Chereads / The Alistair Dynasty: Behind Fame & Money / Chapter 6 - Melodi yang membuka luka

Chapter 6 - Melodi yang membuka luka

Malam itu, Alistair bersaudara duduk di sebuah kafe kecil dengan suasana intim, diterangi lampu-lampu redup yang berkelap-kelip di langit-langit. Aroma kopi dan roti panggang memenuhi udara. Mereka duduk di meja panjang dekat panggung, menikmati malam yang seharusnya menjadi sekadar hiburan ringan setelah hari yang melelahkan.

Madison mengaduk latte-nya dengan malas, sementara Davis mengetukkan jari ke meja, mengikuti irama musik latar yang mengalun pelan. Victoria sibuk mengecek notifikasi di ponselnya sebelum Rebecca menegurnya pelan. Sadie dan Corina hanya menikmati suasana, sesekali melontarkan komentar kecil.

Suasana mulai berubah ketika penyanyi berikutnya naik ke panggung.

Seorang wanita berambut cokelat dengan gitar di pangkuannya memperkenalkan diri, suaranya lembut tetapi jelas.

"Aku Lia Johnson, dan ini lagu yang kutulis tentang masa kecilku. Mungkin beberapa dari kalian bisa mengerti perasaan di dalamnya. Ini 'DNA'."

Alunan gitar mulai terdengar, dan ketika suara Lia mengisi ruangan, tubuh keenam bersaudara itu menegang.

Dark as midnight

Six pack Coors Light

You don't look the same

Davis langsung menahan napas. Ingatan tentang ayah mereka, Edward, yang pulang larut dalam keadaan mabuk, membuat jantungnya berdebar tak nyaman.

Past my bedtime

Blue and red lights

Come take you away

Sadie mengepalkan tangannya. Ia teringat malam-malam ketika sirene polisi meraung di kejauhan, berharap seseorang datang menyelamatkan mereka dari neraka yang disebut rumah.

Hate to see you like a monster

So I run and hide

Madison meremas sendoknya, merasa kembali seperti anak kecil yang bersembunyi di bawah meja dapur, menutup telinganya rapat-rapat setiap kali suara teriakan memenuhi rumah.

Hate to ask but what's it like to leave me behind

Rebecca menelan ludah. Ia masih bisa merasakan dinginnya lantai marmer di bawah kakinya saat ia duduk di sudut ruangan, berusaha tetap tenang, sementara ayah mereka pergi tanpa pernah menoleh.

Ketika lagu berlanjut, tidak ada satu pun dari mereka yang berbicara. Setiap lirik terasa seperti palu yang menghantam langsung ke dalam dada mereka, memaksa mereka mengingat sesuatu yang selama ini mereka kubur dalam-dalam.

Eyes like yours can't look away

But you can't stop DNA

Victoria menatap kosong ke panggung. Matanya memburam, tetapi ia tidak menangis. Tidak di depan umum.

Are the pieces of you

In the pieces of me?

I'm just so scared

You're who I'll be

Corina menggigit bibirnya. Ia tahu, bagaimanapun ia mencoba menyangkal, darah Edward tetap mengalir dalam dirinya.

Saat lagu berakhir, ruangan hening sejenak sebelum tepuk tangan memenuhi kafe. Tetapi keenam Alistair bersaudara tidak bertepuk tangan. Mereka saling bertukar pandang, seolah mencari jawaban di mata satu sama lain. Namun, tidak ada yang berbicara.

Tanpa berkata apa-apa, Rebecca meletakkan beberapa lembar uang di meja, memberi isyarat pada yang lain untuk pergi. Mereka berjalan keluar dalam diam, membiarkan hawa malam menyelimuti tubuh mereka.

Di mobil, tidak ada dari mereka yang bicara satupun. Hening dalam diam. Sadie menahan air matanya. Corina menggigit bibirnya. Davis mengepalkan tangannya, seperti ingin meninju seseorang. Madison hanya melihat kearah jendela, meratapi hujan. Victoria duduk di jok depan tapi tidak memutar lagu seperti yang biasanya dia lakukan. Rebecca menyetir, tapi dengan tatapan tegang.

