Pagi itu, Thomas berdiri di depan meja kayu tua di toko koran Sam. Udara London yang dingin terasa menusuk kulit, namun bukan itu yang membuatnya merasa gelisah. Di hadapannya, Sam duduk dengan ekspresi serius, tangannya terlipat di depan dada. Tidak ada kehangatan dalam tatapannya kali ini hanya ketegasan yang membuat Thomas sadar bahwa ini bukan perbincangan biasa.
Di atas meja, selembar tiket pesawat kelas ekonomi menuju Los Angeles dan selembar uang kertas senilai 100 dollar Amerika tergeletak.
"Ambil itu," ujar Sam singkat.
Thomas mengambilnya dengan hati-hati, menatap tiket dan uang yang ada di tangannya dengan kebingungan. "Apa maksudnya ini?" tanyanya, masih belum memahami situasi.
Sam menghela napas panjang sebelum menjawab, "The Heptagon tidak membutuhkan orang yang hanya bisa menerima perintah. Mereka butuh seseorang yang bisa berpikir cepat, beradaptasi, dan bertahan dalam situasi apa pun." Matanya menatap tajam ke arah Thomas. "Tugas pertamamu sebelum resmi diterima di The Heptagon adalah membuktikan bahwa kau bisa bertahan sendiri. Kau punya 100 dollar, tiket ini, dan akalmu. Itu saja."
Thomas terdiam. Ia sudah menduga bahwa akan ada ujian sebelum ia diterima sebagai anggota resmi The Heptagon, tapi ia tak menyangka akan dimulai dengan sesuatu yang begitu mendebarkan.
"Setibanya di Los Angeles, temukan The Heptagon Academy (THA)" lanjut Sam, "tidak ada yang akan membantumu. Kau harus menemukan cara untuk bertahan hidup, mencari informasi, dan menemukan sendiri jalan menuju Akademi. Jika kau gagal, jangan kembali."
Thomas menelan ludah. "Jadi... aku harus mencari sendiri jalan menuju THA hanya dengan ini?" tanyanya, mengangkat uang 100 dollar di tangannya.
Sam mengangguk. "Benar. Jangan meremehkan misi ini. Jika kau tidak cukup pintar, kau tidak akan bertahan. Jika kau tidak bisa mencari jalan sendiri ke Akademi, kau juga tidak layak menjadi bagian dari The Heptagon."
Thomas menatap Sam, mencari petunjuk lebih lanjut di wajah pria paruh baya itu. Namun, yang ia temukan hanyalah ekspresi dingin dan serius. Tidak ada belas kasihan. Tidak ada petunjuk tambahan.
"Pergilah," kata Sam. "Dan ingat satu hal The Heptagon tidak pernah menerima orang yang lemah dan bodoh.."
Perjalanan ke Amerika Serikat
Beberapa jam kemudian, Thomas sudah berada di dalam pesawat yang melaju di atas Samudra Atlantik, menuju Los Angeles. Duduk di bangku ekonomi yang sempit, ia mengingat kembali perintah Sam. Tidak ada bantuan, tidak ada peta, dan hanya 100 dollar untuk bertahan di kota asing yang terkenal dengan kerasnya kehidupan jalanan, dalam perjalanan tersebut Thomas membayangkan Murphy, matanya berkaca-kaca mengingat adiknya tersebut. dia tidak sempat untuk berpamitan dengan Murphy, karena waktu berangkat pada tiket tersebut adalah tinggal 2 jam lagi, sehingga membuat Thomas panik dan segera menuju bandara.
Saat pesawat mulai memasuki wilayah udara Amerika, ia menatap keluar jendela, melihat hamparan kota Los Angeles yang luas dan penuh dengan cahaya. Ini bukan London yang kelam dan berkabut. Ini adalah negeri yang asing, penuh peluang tetapi juga penuh bahaya.
Ketika pesawat mendarat dan para penumpang mulai berhamburan keluar, Thomas menyadari bahwa ia benar-benar sendiri. Ia tidak mengenal siapa pun di kota ini. Tidak ada alamat yang bisa dituju, tidak ada tempat untuk tinggal.
Yang ia tahu hanyalah satu hal The Heptagon Academy ada di suatu tempat di kota ini, dan ia harus menemukannya sendiri.
Hari Pertama: Bertahan Hidup di Kota yang Asing
Begitu keluar dari bandara, Thomas segera menyadari bahwa 100 dollar tidak akan bertahan lama di kota ini. Ia perlu memikirkan cara bertahan sebelum uangnya habis.
Langkah pertamanya adalah mencari tempat untuk bermalam. Ia berjalan keluar dari kawasan bandara menuju pusat kota, berharap menemukan tempat yang cukup murah untuk menginap. Setelah beberapa jam berjalan kaki menyusuri jalanan Los Angeles yang bising, ia menemukan sebuah motel murah di sudut jalan yang terlihat sedikit kumuh.
"Berapa harga kamar semalam?" tanya Thomas kepada resepsionis, seorang pria tua dengan wajah lelah.
