Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

99 Kilometer

🇮🇩Alreadfile
7
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 7 chs / week.
--
NOT RATINGS
277
Views
Synopsis
Di tengah kehancuran dunia, seorang pemuda berjaket coklat bernama Clein memutuskan untuk pergi ke suatu tempat yang satu-satunya masih aman untuk dihuni oleh umat manusia, namun ia harus menempuh jarak yang masih cukup jauh, yaitu sekitar 99 KM hanya dengan berjalan kaki. 99 KM - "A Journey to Hope"
VIEW MORE

Chapter 1 - I - Prolog

Namaku Clein, seperti biasa hari ini disambut dengan pagi yang indah, setidaknya, seindah yang bisa kuharapkan di dunia yang sudah berantakan ini. Aku membuka mataku perlahan, menyesuaikan pandanganku dengan cahaya redup yang menembus tirai jendela. 

Udara terasa lembap, dan bau anyir besi karat memenuhi ruangan, mungkin dari atap yang bocor akibat hujan semalam. Aku menghela napas panjang sebelum akhirnya bangkit dari tempat tidur, sebuah kasur lipat yang sudah mulai mengempis.

Dengan langkah berat, aku menuju jendela dan membuka tirai. Cahaya matahari menyinari ruangan, langit juga tampak indah namun menurutku keindahan itu hanya sebagai kamuflase.

Dari kejauhan, asap terlihat mengepul dari reruntuhan gedung-gedung yang hancur. Tapi hari ini, seperti biasa tidak ada suara apapun. Hanya keheningan yang mencekam, bahkan burung dan binatang lainnya pun seperti sudah tidak ada lagi di dunia ini.

Aku memalingkan pandangan dan kembali ke tas ransel besar yang selalu ada di sampingku. Dengan hati-hati, aku mengeluarkan persediaan dari tas, yaitu sekaleng tuna dan minuman kaleng. Aku memutar tutup kaleng tuna itu, dan bau amisnya langsung memenuhi udara.

"Seperti biasa, tuna.... Yummy, kesukaanku!" ucapku, mencoba menertawakan situasi ini. Tapi suaraku terdengar hampa, menggema di ruangan tersebut. Aku mencoba mengabaikan kondisi di luar yang telah hancur, tapi telingaku tetap waspada, mendengarkan setiap suara yang mungkin mengancam.

Ini adalah hari ke-20 sejak aku memutuskan untuk pergi ke Tepian Barat, daerah yang katanya masih aman atau mungkin setidaknya, lebih aman daripada tempat ini. Daerah itu sudah kutandai dengan lingkaran hijau di peta yang kusimpan rapat-rapat. Aku mengeluarkan peta itu lagi, membentangkannya di atas meja kayu yang sudah lapuk.

"Kalau dilihat-lihat, jaraknya sekitar 99 kilometer dari sini," gumamku, menelusuri garis jalan dengan jari.

"Jauh juga," keluhku sambil menghela napas, merasakan betapa beratnya perjalanan yang menantiku.

Tiba-tiba, suara gemerisik dari luar membuatku kaget. Aku membeku, jantung berdebar kencang. Perlahan, aku meraih pisau lipat yang selalu kusimpan di saku celana. Suara itu datang lagi.

Aku beringsut mendekati jendela, berusaha melihat tanpa menarik perhatian. Di kejauhan, ada bayangan bergerak. Bentuknya tidak jelas, tapi aku bisa melihatnya meliuk-liuk seperti asap hitam yang padat. 

Aku tidak tahu apa itu, tapi hal ini sudah biasa bagiku. Meski begitu, bisikan dari makhluk itu kembali terdengar di kepalaku, memanggil namaku, "Clein..."

Aku mencoba menutup telinga agar dapat mengusir suara itu. Tapi bisikan itu terus datang, semakin keras dan semakin mengganggu, "Clein... kamu tidak bisa lari selamanya."

"Bacot! Pergi sana!" sahutku, tapi hanya dalam imajinasiku saja. Karena seandainya aku benar-benar membalasnya, makhluk itu akan langsung menyergapku.

Jika aku berhadapan dengan Smokey, julukan yang kuberikan untuk makhluk itu maka aku harus tetap diam dan menunggu sampai ia pergi dengan sendirinya karena Smokey bukanlah makhluk biasa. 

Bentuknya seperti gumpalan asap hitam pekat dan juga terkadang bisa memadat menjadi sosok yang hampir menyerupai manusia. Aku pernah melihatnya dari kejauhan, dan itu sudah cukup membuatku tidak bisa tidur selama berhari-hari.

Setelah beberapa menit yang terasa seperti berjam-jam, akhirnya suara gemerisik itu perlahan menjauh. Aku masih menahan napas, mendengarkan dengan seksama sampai benar-benar yakin bahwa Smokey telah pergi. Udara di ruangan terasa lebih ringan, dan dingin yang menusuk tadi mulai menghilang. Aku menghela napas lega, meski tangan masih gemetar.

Dengan hati-hati, aku kembali ke meja kecil di sudut ruangan, di mana kaleng tuna dan minuman kaleng masih terbuka. Aku mencoba mengabaikan rasa mual yang tiba-tiba muncul, mungkin karena rasa takut tadi atau mungkin karena bau amis tuna yang semakin menusuk hidung. Tapi aku tidak punya pilihan selain memakan apa yang ada.

Aku mengambil sendok plastik dari tas dan mulai menyantap tuna itu, meski rasanya seperti bubur tanpa rasa di lidahku. Setiap suapan terasa berat, seperti mengunyah kenangan akan dunia yang dulu, dunia di mana sarapan pagi adalah nasi putih dan secangkir kopi susu, bukan tuna kaleng dingin yang berbau amis.

Inilah ceritaku dari satu-satunya orang yang selamat di kota ini. Aku tidak tahu apakah masih ada orang lain di luar sana, atau apakah aku benar-benar sendirian. Tapi jika ada yang menemukan buku harian ini setelah aku tiada, aku harap mereka membacanya sampai habis.

(Hari ke-20 dimulai)