Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

CINTA TERLARANG MENANTU DENGAN MERTUA

Parto_Ndeglek
7
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 7 chs / week.
--
NOT RATINGS
46
Views
VIEW MORE

Chapter 1 - AWAL CINTA TUMBUH

24 November 2014

Sinta, seorang gadis berusia 20 tahun yang berasal dari Blitar, merasa sangat beruntung bisa menikahi Jani, pria yang selalu membuatnya merasa dihargai dan dicintai. Jani, yang berusia 25 tahun, berasal dari kota Malang. Meskipun mereka tumbuh di dua kota yang berbeda, kisah cinta mereka justru berkembang dengan begitu indah, dimulai dari pertemuan tak terduga yang membawa mereka pada keputusan besar: menikah.

Hari itu, di sebuah pagi yang cerah, Sinta tersenyum lebar saat mengenakan gaun pengantin putihnya. Jani, dengan wajah penuh kebahagiaan, berdiri di sampingnya, menggenggam tangan Sinta dengan penuh kasih sayang. Di hadapan keluarga dan sahabat, mereka berjanji untuk saling menjaga dan mendukung satu sama lain, meski berasal dari latar belakang yang berbeda.

"Sinta, aku berjanji akan selalu ada untukmu," ucap Jani, matanya penuh cinta.

"Dan aku juga, Jani. Kita akan menjalani hidup ini bersama, di mana pun kita berada," jawab Sinta dengan lembut, hatinya penuh kebahagiaan.

Perbedaan kota asal mereka tidak lagi menjadi halangan, justru menjadi kekuatan yang membuat hubungan mereka semakin kuat. Sinta dan Jani memulai hidup baru sebagai pasangan suami istri, penuh harapan dan mimpi untuk masa depan yang cerah.

AWAL YANG BARU

Sinta adalah gadis dengan penampilan yang mempesona. Dengan tubuh yang proporsional dan berat badan 56 kg, dia selalu tampil percaya diri. Tingginya yang 163 cm memberikan kesan anggun, ditambah kulit sawo matang yang alami, memancarkan pesona yang hangat dan menawan. Rambutnya yang ikal jatuh dengan lembut di bahu, menambah kesan feminin pada penampilannya. Wajahnya yang manis dilengkapi dengan mata yang cerah dan senyum yang selalu memancarkan kebaikan, membuat siapa pun yang bertemu dengannya merasa nyaman dan terpesona.

Sinta bukan hanya cantik dari luar, tetapi juga memiliki kepribadian yang ramah dan penuh kasih, yang membuatnya semakin memikat.

Sinta adalah gadis yang pemalu dan pendiam. Meskipun memiliki penampilan yang menarik, dia lebih suka berdiam diri dan tidak banyak berbicara, terutama dengan orang yang belum terlalu dikenalnya. Terlahir di desa, Sinta tumbuh dengan cara yang sederhana dan penuh ketulusan. Polos dan apa adanya, Sinta selalu berusaha untuk tidak merepotkan orang lain, memilih untuk menjaga jarak dan berperilaku rendah hati.

Kepribadiannya yang pemalu sering kali membuatnya tampak canggung dalam situasi sosial, namun di balik sikap diamnya, dia memiliki hati yang baik dan penuh kasih. Dia lebih suka mendengarkan daripada berbicara, dan sering kali ditemukan tersenyum malu ketika berbincang dengan orang-orang yang ia percayai.

Setelah menikah dengan Jani, Sinta memutuskan untuk ikut tinggal bersama suaminya di Malang. Meskipun awalnya merasa canggung, dia berusaha beradaptasi dengan lingkungan baru dan kehidupannya bersama keluarga kecilnya. Selain Jani, Sinta juga tinggal bersama ayah mertuanya, Rojak, yang sudah lama menduda.

Sebagai seorang gadis yang terlahir di desa, Sinta membawa kebiasaan sederhana ke dalam rumah tangga barunya. Keberadaannya yang lembut dan penurut membuat suasana yang hangat di rumah, meski terkadang ia merasa sedikit tertekan dengan keadaan...

Sinta berusaha menjaga hubungan baik dengan Rojak, meskipun terkadang suasana di rumah terasa canggung, karena dia lebih sering berbicara dengan Jani, suaminya.

Jani, meskipun lebih tua 3 tahun dari Sinta, memiliki sifat yang sangat pendiam dan lugu. Dia bukan tipe orang yang suka banyak bicara, dan sering kali lebih suka mendengarkan daripada berbicara. Meskipun begitu, dia selalu berusaha keras untuk memberikan yang terbaik untuk Sinta. Sebagai suami yang penuh tanggung jawab, Jani bekerja sebagai pelayan di sebuah restoran setelah mereka menikah. Namun, gaji yang diterimanya tidaklah besar, hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka.

Sinta tahu betul bahwa pekerjaan suaminya bukanlah pekerjaan yang mudah, tapi dia tetap merasa bangga karena Jani selalu bekerja dengan sepenuh hati. Setiap hari, Jani berangkat dengan tekad meskipun harus menghadapinya dengan senyum yang tak selalu bisa menutupi beban yang dia rasakan.

Mereka tinggal di sebuah rumah sederhana bersama ayah Jani, Rojak, dan meski hidup mereka terasa berat, keduanya tetap saling mendukung. Sinta berusaha untuk memahami keadaan, meskipun terkadang dia merasa cemas dengan penghasilan yang tidak sebanding dengan kebutuhan hidup mereka. Namun, dia selalu percaya bahwa selama mereka bersama, mereka akan bisa melewati segala tantangan.

Rojak, ayah mertua Sinta, adalah pria berusia 46 tahun yang masih terlihat tegap dan tampan meskipun usianya sudah tidak muda lagi. Sepuluh tahun setelah istrinya meninggal, Rojak memilih untuk berhenti bekerja dan lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Meskipun sudah tidak bekerja, tubuhnya yang masih kekar dan penampilan yang menarik sering kali membuat orang terkejut, karena tidak terlihat seumurannya.

Di rumah, Rojak lebih banyak menghabiskan waktu dengan anaknya, Jani, dan menantunya, Sinta. Sikapnya yang tegas dan kadang-kadang serius sering membuat suasana di rumah terasa agak kaku, namun dia tetap menjadi sosok yang dihormati oleh keluarganya. Walaupun jarang berbicara banyak, kehadirannya selalu terasa kuat, dan dia tetap menjadi bagian penting dalam kehidupan keluarga tersebut.

Gejolak Ekonomi Dalam Rumah Tangga

Kehidupan keluarga Sinta dan Jani semakin terasa berat seiring berjalannya waktu. Meskipun mereka berusaha menghemat, kebutuhan hidup terus meningkat. Uang yang mereka miliki terasa semakin sedikit, dan hidup di rumah kecil bersama ayah Jani, Rojak, membuat mereka semakin terpaku pada keterbatasan keuangan.

Rojak, yang sudah sepuluh tahun ditinggal istrinya, hanya mengandalkan pensiun kecil sebagai bekal hidupnya. Uang pensiun yang diterima Rojak sebagai mantan pegawai negeri tak cukup untuk menutupi semua kebutuhan mereka, terutama setelah ditambah dengan biaya hidup yang semakin tinggi. Meskipun masih terlihat tegap dan kuat, Rojak merasa tak bisa banyak berbuat untuk membantu keluarga.

Jani, yang sebelumnya bekerja sebagai pelayan di restoran, hanya bisa bertahan dengan penghasilan yang kecil. Gaji yang diterima tidak mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari, apalagi jika harus berbagi dengan ayahnya. Mereka semua berusaha untuk hidup dengan apa adanya, tetapi semakin lama, beban kehidupan semakin terasa berat.

Di tengah kesulitan ini, Sinta tetap setia menemani Jani dan ayah mertuanya. Meskipun kondisi finansial yang sempit, Sinta berusaha menjaga keharmonisan keluarga dengan penuh kasih sayang. Namun, dalam hati, dia tak bisa menahan rasa cemas akan masa depan mereka.

Jani:

(Sambil duduk di samping Sinta, wajahnya terlihat lelah)

"Dek, rasanya semakin berat setiap hari. Gaji di restoran itu nggak cukup untuk kita bertahan. Setiap bulan, kita cuma bisa cukup buat makan, itu pun pas-pasan. Aku nggak bisa terus begini."

Sinta:

(Sinta memandang Jani dengan cemas, tetapi tetap lembut)

"Mas, aku tahu kita lagi susah. Tapi, jangan terlalu terbebani, ya. Aku di sini, kita akan saling bantu. Aku yakin kita bisa melalui semua ini."

Jani:

(Menunduk, merasa putus asa)

"Tapi dek, aku ngerasa nggak cukup. Aku nggak bisa kasih lebih buat kamu dan ayah. Aku nggak tahu lagi harus gimana. Aku udah mulai berpikir, mungkin aku harus keluar dari restoran ini dan mencoba sesuatu yang baru... Mungkin aku bisa coba buka usaha kecil-kecilan."

Sinta:

(Menahan napas, terkejut, tapi kemudian menggenggam tangan Jani)

"Mas, kamu serius? Tapi, usaha itu pasti penuh risiko. Kita belum punya modal yang cukup, bagaimana kalau gagal?"

Jani:

(Sambil melihat ke arah Sinta dengan penuh tekad)

"Enggak ada salahnya mencoba, dek. Aku nggak bisa terus-terusan hidup begini. Kalau tetap di restoran, aku rasa kita nggak akan pernah bisa maju. Aku ingin coba usaha kecil-kecilan, meskipun mungkin nggak besar. Paling nggak, aku bisa belajar lebih banyak dan berusaha untuk kita. Aku nggak mau cuma bergantung pada gaji yang kecil."

Sinta:

(Sambil mengangguk perlahan, matanya terlihat penuh harapan)

"Mas, kalau itu yang kamu pilih, aku akan selalu mendukung. Meski kita nggak punya banyak uang, aku akan selalu ada buat mas. Kita mulai dari yang kecil, pelan-pelan, yang penting kita bersama dan berusaha sekuat tenaga."

Jani:

(Senyum kecil muncul di wajahnya, merasa lega dengan dukungan Sinta)

"Terima kasih, dek. Aku tahu keputusan ini nggak mudah, tapi aku yakin kalau kita berdua saling dukung, semuanya akan berjalan baik. Aku akan coba cari peluang usaha kecil, entah itu jualan atau apapun yang bisa kita mulai."

Sinta:

"Apapun itu, mas. Yang penting kita selalu bersama, kita berusaha dan tidak menyerah. Aku percaya kita bisa sukses, asal kita sabar dan tetap semangat."

Jani:

(Dengan semangat baru, Jani mengusap kepala Sinta dengan lembut)

"Ya, dek. Kita akan hadapi semuanya bersama. Terima kasih sudah selalu ada di sisi mas."

---

Jani:

(Memikirkan rencana dengan serius)

"Dek, aku sudah pikirkan matang-matang. Aku berencana untuk berjualan mie ayam di Malang. Jaraknya memang jauh, sekitar 50 km dari sini. Aku nggak bisa pulang pergi setiap hari, jadi aku harus cari kos dekat sana."

Sinta:

(Sejenak terdiam, memikirkan dampak keputusan itu)

"Mas... Malang itu jauh banget dari sini. Kita baru saja menikah, aku jadi cemas kamu harus jauh dari aku setiap hari. Tapi, kalau itu yang terbaik, aku akan mendukung."

Jani:

(Serius, namun penuh harapan)

"Iya, aku tahu ini akan berat, dek. Tapi ini satu-satunya cara supaya aku bisa memberi lebih untuk kita. Aku nggak ingin cuma mengandalkan pekerjaan di restoran yang nggak berkembang. Bisnis mie ayam ini mungkin bukan hal besar, tapi aku yakin bisa berjalan kalau aku fokus. Aku akan mencari tempat kos yang dekat dengan lokasi jualannya."

Sinta:

(Memegang tangan Jani, mata penuh kecemasan tapi juga dukungan)

"Mas, aku tahu kamu ingin yang terbaik buat kita. Aku memang cemas, tapi aku percaya kamu bisa. Kalau kamu harus jauh dari sini, aku akan tetap mendukung dan menunggu. Kita bisa berkomunikasi terus, supaya nggak merasa jauh."

Jani:

(Menyeringai, sedikit lega mendengar kata-kata Sinta)

"Terima kasih, dek. Aku janji, meski jauh, aku akan selalu berpikir tentang kita. Ini bukan cuma tentang aku, tapi tentang masa depan kita berdua."

Sinta:

"Sama seperti yang mas katakan, kita akan tetap berusaha bersama, meskipun jarak memisahkan. Kita bisa melakukannya."

Jani:

"Ya, aku akan mulai cari tempat kos dan menyiapkan segala sesuatunya. Semoga usaha ini berhasil, dan aku bisa pulang membawa hasil yang baik buat kita."

Setelah jani resmi resigh dari tempat kerja di restoran, hari demi hari

Jani dan Sinta mulai menyiapkan segala sesuatu untuk usaha mie ayam mereka. Mereka berdua bekerja keras, meskipun dengan modal yang terbatas. Sinta membantu Jani mencari perlengkapan yang diperlukan, seperti kompor, panci, dan peralatan lainnya. Mereka membeli bahan-bahan dengan cermat, memastikan semuanya terjangkau namun berkualitas. Setiap langkah mereka lakukan dengan hati-hati, merencanakan segala sesuatunya pelan-pelan agar usaha ini bisa berjalan dengan baik.

Sementara itu, Jani juga mulai mengurus surat-surat resmi untuk usaha mie ayam tersebut, termasuk surat izin usaha. Meskipun dia tidak memiliki banyak pengalaman, Jani bertekad untuk membuat semua proses berjalan dengan lancar. Sinta selalu di sampingnya, memberikan dukungan moral dan semangat.

"Mas, kita pasti bisa, ya?" kata Sinta, melihat Jani yang sibuk menyiapkan surat izin usaha.

"Pasti, dek. Semua akan berjalan dengan baik," jawab Jani dengan penuh keyakinan, meskipun ada sedikit kekhawatiran di dalam hatinya.

Dengan langkah kecil dan penuh harapan, mereka pun mulai menjalani rencana baru ini, yakin bahwa meskipun pelan, usaha yang mereka bangun bersama akan membuahkan hasil suatu hari nanti.

---