Chereads / The Alistair Dynasty: Behind Fame & Money / Chapter 5 - Sadie's Blue Valentine

Chapter 5 - Sadie's Blue Valentine

Ruang keluarga Alistair Mansion dipenuhi cahaya lilin dan wangi mawar. Lagu Can't Help Falling in Love mengalun pelan dari speaker, mengiringi momen manis di antara pasangan-pasangan yang memenuhi ruangan. Enam Alistair bersaudara semuanya berada di sana, tapi hanya satu orang yang tidak berpasangan.

Victoria Alistair, si kakak tertua sekaligus aktris flamboyan, tertawa manja sambil mengecup pipi Amir Al Fahad, kekasihnya yang seorang pangeran Arab. Gaun merahnya berkibar saat ia menyandarkan kepala di bahu sang pria. "Kamu tahu, Amir, kalau kita menikah, aku bisa jadi putri kerajaan," godanya.

Amir terkekeh. "Kamu selalu jadi ratu di hatiku."

Di sudut lain, Rebecca Alistair, anak kedua sekaligus CEO ambisius, duduk anggun di sofa sambil menyesap wine bersama Ethan Zhao, kekasihnya yang direktur perusahaan dari Singapura. Mereka berbincang tentang strategi bisnis, tapi ada tatapan penuh kasih di mata mereka.

Madison Alistair, anak ketiga yang jadi supermodel, bercanda dengan Lea Marie Dubois, kekasihnya yang seorang model juga dari Prancis. Madison, dengan sifat ceria dan crop top ungunya, tertawa saat Lea membisikkan sesuatu di telinganya. "Kalau kamu terus menggoda, aku bisa jatuh cinta lagi dan lagi."

Di dekat perapian, Davis Alistair, anak keempat dan satu-satunya saudara pria yang jadi musisi rock, duduk di lantai dengan gitar di pangkuannya, memainkan melodi lembut. Akina Kurosawa, penyanyi Jepang yang juga kekasihnya, bersandar di dadanya, menutup mata menikmati musik.

Sementara itu, Corina Alistair, si anak bungsu sekaligus seniman pemberani, menggambar wajah Malik Carter, kekasihnya yang seorang dosen seni rupa. Malik tersenyum kecil, mengamati bagaimana pensil Corina menari di atas kertas. "Aku semakin tampan kalau kamu yang menggambar," katanya bercanda.

Di tengah semua kehangatan itu, hanya Sadie Alistair, si anak kelima yang duduk sendirian. Dokter jenius berambut kepang itu menggenggam cangkir tehnya, menatap pasangan-pasangan itu dengan tatapan kosong.

Dia bangkit diam-diam, mengambil mantel dan keluar dari mansion tanpa seorang pun menyadarinya.

---

Sadie berjalan sendirian di tengah udara dingin Februari, menuju pemakaman kecil di pinggiran kota.

Di bawah pohon beringin yang besar, ia berhenti di depan sebuah batu nisan.

William "Will" Everett

2000 - 2018

"Forever in our hearts."

Sadie menarik napas dalam, lalu berlutut, menaruh seikat bunga forget-me-not di atas tanah yang sunyi itu.

"Hai, Will…" suaranya pelan, bergetar. "Hari ini tujuh tahun sejak kamu pergi."

Angin dingin berembus, membawa ingatan kembali ke tahun 2018. Will, cinta pertamanya, pria yang selalu membuatnya tertawa di SMA… pria yang berjanji akan selalu bersamanya. Tapi kanker merenggutnya, tepat di hari Valentine.

Sadie mengepalkan tangan. "Kalau saja kamu masih di sini…" bisiknya.

Air mata jatuh di pipinya.

---

Sementara itu, di mansion, Victoria dan Madison sedang mencari album foto lama untuk nostalgia.

Saat membolak-balik halaman, Madison tiba-tiba berhenti. "Eh, ini siapa?"

Victoria melirik. Di foto itu, Sadie remaja tersenyum manis, berdiri di samping seorang pemuda berambut coklat dengan mata biru. Di belakang foto ada tulisan tangan kecil:

Will & Sadie – Valentine's Day 2017

Madison menatap Victoria. "Bukannya ini pacarnya Sadie dulu?"

Victoria mengernyit. "Iya… tapi kenapa dia nggak pernah ngomong soal dia lagi?"

Ketika Sadie pulang, mereka langsung menunggunya di ruang tengah.

Victoria menunjukkan foto itu. "Sadie, ini siapa?"

Sadie tertegun, wajahnya pucat.

Madison menatapnya lembut. "Sadie?"

Sadie menggigit bibirnya. Lalu, dengan suara nyaris berbisik, ia berkata, "Dia sudah meninggal… di Valentine 2018."

Keheningan menyelimuti ruangan.

Madison menutup mulutnya, matanya membesar. "Oh, Sadie… maaf, aku nggak tahu."

Sadie tersenyum tipis, tapi sedih. "Aku nggak pernah cerita… karena aku nggak mau mengingatnya. Tapi aku juga nggak bisa melupakannya."

---

Keesokan harinya, semua Alistair bersaudara berkumpul.

Tanpa banyak bicara, mereka menemani Sadie ke makam Will.

Davis, yang biasanya kasar dan penuh umpatan, hanya berkata pelan, "Will pasti pengen lihat kamu bahagia."

Rebecca menyentuh bahu Sadie. "Kamu nggak sendirian."

Sadie menatap mereka satu per satu. Untuk pertama kalinya sejak bertahun-tahun, ia merasa tidak sendiri.

Saat pulang, ia membuat keputusan besar.

---

Hari berikutnya, Sadie duduk di kursi salon.

Ia menatap pantulannya di cermin, menghela napas dalam. "Pixie cut," katanya tegas.

Saat rambut panjangnya jatuh ke lantai, ia merasa lebih ringan. Seolah ia meninggalkan beban lama yang menahannya selama ini.

Ketika ia melangkah keluar dari salon dengan rambut pendek barunya, seseorang memperhatikannya dari jauh.

Dr. Ravi Choi.

Pria itu, yang selama ini hanya melihat Sadie sebagai kolega dokter, kini menatapnya dengan cara berbeda. Ada sesuatu di matanya.

Senyuman kecil muncul di wajahnya.

Mungkin, ini awal dari sesuatu yang baru…

Bersambung