Chereads / 99 Kilometer / Chapter 3 - III - Perjumpaan

Chapter 3 - III - Perjumpaan

Aku menghela napas panjang, mencoba mengusir perasaan tidak nyaman yang merayap di benakku. Graffiti itu mungkin hanya coretan orang yang putus asa, tapi aku tidak punya waktu untuk memikirkannya lebih jauh. Setiap detik yang kuhabiskan di sini hanya membuatku lebih dekat dengan bahaya.

Aku melangkah lagi, meninggalkan graffiti itu di belakang. Tapi pesannya tetap terngiang di kepalaku, seperti bisikan yang tidak bisa diabaikan. "If you look up at the sky, there is a possibility that you will see a god watching over you."

"Tunggu, jika dipikir-pikir lagi, graffiti yang tadi itu pasti bikinan manusia," pikirku, tapi siapa yang menulisnya? Dan kapan? Apakah masih ada orang lain di kota ini yang selamat, atau itu hanya pesan gurauan?

Mencoba mengingat kembali graffiti itu. Huruf-hurufnya besar dan berwarna merah, seolah ditulis dengan tergesa-gesa.

"Siapapun yang menulis itu, aku harap akan bertemu dengannya, meski dia gila sekalipun" gumamku.

Kemudian, aku melanjutkan kembali perjalananku, melangkah di antara reruntuhan kota yang dulu ramai. Jalanan yang kulewati sekarang hanyalah bayangan dari masa lalu, aspal retak, mobil-mobil yang berkarat dan terbengkalai, serta bangunan-bangunan yang hancur seperti kastil pasir yang diterjang ombak. Setiap langkahku mengeluarkan gema kecil, seolah kota ini adalah kuburan raksasa yang menunggu untuk menelan siapa pun yang berani mengganggu kesunyiannya.

Udara terasa berat, seperti menekan bahu dan pikiranku. Awan tebal di atas kepala tidak pernah beranjak, menciptakan suasana suram yang seolah tidak pernah berakhir. Aku mencoba untuk tidak memikirkan graffiti tadi.

Di tengah perjalanan, aku melihat sebuah supermarket yang masih berdiri, meski sebagian atapnya sudah runtuh. Aku memutuskan untuk mampir, berharap bisa menemukan bahan-bahan yang masih bisa kugunakan. Dengan hati-hati, aku mendekati pintu masuk yang sudah hancur. Kaca-kaca pecah bertebaran di lantai, dan udara di dalam terasa lembap dan berbau anyir.

Aku berhenti sejenak di depan pintu supermarket yang sudah hancur. Udara di sekitarnya terasa lembap dan berbau anyir, seperti campuran antara besi karat dan sesuatu yang membusuk. Aku menghela napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian sebelum masuk ke dalam.

Dengan hati-hati, aku membuka tas ransel besar di punggungku dan mengeluarkan senter kecil yang selalu kubawa. Senter itu sudah tua, dengan beberapa goresan di bodinya, tapi masih bisa diandalkan. Aku menekan tombolnya, dan cahaya kuning redup menyinari kegelapan di depanku.

Cahaya senter itu seperti seberkas harapan di tengah gelapnya suasana. Aku mengarahkannya ke dalam supermarket, dan sinarnya menembus lorong-lorong yang gelap dan sunyi. Rak-rak berisi sejumlah makanan dan barang-barang kebutuhan sehari-hari, meski sebagian atapnya sudah roboh dan debu menutupi, seperti selimut tipis yang menandakan betapa lamanya tempat ini telah ditinggalkan.

Aku melangkah masuk, setiap langkahku mengeluarkan suara berderit dari kaca-kaca pecah yang berserakan di lantai. Aku mencoba untuk tidak membuat suara yang terlalu keras.

