terus menerus bertanya, kamu hanya akan semakin berbahaya. Dunia ini bukan dunia yang sederhana, Lena," jawab Adrian dengan suara yang penuh peringatan.
Aku tidak bisa lagi menahan amarahku. "Aku tidak peduli," kataku tegas, berdiri dan berjalan mendekat padanya. "Aku harus tahu siapa yang membunuh David, dan aku akan melakukannya dengan atau tanpa bantuanmu."
Adrian menghela napas panjang, lalu menatapku dengan tatapan penuh rasa frustasi. "Kau benar-benar keras kepala," katanya, mengacak rambutnya dengan kasar. "Baiklah, kalau begitu. Tapi ingat, sekali kamu terjun ke dalam dunia ini, tidak ada jalan kembali."
Dia berbalik dan pergi meninggalkan aku di kamar. Hening. Hanya suara detakan jam yang terdengar mengisi ruang. Aku berdiri di sana, mencerna setiap kata yang baru saja keluar dari mulut Adrian. Dunia yang lebih besar, tidak ada jalan kembali. Itu adalah hal yang aku rasakan setiap kali berada di sekitar keluarga ini. Kami terperangkap dalam sebuah permainan yang tidak bisa kami menangkan, namun kami tidak punya pilihan selain terus bermain.
Aku menatap buku catatan itu lagi, bertekad untuk menemukan jawabannya sendiri. David pasti telah meninggalkan petunjuk-petunjuk ini untukku, meskipun kami tidak pernah berbicara tentang hal ini sebelumnya. Ada sesuatu yang lebih besar di balik kematiannya, dan aku tidak akan berhenti sebelum mengetahui apa itu.
Aku membuka lemari yang ada di sudut kamar, mencari sesuatu yang bisa kubawa pergi. Tanpa sepengetahuan Adrian, aku harus memulai perjalanan ini sendiri. Aku tahu apa yang harus kulakukan. Aku harus mencari tahu siapa yang berada di balik semua ini, siapa yang merencanakan kematian David. Ada banyak hal yang harus aku hadapi, dan aku tidak bisa bergantung pada siapa pun selain diriku sendiri.
Saat aku berjalan menuju pintu, sebuah suara memanggilku. "Lena."
Aku menoleh dan melihat Adrian berdiri di ambang pintu, tatapan matanya penuh dengan keprihatinan yang tidak bisa disembunyikan. "Jangan melakukan apa-apa yang bodoh," katanya pelan.
Aku tidak menjawab. Aku hanya tersenyum pahit dan berjalan keluar dari kamar. Ini adalah langkah pertama yang harus aku ambil, dan tidak ada yang bisa menghentikanku.
Pagi hari di mansion Morgan terasa suram, hampir tidak ada yang berbeda dengan hari-hari sebelumnya—kecuali kenyataan bahwa aku sekarang sendiri. Kepergian David menggantung di udara, seperti kabut yang tak kunjung hilang. Semua orang di rumah berjalan dengan langkah terburu-buru, sibuk dengan urusan masing-masing, seakan-akan aku tak ada di antara mereka. Aku melihat ke luar jendela, menatap hujan yang terus mengguyur Velmora. Kota ini memang tidak pernah ramah—penuh dengan gedung-gedung tinggi, lampu neon yang berkilauan, dan keramaian yang mengelilingi semuanya. Namun, semua itu terasa hampa. Kota ini sekarang terasa lebih menekan dari sebelumnya, seperti sebuah jebakan yang siap menelan.
Aku mengatur langkah perlahan menuju ruang makan, tempat aku biasanya bertemu dengan Adrian. Kakakku yang selalu terlihat tenang, seolah hidup tanpa beban. Aku merasa ada sesuatu yang tidak beres. Rasa kehilangan yang mendalam, yang bahkan tak bisa aku ungkapkan dengan kata-kata. Bagaimana bisa seseorang yang seharusnya lebih kuat, lebih pintar, lebih berani... hilang begitu saja?
