Chereads / SACRAMENTIS: Astral Incarnation / Chapter 2 - (Chapter O) The End

Chapter 2 - (Chapter O) The End

"cakrawala yang terbentuk dari sebuah akhir, menghantarkan kehidupan lalu untuk menjelma menjadi cahaya yang membawa pada petualangan baru di alam semesta yang belum tersentuh, hingga menggapai titik akhir yang tak terduga"

Bumi, 24 Januari 2024. 

Semarang, Indonesia.

Tumpukan pakaian kotor menjulang di sudut sempit flatku, memenuhi ruang dua kali tiga meter yang kini nyaris tak bisa disebut layak huni. Bau lembap dan asam bercampur, merayap dari setiap helai kain yang terjebak dalam gunungan itu. Aku meraba-raba, mencari sesuatu yang masih bisa dipakai, hingga jari-jariku menemukan sehelai hoodie—tertindih di antara aroma pengap yang membuat hidungku berkerut. Pakaian kotor sejak dua minggu lalu, tapi tak sempat mencucinya.

Aku menghela napas. Seandainya tak tenggelam dalam tumpukan tesis selama sebulan terakhir, mungkin ruangan ini tak akan berubah menjadi ladang bencana tekstil. Tapi sekarang bukan waktunya menyesal. Jam digital di meja berkedip, menunjukkan pukul 08.24 pagi. Tidak hari ini. Aku tidak akan melewatkan pembukaan event game dan animasi terbesar tahun ini. Tidak sampai aku mendapatkan action figure edisi terbatas yang hanya dijual hari ini.

Tanpa pikir panjang, aku meraih botol pewangi dan menyemprotkan isinya ke hoodie itu hingga aromanya lebih bisa ditoleransi. Lalu aku tersenyum miring. Orang-orang mungkin mengira aku sampah masyarakat, tapi dua tahun lalu? Aku adalah bintang. Piagam, gelar lulusan terbaik, dan catatan akademik sempurna menjadi buktinya. Dan sebentar lagi, gelar Magister akan bertengger di namaku. Satu bulan lagi, aku akan berdiri di panggung wisuda itu—lagi.

Namun, keberhasilan itu datang bersama beban yang tak terduga. Setelah upacara wisuda, tunjangan dari orang tuaku akan berhenti. Itu berarti, aku harus segera mencari cara untuk bertahan secara finansial.

Dua tahun lalu, saat meraih gelar sarjana dalam waktu singkat, aku tidak pernah ragu menghadapi dunia. Dengan predikat lulusan terbaik dan bisnis game center yang mulai berkembang, masa depan tampak menjanjikan. Tabungan yang kukumpulkan selama sembilan tahun, ditambah gaji dari kerja paruh waktu semasa kuliah, menjadi pondasi yang membangun Celestia Arcade—bisnis yang kudirikan bersama seorang teman yang berbagi hobi yang sama. Saat itu, aku percaya, kami bisa menaklukkan apa pun.

Aku menatap pantulan diri di cermin. Tubuh gempal dengan perut sedikit buncit terbungkus hoodie hitam yang menutupi kaos putih, dipadukan dengan jeans lusuh. Wajahku, penuh bintik jerawat, jauh dari kata menarik. Kacamata minus enam bertengger di pangkal hidung, satu-satunya alat yang membantuku melihat dunia dengan jelas. Aku meraih topi baseball dan menempelkannya di kepala—bukan untuk gaya, tapi karena dua tahun terakhir ini, rasanya ada yang kurang jika aku keluar tanpa topi. Setidaknya, benda itu membantuku membatasi pandangan dunia terhadapku.

Dulu, aku tidak pernah mengenakannya. Sebelum rasa takut ini muncul. Sebelum aku sadar bahwa tidak semua orang bisa dipercaya. Sebelum Celestia Arcade runtuh, dan sahabat yang dulu kusebut saudara menunjukkan betapa bencinya dia padaku.

Seharusnya hidupku berjalan tanpa kekacauan. Terlahir di keluarga yang serba ada, dengan pencapaian akademik dan finansial yang menutupi segala kekuranganku, aku tidak seharusnya menghadapi masalah sebesar ini. Dari segi penampilan, aku bukan orang yang menarik. Tak banyak yang mau menjalin hubungan denganku, baik secara romantis maupun sosial. Namun, selama ini prestasi dan keberhasilanku cukup untuk melindungiku dari kejamnya pengucilan.

Aku punya teman, meski sebagian besar hanya mendekat karena uangku. Aku tidak ambil pusing. Aku juga punya sahabat—atau setidaknya dulu aku menganggapnya begitu. Kami tinggal di flat yang sama, berkuliah di universitas yang sama. Sayangnya, dua tahun lalu, dia yang membentuk diriku yang sekarang.

Dulu aku adalah orang yang mudah bergaul, ceria, dan selalu siap membantu. Berbanding terbalik dengan dia—tetangga flatku yang selalu terlihat murung, mengunci diri di kamar seperti berusaha menghilang dari dunia. Kami berbeda jurusan, tetapi aku tahu masalahnya. Dia dikucilkan oleh teman-teman sekelasnya. Aku tahu, karena relasiku tersebar luas—dari mahasiswa berbagai fakultas hingga pedagang sayur di kecamatan sebelah.

Orang-orang bilang dia manipulatif. Licik. Melakukan apa pun demi tetap berada di puncak. Seharusnya aku percaya gosip itu. Seharusnya aku tidak mencoba menjadi pahlawan dan mengulurkan tangan.

Penyesalan itu baru datang ketika Celestia Arcade bangkrut. Ketika tunangan rekan bisnisku membatalkan pernikahan mereka. Ketika itu masyarakat menatapku seolah aku sampah paling menjijikkan di dunia ini.

Dua tahun lalu, penilaian Celestia Arcade menurun drastis. Aku menyelidikinya, dan kenyataan itu menghantam tanpa ampun—fitnah tersebar. Sebuah foto, direkayasa dengan sempurna, menampilkan aku dan mitra bisnisku dalam situasi yang tidak senonoh.

Berita-berita sensasional pun bermunculan.

"Skandal Perselingkuhan Mengguncang Celestia Arcade: Pengusaha Muda Dituduh Terlibat!"

"Bukti Foto Tak Senonoh Pemilik Celestia Arcade: Tertangkap Keluar dari Hotel Ternama!"

Dalam hitungan hari, bisnis yang kubangun dengan susah payah runtuh. Dan aku, yang dulu berpikir bisa menghadapi dunia, akhirnya belajar bahwa tidak semua orang layak untuk dipercaya.

Lambat laun, Celestia Arcade runtuh. Delapan cabang yang dulu berdiri megah kini satu per satu gulung tikar. Bisnisku hancur, mitra kerjaku terjerembab dalam depresi, dan tunangannya pergi tanpa menoleh ke belakang. Semua hanya dalam waktu 48 jam.

Namun, aku tidak sepertinya. Setidaknya, awalnya tidak.

Aku hanya punya satu tujuan—membuktikan bahwa foto itu palsu. Bukan hal sulit bagiku untuk melacak akun yang pertama kali menyebarkannya. Meski menggunakan identitas palsu, aku langsung mengenali email pemiliknya. Bagaimana tidak? Akulah yang membuat email itu, bertahun-tahun lalu, untuk seseorang yang dulu memohon bantuanku karena tak mengerti cara mengirim tugas akuntansinya.

Aku sudah terbiasa dikecewakan. Kupikir kali ini pun aku bisa menghadapinya dengan kepala dingin.

Setidaknya, itulah yang kupikirkan sebelum semuanya berubah.

"Kau sudah memiliki segalanya. Kehilangan sedikit tidak akan menghancurkanmu… seperti saat kau mengambil dia dariku dulu."

Kata-kata itu keluar dari mulutnya—seseorang yang pernah kupanggil sahabat.

Dan saat itu juga, kendaliku hancur.

Yang kuingat hanya cipratan darah di buku jariku. Tubuhnya yang terkulai lemas di depan kantor fakultas, wajahnya penuh luka dan memar. Orang-orang menatapku, ngeri, jijik, seolah aku adalah monster yang pantas dibuang.

Teriakan mereka menusuk telinga, gemuruh cemoohan membungkusku dalam kehinaan.

Polisi menyeretku. Ambulans membawa tubuhnya. Kilatan kamera dari ponsel dan digital menyambar, mengabadikan kehancuranku dalam satu momen yang tak terhapuskan.

Saat itu juga, aku tenggelam. Terasing. Terbuang dari lingkaran sosial yang pernah kugenggam erat.

Dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku benar-benar sendirian.

Dua puluh satu tahun aku membangun kepercayaan, menciptakan citra, menanam benih reputasi yang baik. Tapi hanya butuh satu malam untuk menghancurkan semuanya.

Sebulan. Dua bulan. Waktu berlalu, tapi hukuman sosial tak pernah surut. Setiap langkah yang kuambil diawasi, setiap usaha untuk bangkit dipandang sinis. Media sosialku penuh dengan caci maki, pesan penuh kebencian, dan tuduhan yang terus berulang—aku pecundang nista yang menyelesaikan masalah dengan uang. Pemilik bisnis gagal yang merebut kekasih orang dan membawanya ke hotel terdekat. Pengkhianat yang memukuli sahabatnya sendiri hingga hampir meregang nyawa.

Aku benci mereka. Aku benci dunia ini.

Mereka menaruh sampah di depan flatku, berbisik-bisik setiap kali aku lewat, melemparkan tatapan jijik seakan aku adalah sampah yang tersisa di sudut dunia. Aku kesulitan mencari kerja—rekam jejakku terlalu kotor, namaku terlalu busuk.

Aku menyesal.

Seharusnya aku tak pernah mengulurkan tangan. Seharusnya aku mempercayai mereka yang lebih dulu menjauh darinya. Jika saja aku tidak berusaha menjadi pahlawan, tidak pernah meneriakkan namanya sebagai 'sahabat', mungkin semuanya akan tetap baik-baik saja.

Seharusnya dia yang terisolasi. Seharusnya dia yang dihukum.

Bukan aku.

Namun sekarang, aku yang dikutuk. Aku yang tersudut, terperangkap dalam lingkaran keputusasaan yang tak berujung. Tak ada tempat untukku di dunia ini—hanya ada tatapan tajam, cibiran, dan bisikan yang menghakimi tanpa pernah mau tahu kebenaran.

Aku sendirian.

Dan kali ini, tak ada seorang pun yang akan mengulurkan tangan padaku.

Hanya karena satu kesalahan yang bahkan tak berdasar, mereka memilih percaya pada seseorang yang dulu mereka jauhi.

Hari itu, duniaku runtuh. Segalanya hancur dalam sekejap—sahabat, teman, harga diri, bisnis, bahkan kepercayaan yang pernah kutanam di mata masyarakat. Aku kehilangan semuanya.

Sejak saat itu, aku menutup diri. Tak lagi percaya, baik pada dunia maupun pada diriku sendiri. Aku masih ingat bagaimana kedua orang tuaku menatapku penuh kecewa saat aku kembali menadahkan tangan, meminta bantuan mereka untuk membiayai program pascasarjana yang dulu dengan bangga kutolak. Aku menyebutnya melanjutkan studi, tapi kenyataannya, aku hanya melarikan diri—dari tatapan sinis, dari kesulitan mencari pekerjaan, dari dunia yang telah menghakimiku.

Hidupku berubah menjadi monoton. Hari-hariku hanya diisi dengan layar komputer, novel, dan komik yang menumpuk di sudut ruangan. Aku jarang keluar. Dalam seminggu, mungkin hanya dua kali kakiku melangkah keluar flat sempit ini—dan itu pun hanya jika kuliah memaksaku. Selain itu, aku memilih bersembunyi di balik dinding 2x3 meter ini, tenggelam dalam bayang-bayang ketakutan dan masa lalu yang terus menghantuiku.

Mungkin aku pengecut. Mungkin aku hanya takut menghadapi dunia. Tapi hidup di antara orang-orang yang menatapmu dengan jijik karena skandal fitnah tak pernah semudah kedengarannya.

Aku menarik napas, menatap bayanganku di cermin. Mengamati penampilanku, memastikan pakaian ini cukup untuk menyatu di tengah keramaian. Menyesuaikan topi di kepalaku, memastikan benda itu cukup rendah untuk membatasi pandanganku—atau lebih tepatnya, membatasi dunia dari melihatku.

Hari ini, aku akan keluar. Hanya untuk berburu beberapa item dalam event animasi. Itu saja.

Dan setelah itu, aku akan kembali bersembunyi.

Setiap kali mataku bersirobok dengan milik orang lain, gelombang ketakutan menyapu tubuhku tanpa ampun. Mungkin mereka tidak melakukan apa pun, mungkin tatapan mereka kosong belaka, tetapi bayangan dari masa lalu masih membekas dalam benakku—membentuk ilusi seakan-akan semua mata tertuju padaku dengan hinaan yang tersembunyi di balik keheningan.

Itulah sebabnya aku tak nyaman di tengah keramaian. Aku selalu berusaha menghindari tatapan mereka, seolah dengan begitu, aku bisa menghilang dari dunia.

Mereka bilang aku hanya menyalahkan keadaan. Mereka tidak salah. Aku berkabung dalam masa lalu, enggan memperbaiki diri, membiarkan ketakutan akan kegagalan membangun benteng yang kian tinggi antara aku dan dunia luar. Namun, setidaknya dalam keterpurukan itu, aku berhasil menyelesaikan studi. Setelah satu setengah tahun menjalani hidup sebagai NEET yang sepenuhnya bergantung pada penghasilan orang tuaku, aku akhirnya meraih gelar magister.

Dan bulan depan, aku harus meninggalkan flat sempit ini. Ruangan 2x3 meter yang selama ini menjadi benteng sekaligus saksi dari malam-malam tanpa tidur, hari-hari yang berlalu dalam kesendirian, serta lingkaran tanpa akhir yang terus kujalani—bermain game, menonton, membaca—semua hanya untuk melarikan diri dari kenyataan yang terasa terlalu berat untuk dihadapi.

Tapi di balik keterasingan ini, ada secercah harapan. Sebuah keinginan kecil yang ingin kubiarkan tumbuh: aku ingin merasakan hangatnya dunia lagi. Ingin menyentuh harapan, dan mungkin, suatu hari nanti, berdamai dengan masa lalu yang penuh luka.

Aku tahu, semua itu hanya bisa dimulai dengan satu langkah. Namun setiap kali mencoba, bayangan masa lalu mencengkeram langkahku, menahan diriku dalam jerat yang sama.

Aku menarik napas dalam, lalu menepuk kedua pipiku. Berlama-lama tenggelam dalam nostalgia hanya akan membuatku kembali terjebak. Lagipula, action figure Langkah dan beberapa item game dalam event hari ini tak akan kudapatkan hanya dengan merenung di sudut ruangan.

Hari ini, aku akan keluar.

Sekali lagi.

Aku mengambil ransel, menghela napas, lalu keluar dan mengunci pintu.

"Hari ini kau keluar?"

Aku tersentak. Suara itu datang begitu tiba-tiba, membuatku secara refleks menundukkan kepala. Aku hanya mengangguk pelan tanpa menanggapi lebih lanjut.

"Aku membuat salad buah."

Sebuah tangan terjulur di hadapanku, membawa satu kotak besar berisi potongan buah dengan taburan keju di atasnya. Aku masih enggan mengangkat wajah untuk melihat pemilik tangan itu.

"Makanan instan saja tidak cukup untuk gizimu."

Aku kembali mengangguk, lebih sebagai refleks daripada jawaban yang sungguh-sungguh.

Gadis itu… aku bahkan tidak tahu namanya, wajahnya pun tak pernah kulihat dengan jelas. Yang kutahu, setiap hari dia selalu meninggalkan beberapa jenis makanan di depan pintu flat orang-orang—termasuk milikku. Tetangga yang aneh, tapi baik.

"Te-terima kasih…" ucapku terbata, lalu segera mengambil kotak itu dan berlari pergi.

Aku sadar sikapku tidak sopan. Setidaknya aku harus berbalik dan mengucapkan terima kasih dengan benar. Mungkin jika aku mengatakannya sedikit lebih keras, dia tidak akan menyadari suaraku yang bergetar.

Namun, saat aku akhirnya menghentikan langkah dan menoleh ke belakang, kata-kata itu menguap begitu saja.

Aku terpaku.

Wajahnya… begitu lembut, seolah dipahat dengan ketulusan. Senyum yang ia berikan begitu ringan, tapi hangat. Mata itu tidak dipenuhi penghinaan, tidak menyiratkan cibiran seperti orang-orang di masa lalu.

Gadis itu melambaikan tangan.

"Te-terima kasih untuk saladnya! Akan kumakan nanti!" seruku tergesa-gesa, sebelum kembali berlari.

Sekilas, aku melirik ke belakang. Ia masih tersenyum, melambai pelan ke arahku.

Mungkin dia berbeda. Mungkin dia tidak menatapku seperti orang-orang dari masa lalu.

Tapi aku masih pengecut yang tidak berani menatap orang lain.

~~~

Berdiri dengan gelisah, aku terus-menerus melirik arlojiku. Ironis, setelah berhasil mendapatkan semua barang incaranku di festival, kini aku malah terjebak—bus yang kutumpangi mogok, dan bus pengganti yang dijanjikan sudah lebih dari satu jam belum juga tiba.

Kecemasanku bukan tanpa alasan. Biasanya, aku akan menyalakan perekam otomatis untuk live stream update patch game favoritku. Tapi dalam euforia festival, aku lupa melakukannya. Sekarang, dengan waktu hanya tersisa 45 menit sebelum siaran dimulai, aku masih terjebak di sini, tanpa kepastian kapan bisa pulang.

Aku menghela napas panjang. Tak ada gunanya menunggu lebih lama. Satu-satunya pilihan adalah berjalan kaki. Aku menghitung ulang jarak menuju flat dan mempertimbangkan jalan pintas yang bisa memangkas waktu perjalanan menjadi sekitar 40 menit. Dengan tekad yang bulat, aku menyesuaikan ransel di punggung dan mulai melangkah.

Langkahku cepat, meninggalkan hiruk-pikuk jalan raya dan memasuki jalan setapak kecil yang membelah semak-semak rimbun. Di sini, suasananya berubah drastis. Bising kendaraan berganti dengan suara angin yang berdesir di antara dedaunan, berpadu dengan nyanyian serangga malam.

Jalanan sempit dan tak terawat, tapi inilah jalur tercepat. Pepohonan rindang membentuk kanopi di atas kepalaku, menciptakan bayangan yang menari lembut setiap kali angin berembus. Cahaya bulan menyusup di antara celah-celah dedaunan, melukis mozaik cahaya dan bayangan di tanah yang kupijak.

Aku menarik napas dalam-dalam. Sunyi, dingin, tetapi anehnya… menenangkan.

Setiap langkah membawaku semakin jauh dari hiruk-pikuk kota, seakan memasuki dunia lain. Suasana hutan yang sunyi dan misterius membuat detak jantungku berpacu lebih cepat—bukan hanya karena berjalan cepat, tapi juga karena firasat aneh yang menjalari tubuhku.

Namun, meski sadar bahwa waktu tidak berpihak padaku, kakiku tiba-tiba berhenti. Pandanganku terpaku pada sebuah jembatan tua yang menggantung rapuh di atas ngarai sungai. Hujan semalam mungkin telah memperburuk keadaannya, membuat kayu-kayunya lapuk dan tali-temalinya nyaris putus. Di bawah sana, arus sungai mengamuk, suaranya bergemuruh, menelan hampir semua kesunyian hutan.

Tapi bukan jembatan itu yang membuat dadaku mencengkam.

Di sana, tergantung pada sisa-sisa tali yang hampir putus, dua anak kecil—tak lebih dari tujuh atau sembilan tahun—bergelayutan di ambang maut. Tangan mereka gemetar, wajah mereka basah oleh air mata. Tangisan mereka melengking, memohon pertolongan, tapi nyaris tenggelam dalam gemuruh arus sungai di bawah.

Aku membeku. Kakiku terkunci di tempat, jari-jariku mencengkeram kantong plastik berisi action figure yang kubeli beberapa jam lalu. Pikiranku berkecamuk. Haruskah aku berlari mencari bantuan? Tapi berapa lama waktu yang tersisa? Tali itu kian menipis, dan dalam hitungan menit, mereka bisa terjatuh ke dalam arus yang tak akan memberi mereka kesempatan kedua.

"AAAA... TOLONG!!"

Teriakan mereka menembus kebisuanku, mengguncangku dari kebekuan.

Aku bukan pahlawan. Aku bukan orang yang berani mengambil risiko. Dua tahun terakhir, aku selalu lari dari masalah, membiarkan diriku tenggelam dalam bayang-bayang kepengecutan. Aku bukan lagi seseorang yang dulu berdiri di garis depan, menantang bahaya tanpa ragu.

"Hiks... tolong kami..." suara mereka melemah, seiring dengan tali yang semakin merenggang.

Pikiranku dipenuhi seribu kemungkinan buruk. Jika aku menarik mereka, jembatan itu bisa runtuh, menyeretku bersama mereka ke dalam sungai. Tapi jika aku diam—jika aku memilih mundur—aku tahu aku tidak akan pernah bisa memaafkan diriku sendiri.

"WAAAAA!!! IBU TOLONG!" tangis mereka semakin menggelegar ketika tali yang menjadi penopang mereka semakin mendekati ambang batasnya.

Tiba-tiba, sesuatu di dalam diriku pecah.

Tanpa sadar, kantong plastik di tanganku terjatuh, isinya berhamburan di tanah.

Dan sebelum sempat berpikir dua kali, kakiku melangkah maju. Lututku bergetar saat aku merangkak perlahan ke ujung jembatan yang rapuh. Setiap gerakan terasa seperti perjudian antara hidup dan mati.

"Cepat! Pegang tanganku!" teriakku, suara bergetar di antara desir angin dan gemuruh air.

Dengan sisa tenaga yang kupunya, aku menarik anak pertama ke atas. Nafasku tersengal, dada naik-turun seiring ketegangan yang menggerogoti tubuhku. Keringat dingin dan air mata bercampur di pipiku, sulit membedakan mana yang satu dan mana yang lain.

Anak kedua kini gantian meraih tanganku, jemarinya gemetar, mencengkeram erat seolah hidupnya bergantung padaku—dan memang benar begitu. Dengan tarikan terakhir, aku berhasil mengangkatnya ke daratan. Napas mereka tersengal, wajah basah oleh tangis, tapi mereka selamat.

Namun kelegaan itu hanya bertahan sesaat.

KRAAKK!

Ujung jembatan tempatku berlutut berderit nyaring, kayu-kayunya retak, mengancam untuk runtuh kapan saja. Aku tak perlu berpikir lama—jembatan ini tak akan sanggup menahan kami bertiga lebih lama lagi.

Tanpa ragu, aku meraih kedua anak itu dan melempar mereka ke pinggir ngarai, menjauh dari bahaya.

"Sialan!" batinku berteriak, tapi ini satu-satunya cara.

Mereka terhuyung di tanah basah, terkejut, tetapi aman. Sedangkan aku masih berdiri di atas ujung jembatan yang nyaris runtuh, merasakan bagaimana setiap pijakan di bawah kakiku kehilangan kekuatannya.

Aku bersiap melompat, mencoba menyusul mereka.

Namun takdir berkehendak lain.

Kayu rapuh di bawahku akhirnya menyerah. Dalam sekejap, aku kehilangan pijakan. Udara mencengkeram tubuhku saat gravitasi menarikku ke dalam kehampaan.

Dalam detik terakhir sebelum tubuhku terjatuh, mataku menangkap bayangan kedua anak itu—mereka berdiri di tepian, menatapku dengan wajah ketakutan dan harapan.

Lalu, segalanya menjadi hitam.

Hal terakhir yang kuingat adalah ganasnya arus sungai yang menelanku tanpa ampun. Air bergejolak di sekelilingku, mengguncang tubuh yang sudah kehilangan tenaga. Nafasku tersengal, paru-paru menjerit meminta oksigen, namun yang kudapatkan hanya cairan dingin yang merayapi tenggorokanku.

Begini, apa yang kalian harapkan dari seseorang yang menghabiskan hampir dua tahun hidupnya hanya dengan mengurung diri di flat sempit, tenggelam dalam dunia game online? Kekuatan fisikku sudah lama menghilang bersama ambisi yang dulu pernah kumiliki.

Ironis, bukan? Jika aku bisa tertawa sekarang, aku pasti akan melakukannya. Setidaknya, aku tidak mati sebagai pecundang yang hanya meratapi hidup. Setidaknya, aku melakukan sesuatu.

Tapi tetap saja, sial.

Seandainya aku tahu semuanya akan berakhir seperti ini, aku akan menelepon orang tuaku sekali lagi. Bukan untuk meminta tunjangan seperti biasanya, tapi untuk sekadar berterima kasih. Untuk memberi tahu mereka bahwa, meskipun aku selalu merasa gagal, aku tetap menyayangi mereka.

Di antara benda-benda yang ikut terseret, aku melihat sesuatu yang familiar—sebuah kotak salad milik tetangga gadisku. Kotak itu mengapung di dekatku, terombang-ambing di tengah derasnya arus.

Mungkin... jika aku diberikan kesempatan kedua, aku akan melakukan segalanya dengan lebih baik. Aku akan memulai dari sesuatu yang sederhana—mengembalikan kotak salad itu, mengucapkan terima kasih, dan... mungkin, meminta untuk berteman. Aku ingin punya teman. Seseorang yang bisa berbagi cerita dan tawa, seseorang yang akan mengingatku saat aku pergi.

Aku ingin ada yang menangisi kepergianku.

Aku ingin tahu bahwa aku pernah berarti bagi seseorang.

Tapi sekarang, semua itu hanyalah angan-angan yang memudar bersama kesadaranku. Dunia di sekelilingku semakin gelap, suara gemuruh air perlahan menghilang. Aku tidak bisa lagi merasakan tubuhku.

Aku berharap ibu dan ayah tidak lupa mengambil ijazah pascasarjanaku. Setidaknya, itu satu-satunya kenangan yang bisa kutinggalkan untuk mereka.

Selama ini, aku selalu merasa tidak berarti—hidup dalam rutinitas yang hampa, tanpa arah. Namun, di detik-detik terakhir ini, aku mengerti. Aku telah memilih untuk menolong, untuk melakukan sesuatu yang lebih besar dari diriku sendiri.

Dan mungkin, itu sudah cukup.

Mungkin hidupku memang akan berakhir di tengah derasnya arus ini. Tapi setidaknya, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku tidak lari. Tidak seperti hari-hari sebelumnya, di mana aku hanya bersembunyi dari dunia, tenggelam dalam rasa takut dan keputusasaan.

Setidaknya, di detik terakhir ini, aku kembali menjadi diriku yang dulu—seseorang yang naif, yang tak pernah ragu mengulurkan tangan, yang percaya bahwa dunia ini masih layak diperjuangkan. Bukan aku yang penuh ketakutan, bukan aku yang telah menjadi pecundang sebelum terjatuh ke sungai ini.

Ironisnya, mungkin aku memang tidak pantas memiliki teman. Dua tahun terakhir aku menghindari semua hubungan sosial, menutup diri dari orang lain. Dan sekarang... setidaknya, aku tidak perlu merasa bersalah karena tak ada yang akan menangisiku selain orang tuaku.

Aku menghembuskan napas terakhir dalam kesadaran yang menipis, lalu membiarkan tubuhku pasrah pada arus yang menggulung. Aku berhenti melawan. Tidak ada lagi usaha untuk mencari pegangan, tidak ada lagi dorongan untuk bertahan. Aku hanya membiarkan diriku tenggelam dalam kesunyian yang dingin dan pekat.

Hingga akhirnya, semuanya menjadi gelap.