Setetes, dua tetes air mata yang mengalir segera mulai berjatuhan dengan deras. Euijae membeku, masih menggenggam tangan Lee Sayoung.
'Dia menangis?'
Lee Sayoung?
'Kenapa?'
Apa alasan yang membuatnya menangis begitu melihatku? Banyak sekali pikiran yang muncul seperti gelembung.
'Apa karena dia bangun dan aku tidak ada di sampingnya?'
Mungkinkah Lee Sayoung menangis hanya karena hal itu. Euijae menghapus kemungkinan pertama. Dia lebih mungkin merasa kesal atau marah, tapi sepertinya tidak mungkin menangis. Atau mungkin….
'Apa dia bermimpi aku mati?'
....
Euijae mengalihkan pandangannya yang sempat tertuju pada ujung jarinya dan menatap Lee Sayoung. Dan, huk, dia menarik napas kecil.
Wajah pucat yang menatapnya sama sekali tidak menunjukkan emosi. Ekspresi terkejut seperti melihat hantu pun sudah lama menghilang. Seolah itulah emosi terakhir yang tersisa.
Dia hanya menatap. Cha Euijae. Mata ungu yang sebelumnya menyiratkan banyak emosi yang disembunyikan, kini hanya memantulkan satu orang seperti cermin.
Hanya Cha Euijae seorang.
"...."
Euijae hendak mengatakan sesuatu, tetapi menutup mulutnya.
Lee Sayoung di hadapannya tampak 'aneh'. Bukan karena air mata yang terus mengalir, atau kehangatan yang terasa dari tangan yang digenggamnya, tetapi seolah-olah dia tidak bisa dianggap hidup, seolah-olah dia….
Seperti terpisah dari dunia ini.
Saat pikiran itu muncul, pandangan di sekelilingnya berputar. Sakit kepala berdenyut menyerang. Euijae mengerutkan wajah dan memegangi kepalanya. Tangan yang sebelumnya digenggam terlepas seperti ular yang meluncur.
Bibir yang memerah karena darah yang naik terbuka.
"Cha Euijae."
Mendengar nama itu, tubuhnya menegang. Itu adalah reaksi naluriah. Sebuah ruas jari dari tangan hitam itu melingkari tangan Euijae, dengan hati-hati menariknya kembali ke arahnya. Lalu, dia menggoreskan telapak tangannya yang dipenuhi bekas luka panjang dengan lembut. Merinding menjalari tulang punggungnya.
"...Kupikir semua ini tidak ada artinya."
"..."
"Hal-hal yang kulakukan...."
Haa, desahan pendek keluar. Bulu mata panjang yang berlinang air mata bergetar. Di balik mata seperti cermin itu, secercah kelembutan terpancar.
"Syukurlah."
"..."
"Kau terlihat baik-baik saja...."
Dia menundukkan kepalanya mendekati punggung tangan Cha Euijae. Bibir yang tidak menyentuh, hanya menyisakan celah kecil, bergerak.
"...Kau menjaganya?"
"...Apa?"
"Tentu saja... Kau pasti tidak menjaganya."
Lee Sayoung melepaskan tangan yang dipegangnya dan mundur selangkah. Di atas tangan Euijae yang ditinggalkan tanpa sentuhan, sebuah jam tangan yang ditinggalkannya berada di sana. Detik jam bergerak, berdetak. Sayoung memasukkan kedua tangannya ke dalam saku mantelnya dan menunjuk jam itu dengan dagunya.
"Jaga baik-baik jam tangannya.... Karena itu berharga."
Euijae mencengkeram jam tangan itu dan mengangkat kepalanya. Angin bertiup, menerbangkan rambut hitam dan ujung mantelnya. Sensasi aneh mulai menjalar dari bawah kakinya.
'Lee Sayoung' itu bukanlah Lee Sayoung yang dia kenal. Namun, dia juga adalah Lee Sayoung 'yang dia kenal'.
Seketika, pandangannya menjadi kabur.
Pandangan benar-benar merah. Bau anyir darah tidak hilang-hilang. Tidak ada sensasi di seluruh tubuh. Tenggorokan yang kering terasa sakit seperti robek, namun ia tidak berhenti bergumam. Ia tahu bahwa ia tidak tahan jika bahkan suara kecil pun tidak ada.
Namun, tidak ada orang yang akan mengeluarkan suara untuknya. Rasa sakit di tubuh telah tumpul, tetapi ia tidak bisa menghindari pemandangan yang mengoyak jantung….
Berkibar,
Sesuatu yang hitam menutupi kepala dan tubuh bagian atasnya. Pemandangan merah menghilang dan kegelapan datang. Euijae perlahan berhenti bergumam. Karena ia merasakan kehadiran makhluk hidup.
'....'
'....'
'..........'
