Laila kembali ke mejanya dengan langkah yang terasa lebih berat dari sebelumnya. Suara langkah kakinya yang bergema di lorong seolah mengingatkannya pada beban yang kini harus ia tanggung. Ia duduk kembali di kursinya, menatap layar dengan kosong, berusaha mengatur napas yang terasa sesak di dadanya. Pikiran-pikiran tentang apa yang baru saja terjadi terus mengalir dalam benaknya.
Leonidas, dengan segala ketajaman matanya, telah memberinya tantangan yang tak bisa dia abaikan. Dia harus berpikir lebih besar, lebih ambisius, tetapi bagaimana caranya? Apa yang bisa dia lakukan untuk memenuhi ekspektasi pria itu?
Tiba-tiba, pintu ruangannya terbuka dengan perlahan. Laila menoleh, dan untuk sesaat, wajah Leonidas muncul di ambang pintu. Dia menatapnya tanpa mengucapkan sepatah kata pun, lalu melangkah masuk dengan tenang, matanya masih penuh perhitungan.
"Ambil waktu sejenak untuk berpikir," katanya, suara dingin namun penuh makna. "Tapi ingat, waktu tidak pernah menunggu siapa pun."
Sebelum Laila sempat menjawab, Leonidas berbalik dan meninggalkan ruangannya. Ia berdiri sejenak, kebingungannya semakin mendalam. Dia ingin lebih banyak waktu untuk merancang ide-ide besar, tapi di sisi lain, dia tahu bahwa Leonidas tidak akan memberinya kelonggaran seperti itu. Setiap langkah yang diambilnya harus lebih baik daripada yang terakhir. Laila menghela napas, memaksa dirinya untuk fokus.
Malam itu, Laila pulang ke rumah lebih larut dari biasanya. Waktu terus berjalan, dan dia semakin terjebak dalam pola pikir yang berputar-putar. Dalam keheningan rumahnya, dia duduk di meja makan, berusaha menuliskan ide-ide brilian yang bisa membuat Leonidas terkesan.
Namun, malam itu, pikirannya teralihkan oleh bayangan sosok pria itu. Tatapan tajam Leonidas, cara dia berbicara dengan penuh kewibawaan, seolah-olah dia bisa membaca pikiran Laila. Setiap kali mereka bertemu, rasanya ada sesuatu yang tidak bisa dia ungkapkan. Ada ketegangan yang tak terucapkan di antara mereka, yang lebih kuat dari sekadar profesionalisme. Ada daya tarik yang dia sendiri tidak bisa pahami.
Pagi harinya, Laila kembali ke kantor dengan tekad yang lebih bulat. Setelah bekerja sepanjang malam, ia akhirnya menemukan sebuah ide besar, ide yang akan mengubah arah kampanye mereka—ide yang berani, yang bahkan Leonidas mungkin tidak akan mengharapkannya. Tapi apakah itu cukup untuk membuatnya terkesan?
Saat dia memasuki ruang rapat, Leonidas sudah duduk di kursinya, matanya yang tajam mengamati presentasi yang telah dipersiapkan. Laila menatapnya sejenak, sebelum mulai berbicara dengan percaya diri, kali ini dengan keyakinan yang berbeda dari sebelumnya.
"Saya ingin mencoba sesuatu yang berbeda," katanya dengan suara yang mantap. "Bukan hanya mengikuti arus, tapi menciptakan arus baru."
Leonidas mendengarkan tanpa mengalihkan pandangan, ekspresinya tetap datar.
"Apa yang membuatmu berpikir itu akan berhasil?" tanya Leonidas, suaranya tetap dingin namun penuh tantangan.
Laila menatapnya, merasakan ketegangan yang kembali meningkat di antara mereka. "Karena… karena ini adalah sesuatu yang belum pernah dicoba sebelumnya. Dan saya yakin, jika kita melakukannya dengan cara yang tepat, kita bisa mengubah wajah industri ini."
Leonidas terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. "Kamu punya keyakinan, itu penting. Tapi keyakinan saja tidak cukup. Kami akan lihat seberapa besar keberanianmu."
Laila menahan napas, merasakan ketegangan yang luar biasa. Namun, di balik rasa takut itu, ada juga semangat yang membara. Dia tidak akan menyerah begitu saja. Apa pun yang terjadi, dia akan membuktikan bahwa dia bisa memenuhi harapan Leonidas, bahkan jika itu berarti menghadapi lebih banyak tantangan dan ketidakpastian.