"Helena," suara Adrian memecah keheningan. Aku menoleh ke arahnya.
Dia duduk di meja makan, menatap secangkir kopi dengan wajah kosong. Biasanya, aku tahu dia tidak akan menunjukkan perasaan di depan orang lain, apalagi di depan aku. Tapi aku tahu dia sedang kacau, seperti yang aku rasakan. Kami berdua, meskipun diam, merasakan kehilangan yang sama.
"Adrian, apa kita hanya akan diam seperti ini?" suaraku tercekat. Aku tidak bisa menahan perasaan frustrasi yang mulai menguasai diriku. "Apa kita hanya akan melanjutkan hidup seolah-olah tidak ada yang terjadi?"
Adrian menatapku, dan untuk sejenak aku melihat ketegangan di matanya. Dia menghela napas panjang, meletakkan cangkir kopi itu dengan perlahan. "Helena, kamu tidak mengerti apa yang kita hadapi sekarang. Ini bukan sekadar kehilangan, ini adalah permainan yang lebih besar dari yang kamu bayangkan."
Aku menggigit bibir, menahan amarah yang mulai membakar dada. "Tapi David mati, Adrian! Mungkin itu bukan kecelakaan, dan kamu tahu itu. Apa kita hanya akan diam begitu saja? Aku harus tahu siapa yang bertanggung jawab atas ini."
Adrian melirikku dengan tatapan penuh peringatan. "Jangan membuat dirimu terjebak lebih dalam, Helena. Kamu tidak tahu apa yang akan terjadi jika kita terlibat lebih jauh. Kita sudah cukup kehilangan, jangan sampai kehilangan lebih banyak."
Aku merasa seolah-olah ada tembok tak terlihat yang menghalangi percakapan kami. Sesuatu yang tak bisa aku pahami. Apa yang Adrian tahu yang tidak aku ketahui? Kenapa dia terlihat begitu menghindar dari kenyataan?
Aku berjalan keluar dari ruang makan, meninggalkan Adrian dengan pikirannya sendiri. Rasa frustasi dan gelisah membuatku tak bisa diam. Setelah kejadian di pemakaman, aku merasa lebih banyak hal yang belum aku ketahui. Apa yang sebenarnya terjadi pada David?
Dengan hati yang berat, aku pergi ke kamar David. Kamar yang dulu sering dia gunakan untuk membaca buku atau beristirahat. Namun sekarang, hanya ada keheningan yang terasa sangat tebal. Ketika aku melangkah masuk, aroma parfum kayu manis miliknya masih tercium samar. Kenangan yang begitu kuat membuatku terhenti sejenak. Apa yang harus aku cari di sini?
Aku berkeliling, mencoba mencari petunjuk apa pun yang mungkin bisa menjelaskan semuanya. Di meja kerjanya, buku-buku dan dokumen-dokumen tergeletak dengan berantakan—sesuatu yang tak biasa. David biasanya sangat rapi. Pikiranku langsung tertuju pada laci meja yang terkunci. Aku tahu di sana pasti ada sesuatu yang perlu aku temukan.
Dengan hati-hati, aku mencari kunci yang selama ini tersembunyi di bawah karpet kecil di dekat pintu. Kunci itu terasa berat di tanganku, seperti beban yang harus segera aku bawa. Begitu pintu kamar terbuka, aku menghirup udara yang masih terkontaminasi dengan bau parfum David. Namun, yang kutemukan di meja kerjanya tidak sesuai dengan yang kubayangkan. Laci kosong, kecuali sebuah buku catatan kulit hitam yang tersembunyi di bawah tumpukan map dan dokumen.
Aku membuka halaman pertama buku itu. Di sana tertulis sesuatu yang cukup mengejutkan: "Jika aku mati, cari tahu siapa yang berdiri di balik Xavier."
Jantungku berdebar hebat. Nama Xavier, meskipun tak asing, selalu membuatku merasa cemas. Keluarga Xavier adalah musuh terbesar keluarga kami, dan meskipun tidak banyak orang tahu, mereka mengendalikan bisnis gelap yang jauh lebih besar dari yang kami bayangkan.
