Pertarungan telah dimulai.
Thomas menguatkan kakinya, berusaha tetap berdiri. Dia tahu dia tidak bisa menang. Lawannya ini bukan sembarang orang dari gerakannya yang cepat dan serangannya yang terukur, jelas bahwa ini bukan hanya sekadar penguji biasa. Tapi Thomas juga tahu satu hal: pertarungan ini bukan tentang menang atau kalah. Ini adalah ujian untuk menguji seberapa jauh ia bisa bertahan.
George Simbian, yang dikenal sebagai The Line 99, tidak memberikan ruang untuk bernapas. Ia menyerang dengan kombinasi pukulan dan tendangan yang membuat Thomas semakin kesulitan bertahan.
Sebuah pukulan telak mengenai pipi Thomas, membuatnya hampir jatuh. Darah merembes dari sudut bibirnya. Namun, alih-alih menyerah, Thomas mengatupkan giginya, menatap Simbian dengan mata yang penuh determinasi.
George Simbian memperhatikan reaksi Thomas, matanya menyipit sedikit. "Masih bisa berdiri?" gumamnya pelan.
Thomas menarik napas panjang. Dengan langkah tertatih, ia kembali mengangkat tinjunya. "Tentu saja," katanya, meski suaranya sedikit bergetar.
George tersenyum kecil, lalu kembali menyerang.
Pertarungan berlangsung selama sepuluh menit penuh. Dalam waktu itu, Thomas menerima lebih banyak pukulan dan tendangan daripada yang pernah ia alami dalam hidupnya. Ia jatuh berkali-kali, tetapi setiap kali tubuhnya menyentuh tanah, ia selalu bangkit kembali.
Lututnya gemetar, tangannya terasa mati rasa, wajahnya lebam parah. Namun, satu hal yang tidak berubah adalah tatapan matanya, Walaupun Lebam parah tatapannya tetap seperti seseorang yang tidak akan menyerah, tidak peduli seberapa buruk keadaannya.------------
George akhirnya berhenti sejenak, menatap Thomas yang masih berdiri dengan sisa tenaga terakhirnya.
"Hah... hah...," Thomas mengatur napasnya. Dia hampir tidak bisa melihat dengan jelas, darah mengalir dari alis dan bibirnya, tetapi dia masih berusaha berdiri dengan tertatih-tatih.
George menghela napas, lalu mengangkat satu tangan. "Cukup."
Thomas tidak bisa bereaksi lebih lama lagi. Begitu kata itu keluar, tubuhnya kehilangan tenaga sepenuhnya. Pandangannya mulai kabur sebelum akhirnya gelap total.
Dan Akhirnya Thomas pingsan.
George Simbian berdiri di samping tubuh Thomas yang tergeletak di tanah. Tanpa berkata-kata, dia menunduk, mengangkat Thomas dengan satu tangan dan melemparkannya ke bahunya seperti menggendong karung gandum.
Saat mulai berjalan keluar dari Gudang , dia mengeluarkan ponsel dari sakunya dan menekan tombol panggilan cepat.
"Halo, Mr. Ice. Maaf mengganggu waktu Anda," katanya santai sambil terus berjalan.
Dari seberang telepon, suara Mr.Ice terdengar dengan nada yang sedikit penasaran. "Bagaimana hasilnya?"
George menatap tubuh Thomas yang masih pingsan di bahunya, lalu tersenyum kecil. "Buah telah saya matangkan dan siap untuk dimakan."
Di seberang sana, Mr. Ice tersenyum puas.
Mereka tidak membicarakan kemenangan atau kekalahan, karena itu bukan inti dari ujian ini. Ujian ini adalah tentang ketangguhan, tentang mental pantang menyerah, tentang karakter seseorang saat menghadapi kesulitan yang tampaknya mustahil diatasi.
Thomas tidak akan pernah bisa menang melawan George Simbian, salah satu eksekutif tertinggi The Heptagon. Tetapi ia tidak menyerah, dan itulah yang membuatnya lolos.
"Bawa dia ke Akademi," kata Mr.Ice akhirnya. "Pastikan dia mendapat tempat yang sesuai dengan potensinya."
George terkekeh kecil. "Mr. Ice memang luar biasa dalam mencari anggota. Kali ini, aku yakin kita mendapatkan bakat istimewa."
Sambungan telepon terputus, dan George melanjutkan langkahnya, membawa Thomas ke mobil hitam yang sudah menunggu di dekat gudang.