Kehangatan suam-suam kuku terasa menembus balik mantel. Seseorang berbisik.
'Kembali... tenang...… lah.'
Kesadaran yang kabur tiba-tiba kembali. Zzzraa…. suara ombak yang menghantam pemecah ombak dan kembali ke laut membangunkan kesadaran. Namun, batu berat masih terasa menekan kepalanya.
Euijae bertanya dengan wajah berkerut.
"Kau…. siapa? Kenapa…."
"Ah…."
Dia bergumam.
"Sepertinya tidak akan bertahan lama…."
Lee Sayoung, yang mengedipkan mata beberapa kali, menutup matanya. Saat itu juga, tubuh besar itu kehilangan keseimbangan dan jatuh. Euijae buru-buru mengulurkan kedua tangannya untuk menahan tubuh itu. Beban berat menghujam ke arah Cha Euijae, tetapi dia tidak goyah. Tak lama kemudian, erangan kecil terdengar dari dalam pelukannya.
"Sial…."
Itu adalah suara yang bercampur kejengkelan. Mendengar sumpah serapah dan kejengkelan yang familiar itu, Euijae menunduk menatap kepala berambut hitam yang ada di pelukannya. Lee Sayoung mengedipkan matanya seolah mencoba memahami situasi, lalu, melihat Euijae yang memeluknya, matanya membelalak. Mata yang merah bengkak, dan bulu mata yang panjang masih dipenuhi air mata.
"…Hyung? Apa yang terjadi?"
Setelah memastikan itu Euijae, Sayoung menegakkan tubuhnya dan melihat sekeliling. Kemudian, dia menemukan monumen peringatan di belakang mereka dan mengerutkan keningnya.
"…Incheon? Kenapa kau ada di sini."
"Itu yang ingin kutanyakan padamu?"
"Apa maksudmu…."
"Kaulah yang ada di sini. Aku datang untuk mencarimu."
Euijae menghela napas dan menepuk punggung Sayoung dengan lembut, seolah menenangkan. Sayoung, yang menatap Euijae dengan wajah bingung, segera mengusap wajahnya dengan tangan. Namun, itu hanya sesaat, dia terhenti saat melihat air mata yang menempel di tangannya. Wajahnya berkerut.
"Ah, sialan, apa ini…."
Sayoung membelai sudut matanya dengan ujung jarinya. Air mata terus menetes tanpa henti. Sayoung menggosok wajahnya dengan kasar.
"Kenapa ini…."
Semakin digosok, sudut matanya semakin memerah. Euijae meraih tangan Sayoung dan dengan hati-hati menyeka air mata itu dengan lengan jaketnya. Namun, air mata itu tidak mudah berhenti. Semakin diseka, semakin banyak yang keluar.
"Tidak, kenapa terus menangis. ...Apa kau sakit? Apa kau tidak enak badan?"
Di bawah lengan baju, mata ungu menatap tajam Cha Euijae. Euijae bisa membaca rasa lega yang tersembunyi di balik kejengkelan dan ketidaksenangan itu.
Dua mata yang dipenuhi kehangatan.
Bukan mata kosong yang sebelumnya memantulkan Cha Euijae seperti cermin.
"...."
Sayoung sedikit menundukkan kepalanya agar Euijae lebih mudah menyeka air matanya, lalu bergumam.
"...Aku tidak menangis."
"Apa?"
"Ini di luar kendaliku. Aku tidak tahu kenapa…. Ah, sial…."
Itu seperti nada merajuk seorang anak kecil. Jika bukan karena umpatan yang menyertainya.
Sayoung meraih tangan Euijae yang sedang menyeka air matanya dan menempelkannya ke pipinya. Kemudian, dia menghela napas kecil dan membenamkan pipi dan wajahnya yang basah ke tangan yang kokoh itu. Itu seperti rengekan binatang besar. Bulu mata yang basah oleh air mata menyapu telapak tangan, terasa menggelitik. Kemudian terdengar bisikan kecil.
"Ah, menyebalkan…."
Mungkinkah, aku yang menyebalkan? Belum pernah kulihat orang yang tidak tahu berterima kasih seperti ini. Saat Euijae yang marah hendak membalas, seolah menyadari gelagat itu, Sayoung mengangkat matanya dengan tajam.
"Bukan pada Hyung."
"...."
Orang yang seperti hantu. Euijae yang merasa canggung dengan hati-hati mengusap sudut matanya dengan ibu jarinya. Lee Sayoung, yang menggigit bibirnya, berkata.
"...Peluk aku."
"Apa katamu?"
"Cepat."
Sayoung mendesak. Biasanya dia bertindak santai dan santai dalam banyak situasi, tetapi karena dia bertindak dengan tergesa-gesa, Euijae juga merasa bingung. Euijae menatap Lee Sayoung yang dengan cemas menggosok pipi dan hidungnya ke tangannya, dan bertanya dengan curiga.