Aku melanjutkan membaca, menemukan lebih banyak catatan yang mengarah ke nama yang sama. Kevin Xavier. Bahkan ada peta jalur pengiriman yang menghubungkan perusahaan keluarga kami dengan transaksi misterius. Itu bukan kebetulan.
Tiba-tiba, suara langkah kaki membuatku tersentak. Aku berbalik, dan di ambang pintu, Adrian berdiri dengan ekspresi yang lebih serius dari biasanya.
"Kau pikir aku nggak tahu, Lena?" tanyanya, suaranya rendah dan tegas.
Aku menatapnya, tak bisa menahan rasa frustrasi yang muncul begitu saja. "Apa maksudmu?" aku bertanya, mencoba mencari tahu apakah dia tahu lebih banyak dari yang dia tunjukkan.
Adrian menghela napas, melangkah masuk dan duduk di kursi dekat jendela. "Aku tahu, Lena. Tapi melawan Xavier sama saja dengan bunuh diri."
Aku menggigit bibir, menahan diri untuk tidak meluapkan semua pertanyaan dan ketidakpastian yang menguasai pikiranku. "Jadi, kau ingin aku diam saja? Begitu saja menerima kenyataan bahwa David mati tanpa alasan yang jelas?"
Adrian menatapku tajam, seolah berusaha meyakinkanku untuk berhenti mencari. "Dengar, aku ingin kau tetap hidup. Itu lebih penting daripada segala hal lainnya."
Tapi aku tahu ini bukan hanya tentang hidup atau mati. Ini lebih dari sekadar perasaan pribadi. Ini tentang kebenaran yang harus terungkap.
Aku melangkah lebih dekat, membuka buku catatan itu dan menunjukkannya padanya. "David menulis ini. Ada sesuatu yang dia tahu, Adrian. Aku harus tahu siapa yang membunuhnya."
Adrian berdiri dan mendekat, matanya penuh amarah dan kelelahan. "Kau tidak mengerti, Lena. Dunia ini lebih gelap dan lebih kejam dari yang kau bayangkan. Ini bukan hanya tentang David. Ini tentang keluarga kita, tentang semuanya. Jika kau terlalu berani, kita semua akan habis."
Aku menatapnya dengan tatapan yang penuh kebingungan, mencoba memahami apa yang dia maksud. "Kau takut, Adrian. Kau takut akan semua ini."
Adrian menundukkan kepala, mengusap wajahnya dengan tangan. "Aku bukan takut, Lena. Aku hanya tahu... kita tidak bisa melawan sesuatu yang lebih besar dari kita."
Suasana di ruangan itu menjadi semakin tegang, dan aku tahu, dalam hati, aku tidak bisa menyerah begitu saja. Kematian David bukanlah sebuah kecelakaan, dan aku akan mencari tahu siapa yang bertanggung jawab, apa pun yang terjadi.
"Kalau aku keras kepala, aku tidak akan berhenti. Aku akan terus mencari," kataku, menatap Adrian dengan penuh tekad.
Dia menatapku lama, lalu mengangguk pelan, meski wajahnya menunjukkan keputusasaan. "Kalau kau keras kepala, aku tidak bisa melarangmu. Tapi ingat satu hal, Lena... Jangan pernah percaya siapa pun. Itu bisa membunuhmu."
Aku mengangguk pelan, berusaha menenangkan perasaan yang bergejolak di dada. Setelah Adrian pergi, aku duduk di tepi ranjang David, menatap buku catatan itu dengan rasa cemas yang semakin dalam. Nama-nama yang ada di sana, termasuk "Dendy Alexander", mulai membayang dalam pikiranku.
Dendy Alexander—siapa dia sebenarnya? Apa hubungannya dengan semua ini?
Aku tahu, aku harus menemui dia. Dan aku harus melakukannya segera.
