Kirana berdiri di tengah ruangan, tubuhnya gemetar, napasnya berat. Semua tatapan masih tertuju padanya—ada yang penuh ejekan, ada yang dingin, dan ada juga yang sekadar menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Namun, Kirana sudah tidak peduli lagi. Tangannya perlahan terangkat ke lehernya, jari-jarinya menyentuh kalung yang tadi diberikan Nita. Kalung yang menjadi awal dari semua penghinaan ini. Dengan satu tarikan, ia melepaskannya.
Langkahnya mantap saat ia berjalan menuju Nita, pelayan yang telah mengkhianatinya. Nita menunduk, mungkin tidak menyangka Kirana akan mendekatinya. Semua orang menahan napas, menunggu apa yang akan dikatakan Kirana.
Tanpa ragu, Kirana mengulurkan tangan, menyerahkan kalung itu kembali. "Aku tidak tahu apa salahku padamu," suaranya bergetar, tetapi jelas terdengar di seluruh ruangan. "Jadi… maafkan aku."
Nita tidak menjawab. Wajahnya sedikit berubah, seolah tidak menyangka Kirana akan mengatakan itu. Tapi Kirana tidak ingin menunggu responsnya. Ia berbalik dan mulai melangkah pergi. Orang-orang yang berdiri di jalannya buru-buru menyingkir, menciptakan jalan untuknya.
Kirana berjalan lurus, dengan kepala tegak. Tapi di dalam hatinya, ia merasa kosong.
Ia meninggalkan segalanya. Bukan hanya rumah besar ini. Bukan hanya nama keluarga Wicaksana. Tapi juga setiap kenangan yang ia pikir akan bertahan selamanya.
Ia tidak membawa apa-apa. Semua barang-barangnya tetap di kamar. Semua hadiah, semua baju, bahkan buku-buku pelajarannya. Yang menempel di tubuhnya sekarang hanyalah pakaian dan sepatu yang diberikan oleh seorang teman sekelas di hari ulang tahunnya. Dan itu satu-satunya hal yang ia miliki saat ini.
Langkah Kirana semakin cepat. Hatinya bergetar, tetapi ia menolak untuk menangis.
Karena mulai malam ini… ia sendirian.
Keheningan menyelimuti ruangan setelah Kirana pergi. Namun, suasana masih terasa mencekam. Tatapan tajam Deswinta Mahardika beralih ke arah Nita, membuat pelayan itu menunduk ketakutan. Deswinta melangkah mendekat, gerakannya anggun namun mengandung ancaman yang jelas.
"Sekarang aku ingin tahu," suaranya lembut, tapi ada ketegasan yang tak terbantahkan, "kalau sampai terbukti kau sengaja menjebak Kirana, maka aku tidak akan tinggal diam."
Jantung Nita berdegup kencang. Kakinya terasa lemas, tetapi ia tidak berani menunjukkan kelemahannya di depan wanita ini.
Deswinta melanjutkan, suaranya lebih dingin dari sebelumnya. "Dan bukan hanya kau yang akan menanggung akibatnya. Semua keluargamu juga akan terkena imbasnya."
Seisi ruangan menegang. Semua orang tahu bahwa ancaman dari seorang Deswinta Mahardika bukan sekadar kata-kata kosong.
Nita menelan ludah, mencoba mempertahankan ekspresi netralnya. Namun, keringat dingin mulai membasahi punggungnya.
"T-tidak, Nyonya, saya hanya—"
Deswinta mengangkat tangannya, menghentikan kata-kata Nita sebelum bisa meluncur lebih jauh.
"Besok, kau akan menerima panggilan dari kepolisian."
Nita membelalakkan mata. Ia ingin membela diri, ingin mengatakan sesuatu, tetapi tenggorokannya terasa tercekat.
Deswinta tidak menunggu reaksi lebih lama. Dengan gerakan anggun namun penuh otoritas, ia berbalik menghadap suaminya.
"Dimas, ayo kita pulang."
Dimas Mahardika yang sejak tadi diam, hanya mengangguk. Wajahnya tanpa ekspresi, tetapi sorot matanya cukup untuk membuat siapa pun di ruangan itu mengerti—
Mereka tidak main-main.
Dengan langkah tegap, pasangan Mahardika itu meninggalkan rumah keluarga Wicaksana. Dan setelah mereka pergi, ruangan yang tadi penuh dengan bisikan dan keramaian berubah senyap.
