Kael berjalan melewati jalanan Distrik Kabut dengan langkah mantap. Meski kota pertama Tower ini memiliki banyak distrik dengan fungsi berbeda, Distrik Kabut terasa berbeda dari yang lain. Tempat ini lebih sunyi, sedikit suram, dan selalu diselimuti kabut tipis yang menggantung di udara.
Ia berhenti di depan sebuah rumah kayu sederhana yang terlihat tua, tetapi terawat. Halaman depannya dipenuhi tanaman herbal dalam berbagai bentuk dan warna. Aroma khas tanaman obat menyeruak di udara, bercampur dengan kelembapan kabut yang menyelimuti daerah ini.
Kael membuka catatan kakeknya, Ardan, dan menelusuri halaman-halaman yang mulai lapuk. Catatan itu tidak memberikan instruksi yang jelas, hanya beberapa tempat yang kakeknya kunjungi selama di Tower. Tapi satu hal yang menarik perhatiannya—catatan tentang seorang tabib yang tinggal di distrik ini.
Saat Kael melangkah lebih dekat, seorang lelaki tua yang duduk di kursi bambu mengangkat kepalanya. Rambutnya sudah memutih, wajahnya dihiasi kerutan yang dalam, tetapi ada ketenangan dalam sorot matanya.
"Aku sudah lama tidak melihat orang baru di sini," kata lelaki itu, suaranya dalam dan serak. "Apa yang kau cari, anak muda?"
Kael menatap lelaki tua itu dengan saksama. Seorang tabib tua, dikelilingi tanaman obat... apakah dia orang yang disebut dalam catatan kakeknya?
"Aku datang mencari seseorang yang pernah bertemu dengan kakekku, Ardan," jawab Kael akhirnya. "Aku ingin belajar lebih banyak tentang ilmu pengobatan."
Nama Ardan membuat lelaki tua itu terdiam sejenak. Matanya sedikit menyipit, seolah sedang menggali kenangan dari masa lalu. Lalu, dengan gerakan perlahan, ia berdiri dari kursinya.
"Kalau begitu, masuklah."
Kael mengikuti lelaki tua itu ke dalam rumahnya, merasa bahwa pertemuan ini akan mengubah pandangannya tentang banyak hal.
---
: Kenangan yang Terlupakan
Rumah tabib tua itu terasa sederhana, dengan rak-rak kayu yang dipenuhi botol-botol kaca berisi ramuan dan tanaman kering. Aroma khas herbal memenuhi ruangan, menciptakan suasana yang anehnya menenangkan.
Tabib itu duduk kembali di kursinya dan menatap Kael.
"Jadi, kau cucu Ardan?" tanyanya pelan.
Kael mengangguk. "Ya, kakekku banyak menulis tentang perjalanan dan tempat-tempat yang ia kunjungi di Tower. Salah satu catatannya membawaku ke sini."
Tabib itu—Jian—tersenyum tipis. "Ardan... sudah lama sekali sejak terakhir kali aku mendengar namanya. Ia adalah murid yang cerdas, tapi juga keras kepala."
Kael menajamkan pendengarannya. Ia ingin tahu lebih banyak tentang hubungan antara kakeknya dan lelaki tua ini.
"Apa kau yang mengajarinya ilmu pengobatan di Tower?" tanyanya.
Tabib Jian tidak langsung menjawab. Sebagai gantinya, ia bangkit dari kursinya, berjalan menuju meja di sudut ruangan, dan mengambil sebuah pisau kecil. Dengan tenang, ia kembali ke tempat duduknya.
Kael mengernyit bingung saat melihat tabib itu mengangkat pisaunya dan mengiris sedikit ujung jarinya sendiri. Beberapa tetes darah segar muncul, mengalir perlahan di kulitnya.
Tetapi, sebelum darah itu benar-benar jatuh, luka di jarinya menutup dengan sendirinya. Seolah tidak pernah ada luka di sana.
Kael membeku.
Itu bukan sihir penyembuhan biasa.