Di dalam dunia yang gelap ini, Thomas kini telah melangkah lebih jauh dari yang pernah ia bayangkan.
Mungkin, bagi sebagian orang, malam ini hanyalah awal dari ujian baru. Tapi bagi Thomas, ini adalah awal dari kehidupan yang benar-benar berbeda. Dia bukan lagi seorang anak yang melarikan diri dari kemiskinan dan tragedi. Kini, dia adalah bagian dari The Heptagon. Dan dunia bawah akan segera mengenalnya.
Bangkit dari Kegelapan
Rasa sakit yang menjalar di seluruh tubuh membuat Thomas perlahan membuka matanya. Cahaya putih dari lampu langit-langit menyilaukan penglihatannya, membuatnya berkedip beberapa kali sebelum akhirnya bisa melihat lebih jelas. Tubuhnya terasa berat, seolah-olah setiap tulang dan ototnya dihantam palu godam tanpa henti.
Ia mencoba menggerakkan tangannya, tetapi sensasi dingin menusuk di pergelangannya membuatnya sadar bahwa infus terpasang di lengannya. Ketika akhirnya ia menoleh ke bawah, ia melihat tubuhnya terbalut perban di berbagai tempat. Luka memar yang mulai menghitam tersebar di sekujur tubuhnya, mengingatkan betapa brutalnya pertarungan terakhir yang harus ia jalani.
Dengan usaha besar, Thomas mencoba mengangkat kepalanya sedikit. Pemandangan di sekitarnya membuatnya terdiam. Ruangan ini tidak hanya berisi dirinya.
Sekitar 50 orang seusianya juga terbaring di ruangan yang sama, semuanya dalam kondisi yang tidak jauh berbeda terbalut oleh perban, beberapa masih pingsan, yang lain tampak mencoba bergerak meski dengan susah payah.
Thomas menelan ludah, mencoba memahami situasi.
"Apakah mereka juga peserta ujian?
Apakah mereka juga mengalami hal yang sama?"
Matanya kemudian beralih ke dinding kaca besar di sisi ruangan. Dari balik kaca, ia bisa melihat beberapa dokter dan staf medis berlalu-lalang, memastikan setiap pasien mendapatkan perawatan. Namun, yang menarik perhatiannya bukanlah mereka, melainkan jumlah tempat tidur di ruangan ini yang terisi hanya sekitar 50 orang. Dan sejenak membuat Thomas berfikir.
Standar Seleksi The Heptagon
Thomas mulai berpikir keras. Jika hanya ada sekitar 50 orang yang berada di ruangan ini, itu berarti hanya mereka yang berhasil lulus dari ujian masuk The Heptagon Academy (THA). Namun, pertanyaan besarnya adalah: berapa banyak peserta yang mengikuti ujian ini sejak awal?
Dengan mengingat informasi yang ia dapat sebelumnya dari Paman Sam, ia menyusun logika di kepalanya:
· Biasanya Setiap wilayah The Line mengirimkan 20 orang sebagai utusan.
· Total The Line dalam struktur organisasi The Heptagon adalah 161.
· Jika setiap wilayah mengirimkan 20 peserta, berarti ada sekitar 3,220 peserta yang mengikuti ujian ini.
· Namun, hanya 50 orang yang berhasil bertahan dan lulus.
Sebuah angka yang sangat mengerikan. Hanya 1,5% dari seluruh peserta yang berhasil mencapai tahap ini.
Thomas menelan ludah. Itu berarti 3,170 orang lainnya mengalami nasib yang tragis.
Ia mencoba memikirkan berbagai kemungkinan yang terjadi pada mereka:
· Banyak yang tidak berhasil menemukan lokasi tujuan dan tersasar di tempat yang salah.
· Sebagian besar terjebak dalam lingkungan yang berbahaya dan akhirnya tewas.
· Ada yang berhasil tiba di lokasi ujian, tetapi gagal dalam pertarungan karena menyerah atau tidak cukup tangguh.
· Beberapa orang mungkin dikhianati oleh sesama peserta atau jatuh dalam perangkap yang dirancang oleh The Heptagon untuk menguji kecerdasan mereka.
· Bahkan ada kemungkinan bahwa beberapa peserta dieksekusi secara langsung karena dianggap terlalu lemah untuk melanjutkan.