"Kau benar-benar baik-baik saja―"
"Hah…."
Sayoung menghela napas kasar dengan nada kesal. Lalu, ia menarik paksa tangannya yang menutupi wajahnya. Euijae tidak berusaha menyingkirkannya. Pemandangan di depan matanya berputar satu putaran. Dermaga abu-abu dan laut berputar-putar, lalu pandangannya segera berubah menjadi langit abu-abu.
Tuk, ujung jari hitam menyentuh bahunya dengan ringan. Sesuatu yang dingin dan keras menyentuh belakang lehernya. Euijae melirik ke belakang dan ke atas. Tanpa ia sadari, ia sudah hampir berbaring dengan bahunya hanya bersandar pada tugu peringatan.
Sayoung berbaring di atas Euijae dengan kedua lengan dan kakinya menopang tubuhnya. Kedua tangannya menekan tanah di dekat bahu Euijae. Mantel dan rambut hitamnya menutupi Euijae. Ia menundukkan kepalanya. Aroma manis yang sudah lama tidak tercium menggelitik ujung hidungnya. Tanpa sadar, Euijae menahan napas.
Mata ungu yang bersinar terang mendekat, seolah hendak menelannya.
"Kumohon…."
"...."
"Kalau orang bicara…. dengarkan sekali saja."
Sesuatu menyentuh dan menjauh dengan ringan di atas topeng. Tak lama kemudian, beban berat kembali menekan Euijae, dan sesuatu yang lembut dan menggelitik menyentuh lehernya. Itu adalah rambut Lee Sayoung. Sayoung membenamkan wajahnya di leher Euijae, lalu memeluk erat pinggangnya dengan kedua lengannya dan berbaring di atasnya.
Euijae benar-benar merasa tidak percaya.
"…Hah?"
"Jangan menghela napas dan sebut namaku."
Sayoung menggeram. Lehernya terasa lembap, sepertinya air matanya masih belum berhenti. Euijae melirik ke sekeliling. Untungnya, sepertinya tidak ada CCTV di sana…. Yah, kalaupun ada, Ming-gi pasti akan menghapusnya. Sambil memikirkan itu.
Euijae menyelipkan tangannya di antara rambut lembut itu dan berbisik.
"…Lee Sayoung."
Napasnya yang kasar sedikit mereda. Apakah ia mencoba menenangkan emosinya? Lee Sayoung lancar berbicara tentang hal lain, tetapi ia selalu bungkam tentang hal-hal yang berkaitan dengan dirinya. Itu membuatnya semakin sulit dipahami.
Apa yang terjadi, mimpi apa yang ia lihat saat tidur, apa yang ia lihat, apa yang ia pikirkan. Ada banyak sekali hal yang ingin ia ketahui. Ia merasa bahwa akar dari kegelisahan ini akan hilang jika ia mendengar semua itu dan menggalinya sampai ke dasar. Ketakutan akan kehilangan lagi.
"Sayoung-ah."
Meskipun begitu, saat ia menghadapi banyak emosi yang terkandung di matanya, hanya dengan melihat napas yang menyentuh telapak tangannya dan semua gerak-gerik hidupnya, kegelisahan Cha Euijae mereda.
Apakah Lee Sayoung tahu? Bahwa reaksi yang kembali bukan hanya itu yang berharga.
Sudah berapa lama berlalu, angin yang bertiup pun kini telah berhenti. Sesaat…. Bersamaan dengan suara ombak yang mereda, napas dalam pelukannya pun mulai tenang. Itu adalah suara napas yang familiar, yang didengarnya selama Lee Sayoung tertidur. Euijae dengan tangan yang mengelus, menyelipkan rambut yang menutupi wajahnya. Air matanya sudah berhenti. Akhirnya.
Mengangkat kepalanya dan melihat sekeliling, terlihat sebuah van hitam yang diparkir di ujung tanjung. Euijae menyentuh bayangan tangannya sendiri dengan telunjuknya. Sebuah bayangan manusia seukuran jari merintih dan berdiri dari sana. Euijae memutar-mutar ujung rambut Sayoung dengan jarinya sambil berbisik.
"Sampaikan pada tuanmu."
Lee Sayoung yang mengembara di dunia kedua. Hanya Yoon gaeul yang melihatnya secara langsung. Lee Sayoung yang seolah kehilangan semua emosinya dan hanya memantulkan sosok Cha Euijae seperti cermin, dan Lee Sayoung yang tidak bisa menyembunyikan banyak emosinya dan mencurahkan kecemasan dan kegelisahannya begitu saja. Keduanya berbeda.
Dia harus mencari tahu apa yang sedang terjadi. Topeng hitam itu sedikit miring.
"Sepertinya aku harus menemui siswi Gaeul."