Semua orang sadar bahwa drama ini pasti belum berakhir.
****
Kirana terus melangkah menyusuri trotoar, tanpa tujuan, tanpa arah. Hatinya kosong.
Udara malam terasa dingin, menusuk kulitnya, tetapi ia bahkan tidak menggigil.
Suara kendaraan yang melintas terdengar samar di telinganya, seakan dunia di sekelilingnya tidak lagi nyata. Ia tidak tahu sekarang pukul berapa. Namun, saat tatapannya melayang ke seberang jalan, ia melihat papan neon Salon Jennings masih menyala terang. Itu berarti waktu belum menunjukkan pukul sebelas malam.
Ia menghela napas pelan. Bukan karena ada sesuatu yang penting tentang waktu. Tapi setidaknya, itu memberi sedikit pegangan di tengah pikirannya yang kacau.
Sibuk dengan perasaannya sendiri, Kirana tidak menyadari bahwa sebuah motor sport berwarna hitam telah melewatinya. Motor itu tidak melaju jauh—hanya berhenti beberapa meter di belakangnya.
Suara mesin dimatikan. Pengendaranya, seorang laki-laki dengan jaket kulit, perlahan melepas helmnya. Rambutnya sedikit acak-acakan karena angin malam. Ia menoleh ke arah Kirana, matanya sedikit menyipit seolah memastikan sesuatu.
Kemudian, tanpa ragu, ia turun dari motornya dan mulai berjalan cepat menyusul langkah Kirana.
Langkah Kirana melambat ketika mendengar suara langkah kaki mendekat.
"Masih berjalan-jalan di malam-malam begini?" Suara laki-laki itu terdengar jelas.
Kirana menoleh sekilas. Laki-laki itu sebaya dengannya, mungkin hanya selisih satu atau dua tahun lebih tua. Wajahnya tampan, tetapi ada kesan tajam dan tidak terduga di matanya.
"Aku mau tanya," lanjutnya, "kau tahu di mana apartemen Florist?"
Kirana terdiam sejenak. Lalu, dengan suara pelan, ia berkata, "Aku akan mengantarmu ke sana… kalau kau mau."
Laki-laki itu menatapnya beberapa detik, seolah menilai maksud ucapannya. Lalu, sudut bibirnya sedikit terangkat. "Baiklah," katanya, "tunjukkan jalannya."
Suara mesin motor menderu pelan di tengah jalanan kota yang mulai lengang. Kirana duduk di belakang, membiarkan angin malam menerpa wajahnya. Ia tidak berbicara, dan begitu pula laki-laki di depannya.
Perjalanan menuju Apartemen Florist tidak memakan waktu lama. Dalam hitungan menit, mereka sudah sampai. Apartemen ini memang terkenal sebagai tempat tinggal sementara bagi siswa dan mahasiswa yang bersekolah di distrik X, sementara orang tua mereka menetap di distrik Y.
Amelia, sahabatnya, tinggal di sini. Ia sempat tidak terpikirkan hal itu sebelumnya. Namun, untung saja ia bertemu dengan laki-laki ini—setidaknya, sekarang ia punya tujuan.
Setelah memarkir motor di area khusus penghuni, laki-laki itu turun dan melepas helmnya. Kirana ikut turun, memperhatikan bagaimana ia berjalan menuju lift dengan santai.
"Lantai berapa?" tanya Kirana sekadar basa-basi.
"Lantai sembilan."
Kirana sedikit terkejut. Ia tahu bahwa di lantai itu hanya ada satu unit apartemen mewah yang luasnya mencakup satu lantai. Itu berarti, laki-laki ini bukan orang biasa.
Namun, ia tidak bertanya lebih lanjut. Bukan urusannya siapa laki-laki itu sebenarnya.
Sementara itu, Kirana sendiri menuju lantai tiga. Ketika pintu lift terbuka, langkahnya ragu-ragu. Tapi begitu Amelia membuka pintu apartemennya dan melihat Kirana berdiri di ambang pintu, reaksi sahabatnya sama sekali tidak terkejut. Seolah… Amelia sudah tahu Kirana akan datang. Tanpa berkata banyak, Amelia melangkah ke samping, memberi ruang untuk Kirana masuk.
