Chereads / Nasib Putri yang Ditukar / Chapter 2 - Bab 2 Berita Yang Mengejutkan

Chapter 2 - Bab 2 Berita Yang Mengejutkan

Seperti yang sudah Kirana duga, dari seratus lebih tamu yang hadir malam itu, hanya segelintir yang menatapnya dengan simpatik. Sisanya? Tatapan mereka terasa seperti belati tajam yang menusuk ke dalam jiwanya.

Orang-orang yang dulu akrab dengannya, yang sering bercanda dan berbagi cerita, kini memandangnya seolah ia adalah orang asing—atau lebih buruk lagi, seorang yang tak diharapkan.

Di sudut ruangan, beberapa wanita sosialita berbisik sambil melirik ke arahnya. Seorang pria paruh baya yang dulu pernah memujinya sebagai "gadis kebanggaan keluarga Wicaksana" kini menatapnya dingin, seolah semua kebanggaan itu telah sirna.

Kirana bisa menebak apa yang ada di pikiran mereka.

Mungkin mereka berpikir aku sama jahatnya dengan ibu kandungku.

Seorang wanita yang menukar bayinya sendiri demi menyelamatkan anaknya—bagi sebagian orang, itu adalah tindakan seorang ibu yang putus asa. Tapi bagi mereka, itu adalah kejahatan.

Dan Kirana, yang bahkan tidak pernah meminta untuk ditukar, kini harus menanggung semua beban itu. Ia menggenggam jemarinya erat, mencoba menahan perasaan yang berkecamuk. Namun, tidak peduli seberapa kuat ia mencoba menenangkan dirinya, tatapan mereka tetap menghantui. Tatapan yang mengatakan bahwa dirinya tidak lagi diterima di tempat ini.

Keramaian pesta mendadak hening ketika Nyonya Ratna Wicaksana, wanita yang selama ini dipanggil Kirana dengan sebutan 'Nenek', melangkah mendekatinya. Namun, kali ini, tidak ada kelembutan dalam sorot matanya. Yang ada hanyalah tatapan tajam, penuh kemarahan dan penghinaan. Tanpa sepatah kata pun, tangannya meraih kalung di leher Kirana, menggenggamnya erat seakan hendak merenggutnya dengan paksa.

"Lihatlah gadis ini!" suara Nyonya Ratna menggema di seluruh ruangan. "Dia memakai kalung yang seharusnya dikenakan oleh cucuku, Elvira!"

Kirana terperanjat. Napasnya tertahan saat merasakan tamparan keras mendarat di pipinya.

PLAK!

Kepalanya terpelanting ke samping, rasa panas menyebar di kulit wajahnya. Namun, sebelum sempat pulih dari keterkejutan, sebuah dorongan kuat menghantam tubuhnya, membuatnya terhuyung ke belakang.

"Lancang! Kau pencuri!" bentak Nyonya Ratna.

Bisikan dan tatapan para tamu semakin menusuk. Beberapa orang bahkan menutupi mulut mereka, terkejut dengan apa yang baru saja terjadi. Kirana merasakan tenggorokannya tercekat. Dengan susah payah, ia mencoba berdiri tegak, menahan tubuhnya agar tidak roboh karena guncangan emosi dan rasa sakit.

"Aku tidak mencuri!" suaranya bergetar, namun tetap jelas. "Nita yang memberikannya padaku!"

Nyonya Ratna tertawa dingin, penuh ejekan. "Oh, jadi sekarang kau menyalahkan orang lain?" Matanya menyipit, lalu menoleh ke menantunya. "Ambil kotak itu!" perintahnya.

Salsabila segera mengambil kotak beludru yang tadi dibawa Nita. Saat tutupnya dibuka, semua mata tertuju ke dalamnya.

Hanya ada satu kalung. Yang seharusnya ada dua.

"Di mana satu lagi?" suara Nyonya Ratna kini terdengar semakin dingin.

Hening menyelimuti ruangan. Kirana bisa merasakan tatapan curiga semakin mengarah padanya.

Lalu, Nyonya Ratna berteriak, "Nita! Ke sini!"

Pelayan itu berjalan mendekat dengan langkah pelan. Ekspresi wajahnya datar, tanpa sedikit pun tanda kegugupan.

"Katanya kau yang memberikan kalung itu pada Kirana," ujar Nyonya Ratna tajam. "Benarkah?"

Semua mata kini tertuju pada Nita. Sejenak, gadis itu menunduk, lalu menghela napas panjang sebelum berkata dengan nada penuh kepasrahan.

