Bab 10: Langkah Pertama
Setelah beberapa hari merenung, Zaon akhirnya memutuskan untuk berbicara dengan Liang tentang keputusan yang telah ia buat. Ia tahu, meskipun jalan ini penuh dengan ketidakpastian, ia tidak bisa terus menghindari kenyataan yang semakin dekat.
Keesokan harinya, Zaon mencari Liang di ruang ramuan, tempat mereka biasanya menghabiskan waktu bersama. Liang sedang sibuk dengan bahan-bahan ramuan, tetapi ketika melihat Zaon masuk, ia berhenti dan menatapnya.
"Ada apa, Zaon?" tanya Liang, merasakan perubahan dalam sikap Zaon.
Zaon menarik napas dalam-dalam, kemudian menghadap Liang dengan tekad di matanya. "Aku sudah memutuskan. Aku tidak akan terus menghindar. Aku akan belajar lebih banyak—lebih dari sekadar pengobatan. Aku ingin memahami dunia ini, dan bagaimana aku bisa bertahan di dalamnya. Aku tahu itu akan sulit, tapi aku sudah siap."
Liang mengangguk pelan, seolah sudah mengetahui keputusan itu. "Aku tahu kau akan sampai pada titik ini, Zaon. Ini adalah langkah pertama menuju jalan yang panjang dan penuh tantangan. Tapi ingat, tidak ada yang mudah. Jika kau memilih jalan ini, kau harus siap menghadapi semua konsekuensinya."
Zaon menunduk, merenung sejenak. "Aku akan belajar untuk melindungi diriku dan orang-orang yang aku cintai. Aku akan mencari cara untuk menjadi lebih dari sekadar seorang penyembuh."
Liang tersenyum, bangga akan keputusan Zaon. "Jangan lupakan akarmu, Zaon. Pengobatan itu bukan hanya tentang menyembuhkan tubuh, tetapi juga hati. Jika kau bisa menyembuhkan hati orang lain, maka kau akan lebih kuat daripada apa pun di dunia ini."
Zaon mengangguk dengan tekad yang semakin kuat. Meskipun hatinya masih berat, ia merasa siap untuk melangkah ke depan, mengejar takdir yang sudah menantinya.
---
Suatu hari, setelah latihan yang melelahkan, Zaon duduk di tepi sungai, menatap air yang mengalir tenang. Liang duduk di sampingnya, melihat ke depan dengan tatapan jauh.
"Apa yang kau pikirkan, Zaon?" tanya Liang, menyadari kecemasan yang ada di wajah Zaon.
Zaon menghela napas panjang. "Aku merasa seperti kehilangan arah. Aku tidak tahu siapa aku lagi. Aku tidak ingin menjadi orang yang berjuang hanya untuk bertarung."
Liang tersenyum, memandang Zaon dengan bijak. "Zaon, menjadi kuat bukan berarti menjadi orang yang suka bertarung. Kekuatan sejati adalah kemampuan untuk memilih saat yang tepat untuk bertarung dan saat yang tepat untuk berdamai. Ingatlah, takdir bukan tentang apa yang kita inginkan, tetapi tentang apa yang kita lakukan dengan pilihan kita."
Zaon merenung, mencoba memahami kata-kata Liang. Ia tahu bahwa jalan yang ia pilih tidak akan mudah, tetapi ia juga tahu bahwa kekuatan sejati datang dari ketenangan hati dan keputusan yang bijak.
---
Baik, jika Zaon masih dalam keadaan bimbang dan belum siap sepenuhnya untuk terjun ke dunia beladiri, kita bisa menjaga suasana keraguannya dan ketidakpastiannya dalam bab 12. Dalam bab ini, kita bisa fokus pada perasaan Zaon yang masih cemas, ragu, dan terjebak di antara ingin belajar beladiri untuk bertahan hidup atau takut melanggar harapan ibunya.
Berikut adalah Bab 12 yang lebih mendalam sesuai dengan perasaan dan kondisi Zaon yang sedang bingung dan belum siap untuk memilih jalan hidup yang lebih keras:
---
Bab 12: Bayangan Gelap
Malam itu, Zaon terjaga lebih lama dari biasanya. Angin malam berhembus lembut di luar jendela, tetapi dalam hati Zaon, ada ketegangan yang tak kunjung reda. Ia duduk di tepi ranjang, matanya menatap kosong ke arah dinding, pikirannya penuh dengan pertanyaan yang tak terjawab.
Keputusan yang ia buat beberapa waktu lalu untuk memulai pelatihan bersama Senior Liang semakin terasa berat. Ia tahu, jika ia melanjutkan jalan ini, maka tidak ada lagi jalan mundur. Dunia yang ia kenal, yang selama ini terasa aman dan nyaman, akan berubah drastis. Dunia yang akan ia hadapi penuh dengan bahaya, kekerasan, dan ketidakpastian.
