Hari pertama bekerja langsung di bawah Leonidas terasa seperti beban yang sangat berat. Laila duduk di meja kerjanya, menatap layar laptop dengan tangan yang terlipat di atas meja. Di luar jendela ruang kerjanya, hujan turun deras, menciptakan suasana suram yang seakan melengkapi kegelisahannya.
Tapi lebih dari itu, ada sesuatu yang mengusik pikirannya. Leonidas, CEO yang tampan dan berwibawa itu, tidak pernah memperlihatkan tanda-tanda kerapuhan. Mata tajamnya selalu penuh dengan perhitungan, seolah mampu melihat setiap celah dan kekurangan dalam segala hal. Laila tahu, dia harus memberikan lebih dari sekadar yang biasa.
Jam berlalu, dan Laila semakin tenggelam dalam pekerjaannya. Ide-idenya mengalir deras, namun semakin dia menulis, semakin dia merasa ada yang kurang. Dia merasa terlalu jauh dari apa yang Leonidas inginkan. Jika dia ingin berhasil, dia harus mengerti cara berpikir CEO yang satu ini.
Pukul lima sore, tiba-tiba pintu ruangannya terbuka dengan suara yang cukup keras, mengejutkannya. Leonidas berdiri di ambang pintu, mengenakan jas gelap yang sempurna, wajahnya datar namun penuh autoritas.
"Sudah waktunya," ucapnya, mengalihkan perhatian Laila dari layar.
Laila menelan ludah, merasa jantungnya berdebar hebat. Ia berdiri dan mengambil berkas presentasi yang telah ia siapkan. Langkah kakinya serasa berat saat dia mengikuti Leonidas menuju ruang rapat.
Begitu memasuki ruang rapat yang dingin dan luas, Laila melihat para eksekutif lainnya sudah duduk dengan ekspresi serius. Mereka semua menatapnya, menunggu presentasinya dengan penuh perhatian. Leonidas duduk di kursinya yang tinggi, menatapnya dengan tatapan yang sulit dibaca.
"Silakan," ucapnya singkat, memberi isyarat pada Laila untuk mulai.
Dengan napas yang semakin berat, Laila mulai berbicara, menampilkan semua ide yang telah ia susun dalam beberapa hari terakhir. Setiap kata yang keluar dari mulutnya terasa seperti ujian berat, karena setiap kali matanya bertemu dengan Leonidas, ia merasa seolah-olah ada yang sedang dinilai dengan ketat.
Namun, kali ini Leonidas tidak menginterupsi. Dia hanya mendengarkan, matanya tetap penuh perhitungan. Laila merasa jantungnya semakin berdetak cepat saat dia mencapai bagian terakhir presentasi.
"Begitulah," ujarnya, berharap ia sudah melakukan yang terbaik.
Suasana hening sesaat, dan Laila bisa merasakan ketegangan yang membekap ruangan. Para eksekutif saling bertukar pandang, sementara Leonidas tetap diam, matanya masih menatapnya tajam.
Akhirnya, setelah beberapa detik yang terasa sangat lama, Leonidas membuka mulutnya.
"Ini… lebih baik," ujarnya pelan, meski nada suaranya tetap dingin. "Namun, ini bukan yang saya inginkan."
Laila merasa tubuhnya kaku, wajahnya memucat. "Apa maksud Anda, Pak?" tanyanya, berusaha menguasai diri.
Leonidas berdiri dan berjalan mendekat, matanya tidak pernah lepas dari Laila.
"Saya ingin kamu berpikir lebih besar. Lebih ambisius. Tidak hanya mengikuti tren—kamu harus menciptakan tren itu. Dan aku ingin kamu melakukannya dengan caramu, Laila," kata Leonidas, suara rendah namun penuh tekanan.
Laila menggigit bibirnya, menahan rasa takut yang meluap. Ia tahu, ini bukan hanya ujian profesional—ini adalah ujian pribadi yang jauh lebih besar.