"Maafkan saya, Nyonya… Saya hanya melakukan apa yang diperintahkan."

Kirana menahan napas. Ada sesuatu yang tidak beres di sini.

"Apa maksudmu?" tanya Nyonya Ratna.

Nita mengangkat wajahnya, lalu menatap Kirana dengan sorot mata penuh kepura-puraan. "Nona Kirana meminta saya mengambil kalung itu. Dia… membayar saya satu juta rupiah untuk melakukannya."

Jantung Kirana serasa berhenti berdetak.

"Apa?!" Suaranya hampir tak keluar. Ia menatap Nita dengan tidak percaya, tubuhnya menegang. "Aku tidak pernah—!"

Namun, suara gelombang bisikan dari para tamu mulai memenuhi ruangan, menenggelamkan bantahannya.

"Jadi benar Kirana mencuri?"

"Memalukan!"

"Dia berani membayar pelayan untuk mencuri barang keluarga ini?!"

Tatapan penuh penghinaan kini mengarah kepadanya. Dadanya terasa sesak.

Kirana ingin membela diri. Ingin berteriak bahwa ini semua jebakan. Tapi tidak ada yang mendengarkan. Tidak ada yang peduli.

Kirana berdiri di tengah ruangan, tubuhnya gemetar, matanya membelalak tidak percaya. Suara Nita masih terngiang di telinganya, seperti racun yang merayap ke dalam hatinya.

Mengapa?

Mengapa Nita tega melakukan ini padanya? Kirana yakin ada seseorang yang menyuruh pelayan itu, tapi siapa? Dan mengapa?

Namun, sebelum sempat berpikir lebih jauh, suara berat Adi Wicaksana menggema di seluruh ruangan.

"Kirana, aku benar-benar kecewa padamu!"

Kirana tersentak. Ia mendongak, menatap pria yang selama ini ia panggil 'Ayah'.

Dulu, setiap kata yang keluar dari mulut Adi Wicaksana selalu penuh kelembutan. Namun, kali ini, suaranya tajam, penuh kemarahan dan penghinaan.

"Kami membesarkanmu dengan penuh cinta kasih. Kami memberikanmu kehidupan yang layak, membiarkanmu hidup sebagai putri keluarga Wicaksana." Ia menghela napas panjang, sebelum menatap Kirana dengan dingin. "Tapi, sekali lahir dari rahim perempuan jahat, maka semua yang kami lakukan untukmu hanya sia-sia."

Dunia Kirana seakan berhenti berputar.

Kata-kata itu menghantam hatinya lebih keras daripada tamparan Nyonya Ratna.

Darahnya seperti membeku di dalam tubuhnya. Napasnya tercekat, seolah-olah ada sesuatu yang menekan dadanya begitu kuat hingga sulit bernapas. Selama ini, Adi Wicaksana adalah sosok ayah yang penuh kasih sayang. Orang yang selalu membelanya. Orang yang selalu berkata bahwa ia adalah putrinya, tak peduli apa pun yang terjadi.

Tapi sekarang…

Semua itu terasa seperti kebohongan belaka.

Kirana merasakan kakinya melemas, seolah-olah tubuhnya kehilangan kekuatan. Pandangannya mulai kabur, suaranya tercekat di tenggorokan. Hatinya sakit. Terlalu sakit. Lebih menyakitkan daripada kehilangan statusnya sebagai putri keluarga Wicaksana.

Karena sekarang, ia sadar…

Ia bukan hanya kehilangan tempatnya di rumah ini. Tapi juga kehilangan satu-satunya pria yang selama ini ia anggap sebagai ayahnya.

Suasana di ruang pesta masih tegang, dengan Kirana berdiri di tengah lingkaran tatapan penuh penghinaan. Hatinya terasa hancur, dan tubuhnya hampir tak sanggup menopang dirinya sendiri.

Lalu, tiba-tiba—

"Maaf mengganggu."

Suara tegas namun tenang bergema di ruangan. Semua kepala serempak menoleh ke arah pintu. Seorang pria paruh baya dengan jas mahal berwarna hitam melangkah masuk, diikuti oleh seorang wanita anggun dengan gaun elegan berwarna gading.

Dimas Mahardika dan Deswinta Mahardika.

Ruangan itu langsung dipenuhi bisikan.

"Keluarga Mahardika?"

"Mengapa mereka ada di sini?"

Mereka adalah keluarga paling berpengaruh dan terkaya di Kota XYZ, orang-orang yang dihormati dan ditakuti. Kehadiran mereka di rumah keluarga Wicaksana bukan sesuatu yang bisa diabaikan begitu saja.

Tatapan tajam Adi Wicaksana beralih pada mereka. "Dimas, Deswinta… Ada urusan apa kalian di sini?"

Dimas Mahardika tidak langsung menjawab. Pria itu menatap sekeliling, memperhatikan ekspresi para tamu, lalu akhirnya matanya tertuju pada Kirana yang masih berdiri dengan wajah pucat. Ada sesuatu di balik tatapan matanya—sesuatu yang sulit diartikan.

Lalu, Deswinta melangkah maju. Dengan suara lembut namun penuh wibawa, ia berkata, "Kami datang untuk mengambil tanggung jawab."

Ruangan kembali dipenuhi bisikan.

Deswinta melanjutkan dengan tenang, "Kami telah mendengar apa yang terjadi. Jika Kirana memang bersalah, maka keluarga Mahardika yang akan bertanggung jawab atas kesalahannya."

Semua orang terkejut.

Keluarga Mahardika membela Kirana? Mengapa?

Kirana sendiri menatap mereka dengan kebingungan. Ia belum pernah bertemu mereka sebelumnya, jadi mengapa mereka bersikap seperti ini?

Adi Wicaksana menyipitkan mata, ekspresinya penuh kecurigaan. "Apa maksudmu, Deswinta?"

Dimas Mahardika akhirnya angkat bicara. Suaranya berat, penuh otoritas. "Maksudnya sederhana, Adi. Mulai malam ini, Kirana adalah tanggung jawab keluarga Mahardika."

Kirana terkejut. Dan seluruh ruangan pun gempar.

Kejutan itu belum selesai. Dimas Mahardika melangkah ke sisi istrinya, ekspresinya tenang tetapi penuh kepastian. Dengan suara mantap, ia menegaskan,

"Kirana adalah calon menantu keluarga Mahardika."

Ruangan kembali gempar. Para tamu saling berbisik, sebagian besar terkejut, sebagian lagi bingung. Namun sebelum siapa pun sempat merespons, seorang gadis muda dengan gaun mahal melangkah maju.

Elvira Wicaksana.

Matanya menatap tajam ke arah Dimas dan Deswinta, seolah ingin memastikan bahwa ia tidak salah dengar. Dengan suara yang penuh ketidakpercayaan, ia berkata,

"Tidak mungkin! Aku tunangan El Bastian Mahardika!"

Elvira berdiri tegak, seolah ingin menegaskan posisinya. Seumur hidup, ia tahu bahwa ia ditakdirkan untuk menikah dengan putra keluarga Mahardika, untuk menjadi bagian dari keluarga paling berkuasa di kota ini.

Tapi Deswinta hanya tersenyum tipis, lalu menggeleng pelan. "Tidak lagi," katanya lembut. "Elvira, kau sekarang adalah putri keluarga Wicaksana. Sementara menantu kami seharusnya adalah putri dari Tiara—wanita yang selama ini membesarkanmu."

Elvira merasa dunianya runtuh. Tidak. Ini tidak bisa terjadi. Matanya membelalak, napasnya tersengal. Ia menoleh ke arah ayah dan ibunya, mencari pembelaan. Namun, ekspresi Adi Wicaksana dan Salsabila penuh kebingungan, seolah mereka sendiri baru mengetahui hal ini.

Deswinta melanjutkan dengan tenang, "Semua sudah dibuktikan lewat tes DNA. Kirana adalah putri kandung Tiara. Itu berarti, dialah yang seharusnya menjadi menantu keluarga Mahardika."

Elvira tidak bisa lagi menahan emosinya.

"TIDAK!"

Teriakannya menggema di seluruh ruangan.

Mata-mata tamu yang hadir menatapnya dengan berbagai ekspresi—terkejut, kasihan, atau sekadar menikmati drama yang tersaji di depan mereka.

Elvira menunjuk lurus ke arah Kirana, wajahnya merah padam oleh amarah.

"Kau sudah mengambil segalanya dariku!" suaranya penuh kebencian.

Kirana terdiam. Kata-kata itu menggema di telinganya, menusuk lebih dalam dari semua penghinaan yang telah ia terima malam ini. Ia tidak meminta semua ini. Ia tidak pernah ingin ditukar saat bayi. Ia tidak pernah menginginkan kehidupan orang lain.

Namun sekarang, Elvira menatapnya seolah ia adalah pencuri. Padahal, dalam hati Kirana, ia juga merasa sama.

Apa yang sebenarnya tersisa untukku?