Fakta bahwa hanya 50 orang yang berada di ruangan ini menunjukkan betapa kejamnya standar seleksi The Heptagon.
Ini bukan ujian biasa. Ini adalah penyaringan brutal yang dilakukan oleh organisasi bawah tanah terbesar di dunia untuk memastikan hanya yang terbaik yang bisa bertahan.
Thomas menggertakkan giginya. Ia mulai memahami betapa besar harga yang harus dibayar untuk menjadi bagian dari organisasi ini. Namun ada satu hal lagi yang mengganggunya. Ada beraa orang peserta yang tewas dalam mengikuti ujian ini?
Saat Thomas masih tenggelam dalam pikirannya, pintu ruangan terbuka secara otomatis. Suara sepatu hitam yang menghentak lantai bergema di seluruh ruangan.
Semua pasien yang masih sadar termasuk Thomas menoleh ke arah pintu.
Sosok yang masuk adalah George Simbian The Line 99.
Tatapan tajam pria itu menyapu seluruh ruangan, seakan mengamati satu per satu wajah-wajah yang tersisa. Ia berdiri tegap di tengah ruangan, lalu berbicara dengan suara yang dingin namun berwibawa.
"Selamat. Kalian adalah orang-orang yang berhasil melewati ujian pertama The Heptagon Academy."
Tidak ada tepuk tangan. Tidak ada ekspresi bangga. Hanya diam dan ketegangan yang menggantung di udara.
"Dari 3,220 peserta, hanya kalian 50 orang yang bertahan. Sisanya? Mati, gagal, atau menyerah."
Mata Simbian menyipit sedikit, seolah mengamati bagaimana reaksi mereka terhadap kenyataan pahit ini.
"Jika ada yang berpikir bahwa ini sudah merupakan pencapaian besar maka kalian salah besar." lanjutnya, suaranya terdengar lebih dingin. "Ini hanyalah awal dari perjalanan panjang. Jika kalian menganggap ujian pertama ini sulit, maka kalian lebih baik pergi sekarang, karena apa yang akan datang jauh lebih brutal dari pada yang pernah kalian bayangkan."
Beberapa orang tampak menelan ludah, sementara yang lain hanya diam dengan ekspresi kosong. Mereka sudah tahu bahwa The Heptagon bukanlah tempat untuk mereka yang ragu-ragu atau takut mati.
George kemudian melangkah maju, berdiri tepat di depan Thomas yang masih berbaring. Ia menatap Thomas dengan mata yang tajam sebelum akhirnya berbicara dengan suara rendah yang hanya bisa didengar oleh Thomas.
"Bangunlah, kau bukan orang biasa di sini. kau adalah utusan Mr. Ice bukan."
Mendengar kata "Mr. Ice" Thomas, bingung dan berfikir sejenak, "Siapa Mr.Ice?" batinnya. Dengan menuruti perkataan George, Thomas menahan rasa sakit di tubuhnya, dan susah payah mencoba bangun dari ranjang. Setiap gerakan terasa seperti menusukkan jarum ke seluruh tubuhnya, tetapi ia tidak mau menunjukkan kelemahan.
"Bagus...., Mr. Ice memang tidak pernah salah dalam memilih anak didiknya." Ujar George Kembali.
Setelah Thomas duduk diranjangnya dan menoleh kearah George, Tiba-tiba...., sebuah pukulan keras menghantam perutnya.
"UGHH!" Thomas mengerang kesakitan, tubuhnya hampir terlempar dari ranjang. Seluruh ruangan terdiam.
Ke-49 peserta lainnya merinding melihat bagaimana George menghantam perut Thomas tanpa alasan yang jelas.
Lalu, dengan suara yang hampir seperti bisikan dingin di telinga Thomas, George Simbian berkata:
"Jangan sekalipun kau buat Mr. Ice kecewa... atau kau akan kubunuh."
Tatapan Simbian berubah lebih dingin, seolah menatap sesuatu yang lebih dalam dari sekadar anak muda yang baru saja masuk ke organisasi ini.
"Fakta bahwa George Simbian tidak tahu bahwa Thomas tidak mengetahui siapa Mr. Ice, sebenarnya."
Thomas menelan rasa sakitnya dan mengangguk dalam kebingungan.
Akan tetapi dia paham satu akan satu hal. Tidak ada ruang untuk kegagalan di The Heptagon. Dan sekarang, ia telah benar-benar masuk ke dalamnya.