Aku menemukan beberapa kaleng makanan yang masih utuh, kacang, sup, dan buah-buahan kaleng. Aku memasukkan semuanya ke dalam tas dengan hati-hati. Di lorong berikutnya, aku menemukan botol-botol air mineral yang masih tertutup rapat, aku mengambil beberapa botol tersebut dan mengecek tanggal expirednya.

Namun tiba-tiba, aku mendengar suara barang jatuh dari lorong belakang dan sontak mengarahkan senter ke sumber suara tersebut. Tapi tidak ada apa-apa, hanya terlihat tikus dengna bentuk aneh namun tidak membahayakan berlarian di antara puing-puing.

Setelah tas cukup terisi banyak, aku memutuskan untuk pergi dari tempat tersebut, tidak ingin berlama-lama. 

Saat aku melangkah keluar, udara segar menyambutku. Aku mematikan senter, menyimpannya kembali ke tas dan mengencangkan tali tas tersebut sebelum lanjut berjalan.

Aku menyusuri beberapa lorong dan persimpangan, mencoba mengikuti peta yang sudah kuhafal. Jalanan di depanku dipenuhi dengan mobil-mobil yang ditinggalkan dalam keadaan berantakan. Beberapa mobil terbalik, roda-roda mereka mencuat ke udara seperti kaki serangga yang mati. Yang lainnya menabrak satu sama lain, membentuk tumpukan logam yang berkarat dan hancur. Kaca-kaca pecah berserakan di aspal, serta terdapat noda hitam bekas oli yang bocor dari suatu tangki bahan bakar.

Suara langkahku terdengar nyaring di tengah keheningan kota yang mati. Aku terus memeriksa sekeliling, waspada terhadap setiap gerakan atau suara yang mencurigakan

Di salah satu persimpangan, aku melihat sebuah mobil polisi yang menabrak tiang lampu. Lampu rotatornya masih menyala. Aku mendekatinya dengan hati-hati, berharap mungkin ada sesuatu yang berguna di dalamnya. Tapi ketika aku melihat ke dalam, kursi pengemudi kosong, dan dashboard-nya penuh dengan debu. Tidak ada yang bisa kugunakan di sini.

Aku melanjutkan perjalananku kembali, melewati lebih banyak mobil dan bangunan yang hancur. Di kejauhan, aku melihat sebuah truk pengangkut yang terbalik, kontainernya terbuka dan isinya berserakan di jalan. Aku memutuskan untuk memeriksanya, berharap mungkin ada makanan atau barang-barang lain yang masih bisa kugunakan

Tapi sebelum aku sampai di sana, sesuatu menarik perhatianku. Di tengah jalan, ada sesosok makhluk humanoid yang berdiri dengan posisi membelakangi aku. Tubuhnya tinggi dan kurus, dengan postur yang tidak wajar. Kepalanya terbelah dua secara vertikal, dan di setiap belahan itu ada satu mata besar yang memancarkan cahaya redup dan dingin. Tangannya terdistorsi, terlalu panjang dan bengkok, seperti cabang pohon yang mati.

Makhluk itu bergerak dengan kaku. Setiap langkahnya terasa tidak alami, seolah sendi-sendinya tidak dirancang untuk bergerak seperti itu. Aku terdiam, mencoba menahan napas dan menenangkan diriku.

Perlahan, aku mulai mengendap-ngendap, mencoba melewatinya tanpa membuat suara. Setiap langkahku kuperhatikan, kepalanya yang terbelah dua bergoyang-goyang tidak karuan.

Lalu tiba-tiba *Crak!*

Suara pecahan kaca di bawah sepatuku terdengar nyaring, seperti ledakan kecil di tengah keheningan itu.

"SIAL! BODOHNYA AKU" gumamku dalam hati, tapi sudah terlambat.

Makhluk itu langsung bereaksi. Kepalanya yang terbelah itu merespon, dan matanya yang dingin menatapku dengan tajam, seperti tatapan makhluk buas. Tubuhnya yang terdistorsi bergerak dengan kecepatan yang tidak wajar hendak menghampiriku.