Zaon menghela napas, mencoba menenangkan diri. Di luar sana, di bawah cahaya rembulan, dunia terasa begitu besar dan menakutkan. Sejenak, ia teringat pada ibunya, sosok yang selalu mengajarinya untuk hidup dalam kedamaian, jauh dari kekerasan. Ibunya selalu berkata bahwa kebahagiaan ada dalam kehidupan yang sederhana, tanpa harus terlibat dalam pertarungan atau konflik. Tetapi kini, setelah melihat dunia yang semakin keras dan penuh ancaman, Zaon merasa seperti terjepit di antara dua dunia yang berbeda.
"Apakah ini yang benar?" Zaon bergumam pelan pada dirinya sendiri. "Apakah aku harus mengikuti jalan ibuku dan tetap hidup dalam ketenangan, atau harus melangkah ke dunia yang penuh kekerasan ini demi bertahan hidup?"
Ia merasa seperti ada bayangan gelap yang terus mengintai, datang dari masa depan yang tak pasti. Apakah ia akan mampu menghadapinya? Apakah ia akan mampu menjaga kedamaian dalam hatinya jika ia memilih untuk belajar beladiri? Zaon tidak tahu. Semua terasa begitu membingungkan.
Dalam lamunannya, Zaon mendengar suara yang familiar. Itu adalah suara Senior Liang yang sedang berdiri di pintu. "Zaon," kata Senior Liang dengan suara rendah, seolah-olah menyadari kegelisahan Zaon. "Ada sesuatu yang mengganggumu, bukan?"
Zaon menoleh, mata mereka bertemu. "Senior, aku… aku ragu. Apa aku harus benar-benar melanjutkan ini? Apa aku siap untuk hidup di dunia yang penuh bahaya? Aku takut bahwa jika aku memulai pelatihan ini, aku akan mengkhianati apa yang telah diajarkan ibuku. Aku takut aku akan menjadi seseorang yang tidak aku kenal."
Liang berjalan mendekat, duduk di samping Zaon tanpa berkata-kata sejenak. Ia tahu, ini bukanlah masalah yang bisa diselesaikan hanya dengan kata-kata.
"Zaon," kata Senior Liang pelan, penuh pengertian. "Aku mengerti kebingunganmu. Tetapi dunia ini tidak selalu sesuai dengan harapan kita. Terkadang, kita harus memilih jalan yang tidak kita inginkan, karena itu satu-satunya cara kita bisa bertahan. Tetapi itu tidak berarti kita harus mengorbankan diri kita sepenuhnya. Kekerasan bukanlah solusi, tetapi dunia ini mengharuskan kita untuk tahu cara melindungi diri kita."
Zaon mendengarkan kata-kata Senior Liang, namun hatinya masih terasa berat. Ia tidak tahu apakah ia bisa menerima kenyataan bahwa untuk bertahan hidup, ia harus mempelajari kekuatan yang selama ini ia hindari. Namun, ia juga tahu bahwa dunia ini tidak lagi sesederhana yang ia bayangkan. Ada ancaman yang mengintai, dan semakin lama ia berpikir, semakin jelas bahwa ia mungkin harus menghadapi kenyataan pahit itu.
Namun, meskipun ada dorongan untuk memulai pelatihan, Zaon merasa dirinya terbelah. Ia tidak ingin melanggar apa yang telah diajarkan ibunya, tetapi ia juga tidak bisa menutup mata terhadap kenyataan dunia yang semakin gelap.
Dengan berat hati, Zaon akhirnya menghela napas panjang dan berkata, "Aku… aku masih bingung, Senior. Aku tidak tahu harus mulai dari mana."
Senior Liang menatapnya dengan bijak, lalu berkata, "Tidak ada yang salah dengan kebingungan. Terkadang kita perlu waktu untuk merenung. Jalanmu tidak akan selalu jelas. Tetapi ingatlah, Zaon, jalan yang kau pilih harus sesuai dengan siapa dirimu. Jangan terlalu terburu-buru, namun juga jangan biarkan ketakutan menghalangi langkahmu."
Zaon menundukkan kepala, mencoba mencerna kata-kata Senior Liang. Malam itu, meskipun keputusan belum dibuat, Zaon merasa sedikit lebih tenang. Ia tahu, apapun yang akan ia pilih, ia harus siap menghadapi kenyataan dunia yang jauh lebih besar dan lebih kompleks dari yang ia bayangkan.
Namun untuk sekarang, ia hanya bisa merenung, mencoba menemukan jawaban dalam dirinya sendiri.
---