"Aku sudah menyiapkan satu kamar untukmu," kata Amelia dengan nada santai.
Kirana memandangnya dengan mata berkaca-kaca. Di saat semua orang menolaknya, setidaknya masih ada satu tempat yang menerimanya tanpa syarat.
Malam semakin larut, tetapi Kirana belum juga merasa mengantuk. Di dalam kamar apartemen Amelia, mereka duduk di atas tempat tidur, berbicara dengan suara pelan. Cahaya lampu tidur yang temaram memberikan suasana hangat, meskipun hati Kirana masih terasa dingin dan kosong.
Amelia membuka ponselnya dan menunjukkan sesuatu pada Kirana. "Ada teman sekolah kita yang membagikan video ini ke semua grup kelas," katanya.
Kirana menatap layar. Jantungnya mencelos saat melihat video itu. Adegan yang terekam jelas: dirinya dituduh sebagai pencuri kalung di rumah Wicaksana. Tatapan-tatapan penuh kebencian, suara-suara yang menyudutkan, dan bagaimana Nita dengan mudahnya menjebaknya.
"Benarkah ini?" Amelia bertanya hati-hati.
Kirana menggeleng perlahan. "Aku… tidak tahu siapa yang menjebakku," suaranya nyaris seperti bisikan.
Amelia menghela napas, lalu menyandarkan tubuhnya ke kepala tempat tidur. "Menurutku, pasti keluarga Wicaksana juga. Mereka mencari cara agar bisa menyingkirkanmu tanpa merusak reputasi mereka. Jika mereka mengusirmu secara terang-terangan, orang-orang pasti menganggapnya sangat kejam."
Kirana terdiam. Ada sesuatu yang begitu menyakitkan dalam kata-kata Amelia. Bukan karena itu tidak masuk akal—justru karena itu masuk akal.
Kirana bisa merasakan lagi tatapan dingin Adi Wicaksana, kata-kata tajamnya, bagaimana tangan Nyonya Ratna Wicaksana begitu mudahnya melayang ke wajahnya.
Selama delapan belas tahun, keluarga itu merawatnya dengan penuh cinta. Atau setidaknya, itulah yang selalu ia yakini. Namun kini, tidak ada satu pun yang tersisa. Semua berubah menjadi kebencian yang begitu nyata.
Kirana menundukkan kepala. Matanya menatap kosong ke arah selimut di pangkuannya. Mungkinkah… sejak awal, ia memang tidak pernah benar-benar menjadi bagian dari keluarga itu?
Amelia menepuk bahu Kirana dengan lembut, berusaha menenangkan sahabatnya yang masih tenggelam dalam kesedihan.
"Kirana, aku yakin keluarga Wicaksana sebenarnya tidak benar-benar membencimu," katanya pelan. "Mereka hanya merasa sangat bersalah karena telah membiarkan putri kandung mereka hidup serba kekurangan di Distrik Z bersama ibu kandungmu."
Kirana mengangkat kepalanya perlahan. Kata-kata Amelia terdengar masuk akal. Mungkin, itu memang alasan sebenarnya.
Jika dirinya berada di posisi mereka, mungkin dia juga akan merasa begitu.
Sedikit demi sedikit, beban di hatinya terasa lebih ringan. Seharusnya, sejak tadi ia berpikir seperti ini.
Sebelum Amelia kembali ke kamarnya sendiri, ia membagikan satu berita lagi.
"Oh, ngomong-ngomong," Amelia tersenyum samar, "sekolah kita akan kedatangan dua siswa baru."
Kirana mengerutkan kening.
"Siapa?"
"Satu laki-laki dan satu perempuan," jawab Amelia. "Yang perempuan… yah, sudah bisa ditebak."
Kirana langsung menghela napas. "Elvira Wicaksana."
"Tepat." Amelia mengangguk. "Dan yang laki-laki… menurut kabar, dia adalah putra tunggal seorang miliarder yang kekayaan dan kekuasaannya bahkan melebihi keluarga Mahardika."
Kirana terdiam sejenak, mencerna informasi itu. Beberapa detik kemudian, ia menatap Amelia dan berkata dengan nada tenang,
"Kalau begitu, sepertinya aku sudah tahu siapa dia."
Amelia menaikkan alis. "Oh? Siapa?"
Kirana menghela napas panjang sebelum menjawab. "Dia tinggal di lantai sembilan."