"30 dollar," jawab pria itu tanpa menatapnya.
Thomas menimbang situasi. Jika ia menghabiskan 30 dollar untuk satu malam, uangnya akan habis dalam beberapa hari. Ia harus menemukan cara lain untuk bertahan.
Akhirnya, ia memutuskan untuk tidur di halte bus, membiarkan tubuhnya bertahan dalam dinginnya malam Los Angeles. Tidak nyaman, tetapi ia harus berhemat.
Saat malam semakin larut, Thomas duduk di bangku halte, mengamati sekelilingnya. Ia melihat orang-orang berlalu lalang, beberapa di antaranya tampak seperti gelandangan, yang lain seperti preman jalanan. Ia menyadari bahwa ia harus berhati-hati Los Angeles bukan tempat yang ramah bagi seseorang yang baru datang tanpa rencana yang jelas.
Hari Kedua: Mencari Informasi dan Jalur Menuju Akademi
Keesokan harinya, Thomas menyadari bahwa ia harus mulai bergerak. Tidak hanya mencari makanan, tetapi juga mencari informasi tentang lokasi The Heptagon Academy.
Namun, tentu saja, Akademi ini bukanlah tempat yang bisa ditemukan di Peta. Tidak ada alamat yang jelas. The Heptagon adalah organisasi rahasia, dan lokasinya tidak akan bisa ditemukan oleh sembarang orang.
Thomas memutuskan untuk pergi ke distrik bisnis, tempat orang-orang sibuk berlalu-lalang dengan setelan mahal dan mobil mewah. Ia tahu, dalam lingkungan seperti ini, informasi berharga bisa ditemukan jika tahu cara bertanya.
Setelah berjalan selama beberapa jam, Thomas menemukan sebuah klub malam eksklusif yang tampaknya menjadi tempat berkumpulnya orang-orang berpengaruh di dunia bawah kota. Ia tidak punya cukup uang untuk masuk, tetapi ia tahu bahwa tempat seperti ini sering kali memiliki penjaga pintu yang bisa disuap.
Menggunakan 20 dollar terakhirnya, ia mendekati salah satu penjaga yang tampak berwibawa namun mudah diajak berbicara.
"Aku mencari seseorang yang tahu sesuatu tentang Akademi (THA)," katanya dengan suara rendah sambil menyelipkan uang ke tangan penjaga.
Pria itu menatapnya tajam sebelum tersenyum kecil. "Kau berada di jalur yang benar, bocah. Tapi The Heptagon tidak akan menerima seseorang yang hanya bisa menebak-nebak. Kau harus membuktikan bahwa kau bisa bertahan."
Thomas merasa jantungnya berdegup cepat. Apakah ini ujian lain?
Sebelum ia bisa bertanya lebih lanjut, penjaga itu memberinya secarik kertas dengan sebuah alamat yang tertulis di atasnya. "Pergilah ke sini. Jika kau cukup pintar, kau akan tahu apa yang harus dilakukan."
Thomas menatap kertas itu. Tidak ada nama jalan yang jelas, hanya koordinat yang tampaknya mengarah ke sebuah distrik industri yang terpencil.
Tanpa ragu, ia segera bergerak menuju lokasi yang diberikan.
Malam di Distrik Industri
Ketika Thomas tiba di lokasi yang ditunjukkan, ia menemukan sebuah gudang tua yang tampaknya sudah lama tidak digunakan. Namun, ia tahu lebih baik daripada menganggap tempat ini kosong. Ia berjalan perlahan, memperhatikan setiap detail di sekitarnya.
Saat ia mendekati pintu masuk gudang, sebuah suara terdengar dari belakangnya.
"Jadi, kau berhasil sejauh ini," kata seseorang.
Thomas menoleh, melihat seorang pria bertubuh kekar dengan setelan hitam berdiri di bawah lampu jalan yang redup.
"Siapa kau?" tanya Thomas dengan hati-hati.
Pria itu menyeringai. "hmmmm... Dan sekarang, kau akan menjalani ujian terakhir sebelum diterima."
Di bawah cahaya lampu gudang yang remang-remang, Thomas berdiri dengan napas terengah-engah. Tubuhnya sudah terasa berat setelah hari yang panjang tanpa makanan dan istirahat yang cukup. Di hadapannya, pria bertubuh kekar dengan jas hitam berdiri tegap, menatapnya dengan mata tajam penuh evaluasi.
"Apa kau sudah siap?" suara pria itu terdengar datar, namun ada aura kekuatan yang terpancar dari setiap kata yang diucapkannya.
Thomas tidak menjawab. Dia tahu bahwa pertanyaan itu tidak membutuhkan jawaban. Detik berikutnya, pria itu melangkah maju dengan kecepatan yang tidak masuk akal untuk seseorang bertubuh sebesar itu. Sebelum Thomas sempat bereaksi, pukulan keras menghantam perutnya, membuatnya terhuyung mundur. Napasnya tercekat, rasa sakit menjalar dari ulu hatinya.
--------------> Bersambung