Di Rumah: Sunyi dan Rasa Sakit yang Kembali Datang

Mereka sampai di rumah dalam keheningan. Tidak ada yang menyalakan lampu utama, hanya lampu-lampu kecil yang memberikan cahaya samar.

Victoria melepas sepatu haknya dan duduk di sofa dengan tangan memijat pelipisnya. Migrain mulai menyerang—denyutan tajam yang terasa seperti palu menghantam kepalanya berulang kali. Cahaya ruangan terasa terlalu terang, dan suara langkah kaki pun terdengar menyakitkan di telinganya. Ia menutup matanya, mencoba mengatur napas, tapi rasa sakitnya hanya bertambah. Ini bukan sekadar sakit kepala biasa—ini migrain parah yang sering datang saat ia terlalu banyak berpikir atau merasa stres.

Rebecca masuk ke kamar dan duduk di tepi tempat tidur. Ia meremas betisnya dengan kuat, tetapi itu tidak cukup untuk meredakan kram otot yang mulai menyerang. Fibromyalgianya selalu menjadi musuh dalam diam, mencengkram otot-ototnya seperti kawat berduri. Kram ini bukan sekadar kelelahan biasa; ini adalah nyeri mendalam yang terasa seperti jaring listrik menyebar ke seluruh tubuhnya. Malam ini, setelah mendengar lagu itu, tubuhnya terasa semakin berat dan tegang, seolah-olah seluruh beban masa lalu kembali menghimpitnya.

Madison mengerang pelan sambil meraih obat lambung dari laci. Ia duduk di lantai dengan lutut ditekuk, memejamkan mata, menunggu rasa perih itu mereda. Bulimianya telah menyebabkan luka lambung kronis, dan ketika ia stres, rasa perihnya semakin menjadi. Perutnya seperti terbakar dari dalam, membuatnya kesulitan untuk menarik napas panjang. Ia menekan perutnya dengan tangan gemetar, berharap rasa sakit itu cepat pergi, tapi ia tahu ini akan bertahan cukup lama sebelum akhirnya mereda.

Davis masuk ke kamarnya dan langsung menjatuhkan diri ke tempat tidur, menekan pelipisnya keras-keras. Pusing kepalanya begitu kuat hingga dunia terasa berputar. Bipolar tipe 1 yang ia derita sering kali membuat tubuhnya bereaksi keras terhadap stres. Hipertensinya juga ikut berperan, membuat darah terasa berdesir terlalu cepat di dalam tubuhnya. Kepalanya terasa penuh, hampir seperti akan meledak. Ia menutup mata, mencoba menenangkan diri, tetapi suara dentuman gitar dari konser tadi masih terngiang di kepalanya, membuat rasa pusingnya semakin tak tertahankan.

Sadie menyalakan lampu meja belajarnya, tetapi cahayanya justru membuatnya semakin pusing. Ia menutup matanya erat-erat, berusaha melawan sensasi vertigo yang membuatnya merasa seperti akan jatuh. Vertigonya bukan sekadar rasa pusing biasa—ini seperti dunia berputar tanpa kendali, seolah lantai di bawahnya miring dan ia akan terjatuh kapan saja. Perutnya ikut mual, dan ia menggenggam ujung meja dengan kuat, berusaha menahan diri agar tidak kehilangan keseimbangan.

Corina berjalan pelan ke kamarnya, tetapi langkahnya terhenti saat dadanya terasa sesak. Napasnya tersengal, dan dengan tangan gemetar, ia meraih inhaler dari meja nakas dan menghirup dalam-dalam. Serangan asma bronkialnya datang tiba-tiba, seperti rantai yang membelit paru-parunya dan menolak untuk melepaskan. Ia duduk di tepi tempat tidur, mencoba menarik napas perlahan, membiarkan inhalernya bekerja. Rasa sesak mulai berkurang, tetapi tubuhnya masih lemah, dan dadanya terasa seperti dihantam batu.

Malam itu, tidak ada percakapan. Tidak ada yang membahas tentang konser. Tidak ada yang menyebut nama Edward.

Hanya ada mereka, masing-masing bergulat dengan luka lama yang kembali terbuka.