Tanpa pikir panjang, aku berlari secepat mungkin, mengabaikan rasa sakit di kakiku yang menginjak serpihan kaca. Napasku tersengal-sengal, dan jantungku berdebar kencang seperti ingin meledak. Tas ransel di punggungku terasa berat, tapi aku tidak bisa membuangnya begitu saja.

Di belakangku, aku mendengar suara langkah cepat dan tidak wajar dari makhluk itu. Suara desisannya semakin dekat, dan aku bisa merasakan udara di sekitarnya menjadi lebih dingin, seperti energi yang tersedot oleh kehadirannya

Aku tidak berani menoleh. Aku hanya terus berlari, melompati puing-puing dan beberapa barang yang menghalangi. Setiap langkah terasa seperti pertarungan antara hidup dan mati.

Tiba-tiba, aku melihat sebuah gedung kecil di depan, seperti sebuah gudang dengan pintunya yang setengah terbuka, dan tanpa pikir panjang, aku menyelipkan diri ke dalamnya. Aku menutup pintu dengan cepat, meski suaranya yang berderit keras mungkin sudah menarik perhatian makhluk itu.

Aku bersembunyi di balik rak-rak yang roboh, mencoba menenangkan napas dan jantungku yang berdebar kencang. Di luar, aku mendengar suara desisan dan langkah-langkah kaku tiba-tiba berhenti di depan gedung.

Tiba-tiba, dari sudut mataku, aku melihat sesuatu yang bergerak. Aku menoleh ke kanan, dan di sana, tepat di sebelahku ada seorang cewek yang sedang bersembunyi sama sepertiku. Rambutnya yang panjang dan terurai.

Dia memakai kacamata dengan bingkai hitam yang sedikit melorot di atas hidungnya, tapi kedua matanya di balik kacamata tersebut menatapku dengan tajam tanpa sedikit pun merasa ketakutan. Di tangannya, ia sedang memegang busur panah.

Terkejut bukan main itulah reaksiku, karena sudah sekian lama aku bertemu dengan seseorang selain makhluk-makhluk itu. Tapi sebelum aku sempat menanyakan siapa dia, dia tiba-tiba mengangkat busurnya dan mengarahkannya ke arahku.

Aku sempat membeku, tidak tahu harus menjawab apa. Apakah dia hendak membunuhku? Atau...

"NUNDUK!" teriaknya dengan suara tegas dan penuh otoritas.

Tanpa pikir panjang, aku menuruti perintahnya. Aku langsung menunduk, dan sepersekian detik kemudian, anak panah melesat tepat di atas kepalaku. Aku bahkan sempat mendengar suara jeritan melengking dari makhluk tersebut.

Anak panah itu menancap tepat di salah satu mata makhluk itu, karena itu makhluk tersebut bergerak liar, seperti kesakitan. Tapi cewek itu tidak berhenti. Dengan gerakan cepat dan terampil, dia mengambil anak panah lain dari kantungnya, menarik busur, dan melepaskannya.

"Bingo" gumam cewek tersebut.

Anak panah kedua melesat dengan presisi yang mengagumkan, langsung menancap di mata satunya. Makhluk itu menjerit lagi, suaranya seperti campuran antara desisan dan teriakan yang tidak manusiawi. Tubuhnya yang terdistorsi bergerak liar, seperti ular yang terluka, sebelum akhirnya jatuh ke lantai dan berhenti bergerak.

Aku terduduk, tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Cewek itu dengan tenang menurunkan busurnya, matanya masih tajam dan waspada. Dia melirik ke arahku sebelum kemudian mengatakan sesuatu kepadaku "Siapapun dirimu, kamu adalah orang yang beruntung karena selamat dari makhluk itu," katanya dengan suara datar, sambil mencabut satu persatu anak panahnya yang menancap di kedua mata makhluk tersebut.