Setelah Adrian pergi, aku terdiam dalam ruangan David, berpikir keras tentang apa yang baru saja aku temui. Buku catatan itu menyisakan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Nama "Dendy Alexander" mencuat dari catatan yang ditinggalkan David, dan itu mengganggu pikiranku. Siapa dia sebenarnya? Dan kenapa nama itu bisa ada dalam catatan terakhir David?
Aku meletakkan buku itu kembali di meja, berusaha untuk tidak terlalu larut dalam pikiran yang semakin ruwet. Namun, rasa penasaran itu tidak bisa dibendung. Aku mengambil keputusan untuk bertemu dengan Dendy. Aku harus mencari tahu lebih banyak—tentang dirinya, tentang siapa yang terlibat dalam semua ini, dan mungkin, jawaban atas kematian David yang masih menjadi misteri.
Di luar rumah, hujan semakin deras. Suara tetesan air yang membentur jendela semakin memekakkan telinga, tapi itu tidak cukup untuk menahan langkahku. Aku berjalan cepat, menyusuri koridor rumah mewah ini, menuju garasi pribadi. Meskipun suasana hati tak menentu, aku merasa perlu melakukan sesuatu, apapun itu, agar bisa mengusir rasa gelisah ini. Aku melangkah keluar menuju mobil, dan tanpa berpikir panjang, aku mengemudi ke arah yang sudah kutuju.
Dendy Alexander—Ada sesuatu tentang dirinya yang selalu membuatku merasa cemas, namun di saat bersamaan, ada rasa penasaran yang tak bisa dihindari. Dia selalu ada di sekitar David, ada di dalam lingkaran keluarga kami, tetapi aku tak pernah benar-benar tahu siapa dia sebenarnya.
Dari informasi yang aku gali, Dendy bukanlah seseorang yang mudah didekati. Dia dikenal pendiam, dingin, dan selalu menjaga jarak. Namun, dalam beberapa kesempatan, aku bisa merasakan bahwa ada lebih dari sekadar ketenangan yang dia tampilkan. Aku pernah melihat kilatan sesuatu di matanya—sesuatu yang sulit dijelaskan. Ada bahaya yang terpendam, tersembunyi di balik sikapnya yang tenang itu.
Mobilku berhenti di depan gedung tinggi di kota Blackstone tempat Dendy bekerja sekaligus sebagai tempat yang sudah menjadi markasnya, namun aku belum pernah benar-benar mengunjunginya. Dengan tekad yang sudah bulat, aku turun dari mobil dan melangkah memasuki gedung itu. Saat aku melintasi lobi yang megah, aku merasakan ketegangan yang memuncak. Tempat ini terasa asing, seolah-olah menelan semua kebisingan dari dunia luar, menciptakan ruang hampa di dalamnya.
Setelah menyapa resepsionis dengan sopan, aku menaiki lift menuju lantai yang diinginkan. Pintu lift terbuka, dan aku melangkah keluar dengan hati yang berdegup kencang. Keheningan yang menyelimuti ruangan ini seakan mengingatkanku bahwa aku sedang memasuki wilayah yang bukan untuk sembarangan orang. Semua ini terasa begitu serius. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi setelah aku menemui Dendy.
Tiba-tiba, aku melihat sosoknya di ujung lorong. Dendy Alexander sedang berdiri di balik jendela besar, menatap kota dengan pandangan yang kosong. Ketika aku mendekat, dia berbalik dan menatapku dengan ekspresi yang sulit dibaca. Tatapan itu langsung menusuk, seakan bisa membaca setiap gerakan di tubuhku.
"Kau datang jauh-jauh menempuh jarak 700 km dalam 12 jam hanya untuk menemui aku?" Suaranya datar, penuh perhitungan. Namun, di balik ketenangannya, aku bisa merasakan adanya ketegangan yang tidak bisa disembunyikan.
Aku mengangguk, berusaha untuk tidak terlihat gugup. "Aku perlu tahu lebih banyak tentang apa yang terjadi, Dendy. Tentang David... dan tentang apa yang sebenarnya terjadi."