Ia telah melihat banyak penyembuh menggunakan mana untuk mengobati luka, tetapi ini... ini terjadi tanpa mantra, tanpa gerakan kompleks. Luka itu benar-benar hilang dalam sekejap mata.
Tabib Jian menatapnya dengan ekspresi penuh arti. "Apa kau melihatnya?"
Kael menelan ludah. Otaknya bekerja keras untuk memahami apa yang baru saja terjadi.
"Ini... ini bukan seperti yang diajarkan oleh kakekku," ucapnya pelan.
Tabib Jian tersenyum samar. "Itu karena aku tidak pernah memberitahu Ardan tentang ini."
Kael mengernyit. "Kenapa?"
Tabib tua itu terdiam sejenak, lalu akhirnya berkata, "Karena aku tidak ingin menghancurkan impiannya."
Kael tertegun.
---
: Kenyataan yang Pahit
Tabib Jian menarik napas dalam, lalu menatap Kael dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Saat pertama kali Ardan datang kepadaku, ia memiliki tekad yang kuat. Ia ingin menjadi tabib terbaik di Tower. Dan aku... aku tidak tega menghancurkan impiannya. Jadi, aku mengajarinya semua yang aku tahu—tentang ramuan, tentang teknik pengobatan kuno, tentang cara menyembuhkan orang tanpa menggunakan mana."
Ia menundukkan kepalanya sedikit, seolah menyesali sesuatu.
"Tapi... ada sesuatu yang tidak pernah aku beritahukan padanya."
Kael masih diam, menunggu kata-kata berikutnya.
Tabib Jian menatapnya lagi dan berkata dengan suara pelan namun tajam, "Di Tower ini, seorang tabib seperti kita... sudah hampir tidak dibutuhkan lagi."
Kael membelalakkan mata.
"Apa maksudmu?"
Tabib Jian menghela napas. "Mana telah mengambil alih peran kita. Dahulu, tabib seperti kita adalah orang-orang yang dihormati. Tetapi sekarang? Penyembuhan dengan mana lebih cepat, lebih praktis, dan lebih efektif bagi kebanyakan orang. Mereka tidak lagi membutuhkan tabib yang mengandalkan ramuan dan teknik lama. Ilmu kita dianggap usang."
Kael mengepalkan tangannya.
"Tapi... pasti masih ada sesuatu yang tidak bisa disembuhkan dengan mana, bukan?" tanyanya, mencoba mencari celah.
Tabib Jian mengangguk. "Racun."
Kael terdiam.
"Banyak penyakit dan luka bisa disembuhkan dengan mana, tetapi tidak semua racun bisa dinegasikan begitu saja. Itulah sebabnya masih ada orang yang mencari tabib seperti kita. Namun, mereka tidak menyebut kami sebagai tabib. Mereka menyebut kami sebagai 'Ahli Racun'."
Kael merasa dadanya sesak.
Ia tumbuh dengan keyakinan bahwa menjadi tabib adalah panggilan mulia. Tetapi sekarang, kenyataan di depan matanya terasa begitu berbeda.
Tabib Jian menatapnya dalam-dalam. "Sekarang kau tahu. Aku telah memperlihatkan padamu apa yang bisa dilakukan oleh mana. Kau telah melihat sendiri bagaimana dunia tower bekerja jika kau ingin tetap ingin menjadi seorang tabib lebih hebat dari pada apa yang dilakukan kakekmu Ardan dulu maka kau harusendaki cukup tinggi menara ini dan untuk mendaki kau tidak bisa hanya menjadi seorang tabib.
Lalu, dengan suara yang lebih serius, ia bertanya, "Sekarang, aku ingin bertanya padamu, Kael. Kau telah mengetahui keadaan ini. Apa yang akan kau lakukan?"
Kael menggigit bibirnya.
Apa yang harus ia lakukan?
Hatinya bergejolak.
Di satu sisi, ia ingin mengikuti jejak kakeknya. Tetapi di sisi lain... apakah itu benar-benar pilihan yang masih masuk akal di dunia ini?
Tabib Jian menunggu jawabannya.