"Setiap malam, mimpi-mimpi itu seolah menjadi panggilan dari masa depan yang menanti, mengungkapkan rahasia-rahasia yang tersembunyi di balik bayangan masa lalu, tapi aku sayangnya tidak percaya tahayul"
Era Penjajahan ke-7, Midgaria. Tahun ke-92.
Sebelum kita mulai, ada beberapa hal yang harus kalian ketahui tentang dunia ini. Siapa tahu, kalian akan menjadi "Pahlawan" berikutnya—orang yang dipanggil untuk membasmi kegelapan yang mengancam tempat ini.
Aku selalu ada di sana, berdiri sebagai putra mahkota Kekaisaran, saat kuil mempersiapkan ritual pemanggilan. Benar, ritual yang mendatangkan Pelancong Astral. Mungkin kalian pernah mendengar istilah itu, mungkin kalian sendiri adalah mantan Pelancong Astral. Atau bisa saja, orang yang kalian kasihi pernah menghilang tanpa jejak, dipanggil ke dunia yang tak mereka kenal. Siapa tahu, mungkin kalian yang selanjutnya.
Kalian mungkin sudah akrab dengan kisah-kisah seperti ini—dari film animasi yang kalian tonton, dari komik yang kalian baca. Kisah di mana seorang asing dipanggil ke dunia lain dan menjadi pahlawan. Kalian mungkin berpikir itu keren. Tapi percayalah, menjadi Pelancong Astral bukanlah sebuah anugerah. Itu adalah belenggu. Sebuah rantai yang mengikat kalian sebagai budak takdir.
Tentu saja, ada pengecualian. Leluhurku, misalnya. Dialah Pelancong Astral pertama yang menaklukkan lima klan dan mendirikan kekaisaran ini. Berkat dirinya, tujuh generasi keturunannya hidup dalam kemewahan—termasuk aku. Aku tak akan menyangkal itu.
Jadi, jika kalian benar-benar ingin menjadi Pelancong Astral, silakan berharap pada takdir. Barangkali, takdir akan menjemput kalian ke dunia yang nyaris hancur ini. Kalian akan disambut dengan hangat, dielu-elukan sebagai calon pahlawan yang akan membawa perdamaian.
Dan aku? Aku akan berdiri di sana, di tengah lingkaran sihir, tersenyum ramah menyambut kalian. Sama seperti yang kulakukan pada Pelancong Astral sebelumnya. Sebelum mereka maju ke medan perang, menghilang, dan tak pernah kembali…
Jadi, sekali lagi, selamat datang di Kekaisaran Midgaria. Aku akan menjamu kalian dengan hangat—dan menunggu keputusan kalian. Apakah kalian akan pulang sebagai pahlawan, atau hilang tanpa nama, seperti mereka yang datang sebelum kalian?
~~~
Midgaria. Sebuah kekaisaran yang menguasai hampir sembilan puluh persen dunia, dihuni oleh lima ras yang berbeda. Namun, delapan ratus tahun lalu, gerbang menuju Gehenna—dunia bawah yang dipenuhi kegelapan—terbuka, mengubah tanah subur ini menjadi lautan kematian.
Seratus tahun setelahnya, tepatnya tujuh abad lalu, kuil menemukan sebuah kristal magis yang mampu menyimpan Mana dalam jumlah besar. Bersamaan dengan itu, mereka menemukan sebuah mantra pemanggilan. Setelah serangkaian percobaan, ritual itu akhirnya sukses—mendatangkan seseorang dari luar dunia ini. Seorang pria dengan Mana yang tak tertandingi, yang menyatukan lima ras dan memukul mundur pasukan Gehenna. Dialah Kaisar Pertama, pendiri Midgaria.
Namun, perdamaian itu hanya bertahan sekejap. Tak sampai setahun, pasukan Gehenna kembali bangkit. Dalam keputusasaan, kuil mengulang ritual pemanggilan, berharap menemukan sosok yang mampu menyamai sang kaisar. Kali ini, tiga orang muncul—Pelancong Astral dengan kekuatan luar biasa.
Midgaria bertahan. Tapi bertahan bukan berarti merdeka.
Sejak saat itu, ritual pemanggilan menjadi tradisi. Tahun demi tahun, kuil dan kekaisaran terus mendatangkan para Pelancong Astral, berharap salah satunya akan membawa kedamaian yang sesungguhnya. Namun, harapan itu selalu berakhir sama—Midgaria tetap berada di bawah bayang-bayang perang.
Padahal, tanpa peperangan, negeri ini begitu indah. Sihir bukan sekadar alat tempur, tetapi bagian dari kehidupan. Mana, energi yang mengalir dalam setiap makhluk, menjadi fondasi eksistensi mereka. Bagi rakyat jelata, sihir adalah kemudahan dalam keseharian. Bagi para prajurit, itu adalah senjata. Bagi kaum bangsawan dan Hierophant, sihir adalah status. Dan bagi keluarga kekaisaran, itu adalah warisan yang tak tergantikan.
Tapi aku… berbeda.
Namaku Elenio. Putra mahkota Midgaria. Keturunan langsung dari Pelancong Astral pertama. Namun, di dunia yang menjunjung sihir, aku adalah anomali—seorang pangeran tanpa Mana.
Garis keturunan kekaisaran diwarisi dengan kapasitas Mana yang luar biasa. Tapi aku lahir tanpa setetes pun. Sebuah aib. Sebuah kutukan.
Aku mendesah, menatap langit kelam di atas kepalaku.
Malam ini, mimpi yang sama kembali menghantuiku.
Di hadapanku, sebuah bangunan kuno terbentang dalam kesunyian. Dindingnya runtuh, atapnya telah lama menghilang, menyisakan sisa-sisa kejayaan yang terkikis waktu. Deretan bangku kayu yang lapuk berbaris di dalamnya, beberapa telah hancur menjadi serpihan debu. Di ujung ruangan, altar yang retak masih berdiri kokoh, seolah menantang kehancuran.
Dulu, tempat ini pasti pernah megah.
Sekarang, hanya bayangan samar dari kejayaannya yang tersisa.
Dan entah mengapa… setiap malam aku selalu kembali ke sini.
Kakiku melangkah mendekati altar yang lapuk, aroma anyir menusuk hidung begitu kuat hingga hampir membuatku mual. Namun, ekspresiku tetap datar. Aku terus berjalan melewati bau darah segar itu—bau yang begitu akrab hingga aku tak perlu menebak dari mana asalnya.
Dalam keheningan malam yang menyesakkan, tubuh seorang gadis tergeletak tak bernyawa di atas altar, terbenam dalam genangan merah yang telah meresap ke permukaan batu. Pedang tertancap di dadanya, meninggalkan luka yang menjadi saksi tragedi bisu. Aku berdiri di hadapannya, menatap tanpa kata. Tak ada keterkejutan, tak ada keterkejutan—hanya kepasrahan yang dingin. Mimpi ini selalu sama.
"Zura..."
Aku berbisik, nyaris tak terdengar. Dulu, di malam-malam awal ketika mimpi ini menghantuiku, aku pernah meraung, berteriak hingga tenggelam dalam kepedihan yang tak tertahankan. Tapi kini? Hanya keheningan yang tersisa.
Aku berlutut, jemariku menyentuh pipi dinginnya. Kazura Soratha—nama yang diberikan olehku, namun keberadaannya adalah hadiah dari kakek. Hadiah ulang tahunku yang keenam. Kaisar tua itu membelinya dari pasar budak, membungkusnya dengan pita merah seolah ia tak lebih dari barang dagangan. Kebejatannya memang tak berbatas.
Selain memenuhi istana dengan selir-selirnya, dia punya kebiasaan menjijikkan—menyamar sebagai rakyat jelata dan berkeliaran di pasar gelap, membeli budak dengan mata berbinar penuh ketertarikan. Zura adalah salah satu dari mereka. Sejak hari itu, ia selalu berada di sampingku.
Aku menghela napas, membiarkan dinginnya tubuhnya meresap ke dalam jemariku. Namun, seperti yang selalu terjadi, ketenangan ini tak pernah bertahan lama.
Angin malam berembus, membawa serta sesuatu yang lebih pekat dari sekadar udara dingin. Dari sudut kuil yang tak terjangkau cahaya, asap hitam mulai berkelindan, berkumpul dan membentuk siluet yang mengerikan. Entitas itu, kelam seperti malam tanpa bintang, menatapku dengan mata merah membara. Sorotnya penuh ejekan, penuh ancaman.
Lalu, tawa serak itu pecah.
"Sudah lama sejak terakhir kali kau menangis untuk gadis budak itu, bukan?". Suara kasar itu bergema, menyelinap ke dalam setiap sudut keheningan, menciptakan geliat muak di perutku. Setiap malam, ia datang. Setiap malam, ia berdiri di sana, menyeringai dalam bayangan. Seperti mimpi buruk yang tak mengenal akhir.
Ia menyebut dirinya anak dari kehancuran, pengikut paling setia kematian. Aku menyebutnya iblis.
Setiap kali ia muncul dalam mimpiku, dunia seakan terjerumus ke dalam kegelapan tanpa akhir. Malam demi malam, ia merayap ke dalam kesadaranku, mengubah tidurku menjadi penjara tanpa harapan.
"Memangnya salah siapa kalau aku mulai terbiasa dengan semua ini?" gumamku lirih, menunduk untuk menghindari tatapannya, berusaha menyembunyikan ketakutan yang membekas di wajahku.
Iblis itu tertawa rendah, suara seraknya menggema, merayapi udara seperti racun. "Tak perlu berbisik, bocah. Aku bisa mendengar segalanya di sini, bahkan suara hatimu yang gemetar ketakutan."
Aku mengepalkan tangan. "Kenapa harus selalu di dalam mimpiku? Kenapa setiap malam? Kenapa harus dia?"
Tatapanku beralih ke sosok yang tergeletak di altar—Zura. Tubuhnya dingin, terbungkus cahaya bulan pucat yang jatuh melalui celah reruntuhan. Aku muak melihatnya seperti ini. Aku muak harus menyaksikannya mati lagi dan lagi.
Tawa iblis itu mereda, berganti dengan bisikan mengerikan yang bergema di antara dinding kuil yang hancur. "Jawabannya tetap sama, seperti malam-malam sebelumnya," desisnya. "Aku adalah mimpi buruk yang ditinggalkan masa lalumu... dan gadis itu adalah mimpi buruk yang diwariskan takdir untuk masa depanmu."
Aku mendongak, menatapnya penuh kebencian. Sosoknya bergerak di atas altar, bergolak seperti bayangan hidup dengan mata merah yang bersinar menembus kegelapan. Semakin lama aku menatapnya, semakin nyata ia terasa—seolah bukan sekadar ilusi dalam mimpiku.
Tanpa peringatan, tubuhnya mengembang. Asap hitam yang membentuk dirinya semakin pekat, berputar liar, menciptakan pusaran yang mengurungku dalam kegelapan yang mencekik. Nafasku tercekat. Dingin menjalari tulang-tulangku.
Mimpi ini, kutukan ini... kapan akan berakhir?
Aku tak lagi punya keberanian untuk berlari. Seperti malam-malam sebelumnya, tubuh ini membeku dalam ketakutan. Sebelum sempat bereaksi, tangan hitam yang terbuat dari asap pekat sudah membelit tubuhku, mencengkeram erat seperti lilitan ular yang tak berujung.
Napas terasa berat, dadaku terhimpit seolah dunia menolak memberiku ruang untuk bernapas. Aku berusaha meronta, namun semakin kuat aku melawan, semakin erat genggamannya. Aku terjebak dalam pertarungan antara mimpi dan kenyataan, dihadapkan pada iblis yang menjelma dari bayangan malam.
"Khakhakhakha! Seperti biasa, kau selalu terlihat menyedihkan!" Suaranya bergetar dalam keheningan, mencemooh dengan nada penuh kepuasan. "Tidak seperti saudara-saudaramu, kau terlahir lemah dan tak berguna."
Aku menggertakkan gigi, berusaha menahan gejolak emosi yang meletup dalam dada. "Bukan salahku terlahir tanpa Mana… a-aku juga tidak bahagia menjadi pecundang di antara mereka!" Suaraku bergetar, meski aku mencoba menyembunyikan kepedihan di baliknya.
Tiba-tiba, pilar tua di dalam kuil itu meledak dengan suara menggelegar. Puing-puing beterbangan, debu mengepul memenuhi udara. Aku tersentak, refleks memejamkan mata saat reruntuhan beterbangan di sekitarku. Ketika kubuka kembali, iblis itu tersenyum, memperlihatkan deretan taring tajam yang memenuhi mulutnya.
"Manusia memang makhluk yang menarik," gumamnya, suaranya merayap seperti racun. "Mereka selalu berpura-pura kuat ketika mengira masih punya kendali atas keadaan."
Ia mendekat, suaranya menelusup ke dalam benakku. "Mari bernegosiasi lagi. Jika kau setuju bersekutu denganku, aku akan memberimu kekuatan untuk melangkahi saudara-saudaramu."
Aku membisu. Tubuhku gemetar, tapi pikiranku tetap teguh. Tidak. Aku tak akan terlibat lebih jauh dengan iblis ini. Tak ada hal baik yang akan datang dari perjanjian dengannya. Aku tak hanya menghancurkan diriku sendiri, tapi juga menyeret Zura dan Kaisar ke dalam kehancuran yang tak berujung.
Menelan kepanikan, aku memaksakan senyum getir. "T-tidak, terima kasih. S-setelah kakakku naik takhta dan menggantikanku sebagai putra mahkota, a-aku akan meninggalkan istana dan hidup tenang bersama Zura."
Iblis itu terdiam sejenak. Lalu cengkeramannya menguat, membuatku seakan diremukkan oleh kekuatan tak kasatmata. Aku merintih, namun ia tak berhenti.
"Ah… Zura?" desisnya penuh minat.
Dari sudut mataku, aku melihat tangan hitam lain melayang ke arah tubuh Zura yang terbaring tak bernyawa di altar. Seketika, tubuhku memberontak, naluri mendesakku untuk bertindak. Aku harus menghentikannya—dengan cara apa pun.
"ZURA!"
Tawanya menggema, menusuk telinga seperti gema kematian yang tak berkesudahan. "Khakhakhakha! Gadis ini akan mati mengenaskan…" Suaranya bergemuruh, mengisi ruang dengan ancaman yang mencekik. Tubuhku menegang, jantungku berdebar kencang saat ia melanjutkan dengan nada licik, "Entah oleh tanganku, kaummu, atau mungkin… oleh tanganmu sendiri."
"HENTIKAN! APA SAJA, ASAL BUKAN DIA!"
Hatiku berdenyut dalam kemarahan yang membara. Entah sejak kapan ketakutan yang membelenggu berubah menjadi api yang menghanguskan. Zura, gadis yang aku cintai, berada dalam bahaya. Aku bersumpah dalam hati—apa pun yang terjadi, iblis ini tidak akan keluar dari mimpi burukku dan menyentuhnya.
"Khakhakhakha! Itulah sebabnya kau butuh kekuatan, bocah." Ia menyeringai, suaranya menyusup ke dalam pikiranku, merayap bagai racun. "Jual jiwamu padaku, dan aku akan memberimu kekuatan untuk melangkahi saudaramu."
"Tidak!" Jawabku tegas. Suaraku mungkin bergetar, tapi hatiku tetap teguh.
Iblis itu mendekat, menelusup lebih dalam, seolah ingin menelanjangi jiwaku. "Keras kepala juga… Tapi kau akan menerimanya, cepat atau lambat."
Bayangan pekatnya membesar, melahap sekitarku dengan kegelapan yang menjalar. "Dan saat kau benar-benar terikat denganku, aku akan menyeretmu ke dalam keputusasaan yang tak berujung."
Aku bergidik. Napasku tercekat, tetapi aku tetap berdiri, membatu dalam ketakutan.
"Tapi sepertinya… bukan malam ini." Suaranya menggema, semakin menjauh. "Cahaya Solstara telah terbit dari timur. Sampai jumpa di kegelapan selanjutnya."
Aku meremas jemariku dengan frustrasi. "Kenapa?! Kenapa harus aku yang kau ganggu?! Aku mohon… hentikan! Aku benci malam-malam bersamamu! Pergilah untuk selamanya!"
Teriakanku menggema dalam kehampaan. Namun, iblis itu hanya tertawa sebelum tubuhnya lenyap seperti asap tertiup angin, meninggalkanku dalam keheningan yang menyiksa.
Dada ini masih terasa sesak, seakan aku dicekik oleh sesuatu yang tak kasatmata. Lalu, perlahan, aku merasakan tarikan lain—sesuatu yang menarikku keluar dari mimpi buruk ini.
Di antara kesunyian, sebuah suara terdengar. Suara yang kukenali.
"Nio..."
Suara lembut itu menembus kegelapan, menarikku dari mimpi buruk yang tak berujung. Kehangatan menyusup perlahan, membawaku kembali ke dunia nyata.
Aku tersentak bangun, tubuhku basah oleh keringat dingin. Pening masih melanda, membuat setiap gerakan terasa berat. Namun, aku tetap memaksakan diri menoleh ke arah sumber suara tersebut.
Seorang gadis duduk di tepi ranjang, rambutnya seputih awan, wajahnya bagai porselen dengan lekuk halus yang sempurna, serta mata biru tenang seperti langit cerah di siang hari. Kazura Soratha. Zura.
"Nio? Apa kau baik-baik saja?"
Tangannya yang dingin dan lembut menyentuh dahiku, mengukur suhu tubuhku dengan tatapan penuh kekhawatiran.
Aku memaksakan senyum, menyembunyikan ketakutan yang terus menghantuiku setiap malam. Aku tidak ingin Zura terbebani.
"Aku baik-baik saja, hanya mimpi buruk biasa." Suaraku terdengar ringan, meski ada kegelisahan yang tertahan. Aku menambahkan, "Aku bermimpi jatuh dari ketinggian pagi ini."
Zura mengangkat alis, raut wajahnya tak sepenuhnya percaya. "Benarkah? Tapi kau sering terbangun dengan keringat dingin seperti ini."
Ia mengeluarkan sapu tangan dan dengan gerakan lembut, mengusap peluh di dahiku, seperti seorang ibu yang merawat anaknya.
Aku menarik kepalaku menjauh, bukan karena tidak suka, tapi terkadang perhatian Zura membuatku merasa seperti bayi besar yang tidak bisa bertahan hidup tanpa pengasuh.
Zura menghela napas, mungkin kecewa dengan reaksiku. Namun, aku butuh sedikit ruang untuk diriku sendiri, bahkan di tengah kehangatan perhatiannya.
Hening sesaat sebelum aku memecahnya. "Jadi?" Aku menoleh padanya, mencoba mengalihkan suasana. "Apa yang membawa kekasih cantikku kemari pagi-pagi?"
Senyum simpul terukir di bibirnya, seolah mencari kata-kata yang tepat sebelum akhirnya berkata, "Ada rapat mendadak. Kaisar memanggilmu ke ruang takhta."
"Begitu?" Aku mengangguk, lalu bangkit perlahan. "Aku akan segera bersiap. Kau bisa berangkat lebih dulu jika sudah siap."
Zura menatapku sejenak sebelum mengangguk dan beranjak pergi. Langkahnya ringan, tapi ada sesuatu di dalam diriku yang enggan melihatnya pergi begitu saja. Aku memperhatikannya hingga sosoknya menghilang di balik pintu, meninggalkan perasaan campur aduk yang sulit kugambarkan.
Setelah langkah Zura benar-benar menghilang di balik pintu, aku beranjak dari tempat tidur, melepaskan jubah tidurku tanpa peduli di mana ia jatuh. Berdiri di depan cermin, aku menatap pantulan tubuhku yang hanya terbungkus celana sebetis.
Rambut merah gelap, mata merah, dan tubuh kurus yang seakan tertahan di usia dua belas tahun—meskipun kenyataannya aku sudah lima belas. Dengan tinggi 147 sentimeter, tak heran banyak orang mengira aku masih bocah. Bahkan Zura, yang berusia delapan belas tahun, lebih tinggi delapan belas sentimeter dariku. Jika kami berjalan bersama, tidak sulit membayangkan orang-orang mengira dia kakakku, bukan tunanganku.
Aku mendesah pelan, lalu menatap kalung di leherku—liontin semanggi berdaun lima dengan batu giok hijau pekat, tergantung pada seutas tali sewarna sulur pohon. Aku masih ingat jelas saat kakek memberikannya, tepat sebelum penobatanku sebagai putra mahkota. Hanya satu amanatnya:
"Jangan lepaskan kalung ini di hadapan para petinggi Midgaria, bahkan keluarga kekaisaran. Jangan biarkan mereka tahu siapa kau sebenarnya."
Aku menarik napas dalam. Aku tahu, kakek ingin melindungiku. Tapi tetap saja, gelar ini terasa seperti beban yang terlalu berat. Aku tidak pernah merasa cocok, tidak pernah merasa pantas.
Dan hari ini, aku harus kembali menghadapi tanggung jawab besar itu.
Aku mendengus pelan. Andai saja aku bisa mewarisi sedikit saja keahlian para kaisar terdahulu, mungkin aku tidak akan segugup ini setiap kali menghadiri rapat. Tapi kenyataannya, aku selalu merasa cemas. Bahkan berbicara dengan orang asing pun sering kali membuatku gagap. Apalagi ketika harus berdiri di tengah ruangan yang penuh dengan tatapan tajam—mata-mata yang seolah berharap aku lenyap agar posisi ini bisa diberikan pada saudara yang lebih layak.
Mereka tidak tahu. Mereka tidak tahu bahwa aku telah berulang kali memohon pada kakek untuk menyerahkan jabatan ini kepada orang lain. Namun, jawaban lelaki tua itu selalu sama: tidak.
Mau bagaimana lagi? Kaisar telah memilihku, meski seluruh kekaisaran menentangnya.
Setidaknya, hari ini aku tetap harus menghadiri rapat itu. Semoga saja kecacatanku tidak membuat kakek malu. Dan semoga, meski hanya sedikit, aku bisa membuktikan bahwa keberadaanku punya nilai.
Meskipun dunia melihatku sebaliknya.
~~~
Aku menarik napas berkali-kali, berusaha menenangkan diri, lalu mempercepat langkah. Aku tidak boleh terlambat ke ruang tahta. Lorong-lorong megah kastil dipenuhi para bangsawan dan tokoh penting yang tampaknya juga akan menghadiri rapat hari ini.
Tiba-tiba, aku merasakan kehadiran seseorang di belakangku. Aura kebencian yang pekat menyelimuti udara, membuat bulu kudukku berdiri. Aku tidak perlu menoleh untuk tahu siapa itu.
Namun, tetap saja, aku memutar kepala.
Seorang laki-laki berdiri di sana, jauh lebih tinggi dan berpostur lebih kuat dariku. Rambut merahnya menandakan darah keluarga kekaisaran, sementara mata hijau gioknya yang tajam berkilat dengan sorot penghinaan.
Aku tidak mengenalnya. Tapi dari ciri-cirinya, dia pasti salah satu anggota keluarga kaisar—entah paman atau sepupu. Jujur saja, aku tak bisa mengingat semuanya. Kakek memiliki terlalu banyak selir, bahkan mencetak rekor dalam sejarah Midgaria dengan berhasil memenuhi seluruh kamar istana selir selama masa pemerintahannya.
Laki-laki itu menyeringai. "Aku tidak tahu kalau Kaisar masih menyimpan kotoran di istana utamanya."
Aku menelan ludah, berusaha menahan diri agar tidak gemetar di hadapannya. Tatapannya begitu tajam hingga aku refleks menundukkan kepala, menghindari kontak mata.
"H-Hai… Selamat siang. Kau juga ikut rapat?" Aku memaksakan suara, tapi yang keluar justru gemetar dan terbata-bata.
"Tsk. Hentikan basa-basi gagapmu itu!" suaranya meninggi, penuh kejengkelan. Dari sudut mataku, aku bisa melihat ekspresinya yang muak. "Dengar baik-baik, aku hanya menyapa untuk memperingatimu."
Jari-jariku tanpa sadar saling menggesek, kebiasaan buruk setiap kali aku cemas. Aku tetap menunduk, menghindari tatapannya yang terasa seperti pisau tajam di tengkukku.
"Aku yang akan menemani si Pelancong Astral dalam perjalanannya. Jadi jangan coba-coba mengacau atau, lebih parah lagi, mengajukan diri!" Suara itu tegas, sarat emosi.
Aku tersentak, sedikit terintimidasi oleh nada kasarnya. "H-Hah? Ti-Tidak mungkin aku mengajukan diri… Ehm, kakak? Atau paman?" tanyaku gugup, mencoba menebak identitas laki-laki di depanku.
Dia mendengus. "Aku Finnian! Adik dari Kak Arcanis! Setidaknya hafalkan silsilah keluargamu sendiri!"
Maaf saja, tapi aku bisa gila kalau harus mengingat semua pangeran dan putri hasil dari selir-selir kaisar tua itu. Menghadapi tatapan tajam mereka saja sudah cukup membuatku putus asa. Semua orang di kekaisaran ini membenciku—dan aku harus berterima kasih kepada kakek untuk itu.
Tapi, aku tahu siapa Paman Arcanis. Dia salah satu orang kepercayaan kaisar. Tidak seperti yang lain, dia menyayangi semua saudara dan keponakannya—bahkan aku. Aku berhutang banyak pada pria itu. Setiap kali rapat diwarnai cemoohan terhadapku, dialah yang selalu pasang badan untuk membelaku.
"B-Begitu? Salam kenal, paman Finnian. Se-Senang bertemu denganmu." Aku mencoba tersenyum dan mengulurkan tangan.
Namun, Finnian malah menepisnya dengan kasar.
"Dengar, cacat! Akhirnya, Kaisar mempercayakan misi kepadaku! Tapi semuanya akan berantakan jika aku harus menjalankannya sambil mengasuhmu!" Jemarinya menekan dadaku dengan keras, seolah memberiku peringatan.
Dahiku menegang, tapi aku tetap memaksakan senyum. "H-Hah… Ha… Itu tidak mungkin, Finnian. Aku hanya akan menjadi penghambat jika ikut dalam misi itu." Tawaku getir. "Lagipula, kakek tidak akan mengizinkan."
Finnian mendengus sinis sebelum melontarkan kalimat yang begitu familiar di telingaku. "Kak Arca lebih pantas menjadi putra mahkota."
Aku membeku.
Sudah berkali-kali aku mendengar kalimat itu. Seharusnya aku sudah terbiasa.
Tapi nyatanya, aku tidak.
Emosi di dadaku melonjak, mendidih—namun, seperti pecundang, aku hanya bisa menekannya dalam diam.
"Finni!"
Sebuah suara menggelegar dari belakang, tegas namun tetap berwibawa.
Seorang pria dengan rambut panjang sepunggung berjalan mendekati kami. Jubah putih panjang semata kaki dengan ukiran emas di sisinya melambai lembut saat ia melangkah. Paman Arcanis.
"Rapat akan segera dimulai. Kenapa kalian masih di sini?" tanyanya dengan nada bijak, meski sorot matanya tajam.
Finnian mundur selangkah dariku, sikapnya berubah lebih tenang. "Aku hanya berjalan sebentar, Kak. Baru saja hendak masuk."
Paman Arca mengangguk, lalu mendekati kami. Pandangannya beralih kepadaku.
"Kau yakin tidak sedang merundung Elenio?" tanyanya, meletakkan tangan di kepalaku dan mengusapnya dengan lembut.
Finnian terkekeh kering. "Hahaha… Tentu saja tidak, Kak. Kalau begitu, aku masuk dulu." Tanpa menunggu jawaban, ia segera bergegas ke ruang rapat, meninggalkanku bersama Paman Arca.
Tangan pria itu tetap mengusap kepalaku, seolah tahu betul kegelisahan yang bersemayam dalam diriku.
"Maaf kalau dia mengganggumu." Paman Arca tersenyum, lembut namun penuh keyakinan. "Mulutnya memang tajam, tapi percayalah, dia anak yang baik."
Aku hanya mengangguk pelan.
"Ayo masuk. Rapat akan segera dimulai."
Aku menarik napas dalam, sedikit lebih tenang karena berjalan beriringan dengannya. Namun, rasa takut itu masih menggelayut di dada.
Paling tidak, hari ini aku harus menjaga diri. Jangan sampai mempermalukan kakek di hadapan para bangsawan itu.
Semoga saja.