Dendy memiringkan kepalanya, menilai. Dia tidak segera menjawab. Hanya ada keheningan yang begitu berat, seperti ada sesuatu yang tidak ingin dia ungkapkan. Wajahnya tetap tak terbaca, namun aku bisa merasakan bahwa dia tahu lebih banyak dari yang ia tunjukkan.
"Apa yang sebenarnya kamu cari, Helena?" tanya Dendy, suaranya terdengar lebih berat dari sebelumnya. Aku bisa melihat bagaimana setiap kata yang keluar dari mulutnya penuh dengan kehati-hatian, seolah-olah dia sedang mempertimbangkan apa yang akan dia ungkapkan padaku.
Aku menarik napas panjang, menatap matanya yang tajam. "Kematian David bukan kecelakaan. Aku ingin tahu siapa yang bertanggung jawab. Dan kenapa kau... terlibat di dalamnya."
Ada keheningan beberapa detik sebelum Dendy mengangguk pelan. Dia berjalan mendekat, dan aku bisa merasakan betapa dekatnya kami berdiri di sana. "David bukanlah satu-satunya yang terlibat dalam permainan ini, Helena. Kamu harus berhenti berpikir bahwa semuanya bisa selesai dengan mudah. Ini lebih besar dari yang kamu bayangkan."
Aku mengernyit, tidak mengerti maksudnya. "Apa yang lebih besar dari ini, Dendy? Aku hanya ingin tahu siapa yang membunuh David."
Dendy tidak menjawab. Sebaliknya, dia mengalihkan pandangannya ke jendela, seolah enggan melibatkan diriku lebih jauh. "Kadang-kadang, mencari kebenaran bisa membuat kita terjerumus lebih dalam ke dalam jurang yang gelap. Kamu tahu itu, bukan?"
Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya lebih lanjut. "Jadi, apa yang harus aku lakukan, Dendy? Diam dan melupakan semuanya? Seolah-olah David tidak pernah ada?"
Dendy menatapku dengan ekspresi yang sulit dimengerti. "Tidak, Helena. Tapi kamu harus tahu satu hal—tidak ada yang bisa mengubah apa yang telah terjadi. Terkadang, lebih baik melupakan daripada mencari tahu."
Aku tidak bisa menerima itu. "Aku tidak bisa melupakan David, dan aku tidak bisa melupakan apa yang telah terjadi. Aku ingin tahu siapa yang berada di balik ini semua."
Dendy menatapku, dan untuk sesaat, aku bisa melihat sesuatu yang berbeda di matanya. Bukan hanya ketenangan, tapi juga kekhawatiran yang tersembunyi. "Kamu tidak akan bisa menang jika terus mencari tahu, Helena. Kamu harus berhenti sebelum semuanya menjadi lebih buruk."
Aku tidak bisa mengerti maksudnya, tapi aku tahu satu hal: aku tidak akan berhenti.
Aku mengangkat daguku, menatapnya dengan tekad yang sama. "Aku tidak akan berhenti, Dendy. Bahkan jika itu berarti aku harus menghadapi dunia yang tidak aku pahami."
Dendy menghela napas panjang dan akhirnya menatapku dengan ekspresi yang lebih lembut, meskipun masih ada ketegangan yang jelas. "Baiklah, kalau begitu. Tapi ingat, ini bukan hanya tentang David. Ini tentang apa yang ada di balik semua ini."
Aku tidak bisa menahan diri lagi. "Apa maksudmu?"
Dendy hanya tersenyum tipis, senyuman yang penuh dengan misteri. "Kita akan melihat seberapa jauh kamu bisa melangkah, Helena."
Dan dengan itu, dia berbalik dan meninggalkan ruangan, meninggalkan aku dengan lebih banyak pertanyaan dan semakin sedikit jawaban.
Aku berdiri di sana, memandangi pintu yang tertutup, merasa lebih bingung dan terombang-ambing dari sebelumnya. Ini bukan hanya tentang David lagi. Ini tentang dunia yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya.