Chereads / TETAPLAH DENGANKU / Chapter 3 - Bab3

Chapter 3 - Bab3

Hembusan angin rasanya beradu kasar dengan hembusan nafas Devan sendiri malam ini. Keheningan mengelilinginya, tatapannya menerawang jauh ke angkasa lewat sorot matanya yang dingin bagai tak tersentuh.

Devan sedang duduk di undakan yang ada di belakang halaman rumahnya. Malam sudah cukup larut, tapi tak membuat pemuda tampan itu ingin segera beranjak lantas segera bergegas untuk tidur.

Terhitung sudah hampir satu minggu kepergian ibunya dan juga sudah satu minggu pula dia tidak pernah melihat Kia lagi. Sesungguhnya, Devan masih memiliki rasa yang sama dengan gadis itu, bayang-bayang asmara masih menyambanginya kian hari, tapi rasa bencinya justru tak kalah sering membuat dia membenturkan angan tentang Kia sejauh mungkin dalam ingatannya.

"Dia pergi setelah melakukan semua hal itu kepadaku? Dasar perempuan sampah!" desis Devan setelah dia tahu bahwa Kia telah pergi ke luar negeri dan pindah dari tempatnya berkuliah.

Ternyata Devan sudah tahu bahwa Kia telah pergi dari kediaman mewahnya untuk melanjutkan pendidikan ke luar negeri. Bagi Devan, Kia sengaja untuk menghindari dirinya dan mungkin enggan disalahkan atas apa yang telah terjadi waktu itu.

Lalu, mata Devan mengarah kepada tirai yang sedikit terbuka, terlihat bayangan ayahnya yang sepertinya terbangun dari tidur dan kini berjalan mondar mandir seperti telah melupakan sesuatu. Devan menarik nafas panjang, ayah begitu tak berdaya setelah kematian merenggut ibunya.

Devan lekas melangkahkan kaki, segera masuk ke dalam rumah dan menghampiri lelaki paruh baya yang nampak kebingungan seperti sedang mencari-cari keberadaan seseorang.

"Dari tadi Papa memanggil mamamu, Van. Kenapa tak ada sahutannya? Biasanya mama akan sangat cepat menanggapi Papa."

Devan memejamkan matanya sesaat mendengar hal itu. Papanya kerap sekali lupa bahwa mama sudah pergi. Mama tak ada lagi.

"Papa, duduklah sebentar, biar aku buatkan papa teh hangat."

"Biar mama saja, Van. Biasanya juga mama yang membuatnya. Tapi dimana mama? Kau melihatnya di dapur tidak?"

Ah, Devan rasanya ingin berteriak sekuat mungkin, berusaha untuk menyadarkan ayahnya bahwa tak lagi ada mama.

"Papa, tenanglah, duduklah, Pa."

Masih berusaha untuk membantu ayahnya duduk secara perlahan, tapi ayahnya masih saja berseru mencari keberadaan mama.

"Papa, stop! Tolong mengerti, mama sudah tidak ada!"

Satu seruan kalimat Devan akhirnya membuat ayahnya terdiam cukup lama. Lelaki itu kemudian menatap Devan dengan pandangan yang sungguh sangat sulit untuk pemuda itu artikan.

Tanpa berkata sepatah katapun, ayahnya kemudian berbalik dengan perlahan lalu berjalan menuju kamarnya. Hampa tatapannya.

Devan terduduk lemas di atas sofa, menatap bayangan papa yang telah menghilang dari balik celah pintu yang sedikit terkuak. Sakit hatinya kembali menguar. Begitu mudahnya orang lain melupakan apa yang sekarang tengah menjadi penderitaan keluarganya. Orang yang enggan untuk ia sebut lagi namanya. Bahkan tak ada satu pun panggilan telepon atau pesan lagi dari orang itu lagi.

"Aku baru tahu orang semacam apa dirimu. Kau sungguh sudah menorehkan luka di hati keluargaku. Jangan sampai kau muncul lagi di hadapanku kelak, karena bisa aku pastikan, akan aku hancurkan kau sampai kau sulit untuk bernafas lagi nanti!"

Seperti api, kobaran benci itu menyala kian besar dan memangkas habis rasa cinta yang pernah tercipta sebelumnya. Devan menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa, lalu tak lama kemudian dia berjalan menuju kamar ayahnya. Hatinya kian terluka, melihat ayahnya sedang menatap langit-langit dengan tatapan kosong, ayahnya seperti orang yang tak lagi ada semangat untuk menjalani hidup, seperti hidup tapi bagai tak ada.

***

Kondisi papa semakin memburuk. Devan hari ini harus mendatangi dokter sebab ayahnya tak lagi mau minum obat dan makan. Tubuhnya kian kurus, benar-benar seperti orang yang tak lagi mau meneruskan hidupnya.

"Kondisinya semakin memburuk, apa tuan Roland tidak meminum obatnya dengan rutin?" tanya dokter dengan pandangan serius.

"Saya sudah berusaha untuk memberikan segenap perhatian kepada papa, Dokter. Tapi tetap saja, tidak ada perubahan. Papa seperti sedang tenggelam dalam kesedihannya.

Dokter telihat membuka kacamata, menghela nafas berat lalu mengangguk seolah dia paham.

"Saya tidak mau kehilangan papa, Dokter. Saya sudah kehilangan mama. Hanya papa keluarga saya yang tersisa."

"Saya mengerti, tapi keinginan untuk sembuh harus ada dari tuan Roland sendiri. Mental yang terpuruk hanya akan memperparah kondisinya. Cobalah sebisa mungkin untuk mengajaknya berdiskusi ketika sedang di rumah."

"Entah sudah berapa kata yang saya keluarkan untuk itu, Dokter. Tapi papa hanya selalu menyebut nama mama saya."

"Tuan Roland begitu mencintai ibumu, saya paham itu. Tapi kita tidak bisa membiarkannya terus larut dalam rasa bingung dan tertekan seperti ini."

Dokter berkata sembari menuliskan sebuah resep obat yang harus ia tebus. Penyakit alzheimer yang diderita papa mungkin sulit sekali untuk disembuhkan, hanya sekian persen menyatakan bisa sembuh tapi sisa persen yang paling banyak mengatakan hampir tak ada pengobatan untuk itu. Beberapa obat hanya untuk memulihkan sementara tapi tak akan bertahan lama. Dari kondisi medisnya saja, sudah begitu mengkhawatirkan apalagi ditambah dengan tekanan beban mental yang mendera.

Langkah Devan memapah sang ayah ketika keluar dari ruangan dokter juga terasa begitu berat. Ia akan mengusahakan semua yang terbaik bagi ayahnya. Mereka masih memiliki tabungan yang cukup, ia masih bisa merawat ayahnya dengan baik. Sayangnya, sekeras apapun Devan berusaha, beberapa hari kemudian, kondisi sang papa malah kian memburuk.

Lelaki itu ambruk tanpa diduga dan kembali menghantarkannya ke rumah sakit. Devan menanti dengan harap-harap cemas. Beberapa hari dilaluinya di rumah sakit, menemani papa tanpa lelah. Sayangnya, Tuhan lebih suka untuk membuat ayahnya pergi juga.

Ketika kain putih itu dibuka, wajah ayahnya yang lelah dan seolah sedang tidur itu menggambarkan semuanya. Devan tak menangis, airmata selalu jatuh ke dalam hatinya yang sudah tergores luka menganga. Satu-satunya keluarga yang dia punya telah pergi untuk selamanya.

Di atas makam sang ayah, Devan bersumpah akan membalas mereka. Mereka, keluarga kaya raya juga gadis yang pernah menyematkan rasa cinta di dalam hatinya.

Tangan Devan terkepal kuat, kelopak mawar berterbangan tertiup angin di atas tanah pemakaman, menambah aroma kebencian dan dendam yang membaur menjadi satu dalam hatinya sendiri saat ini.

Lalu ditinggalkannya pusara kedua orangtuanya. Dia tetap akan melanjutkan hidup, tapi dengan membawa kebencian yang telah tersemat hanya untuk satu nama. Suatu saat kalau mereka bertemu lagi, Devan berjanji tak akan pernah membiarkan gadis itu hidup dengan nyaman dan tenang.

"Bersenang-senanglah sekarang, karena kelak aku yakin, kau akan merasakan apa yang aku rasakan juga saat ini. Kau harus merasakan bagaimana rasanya kehilangan orang-orang yang begitu berharga dalam hidup kita! Ya, kau harus merasakannya."

Mata Devan menengadah ke langit luas, seolah sedang mencari dimana kini gadis itu ia pikir sedang bersembunyi.