Kehidupan keluarga Sinta dan Jani semakin terasa berat seiring berjalannya waktu. Meskipun mereka berusaha menghemat, kebutuhan hidup terus meningkat. Uang yang mereka miliki terasa semakin sedikit, dan hidup di rumah kecil bersama ayah Jani, Rojak, membuat mereka semakin terpaku pada keterbatasan keuangan.
Rojak, yang sudah sepuluh tahun ditinggal istrinya, hanya mengandalkan pensiun kecil sebagai bekal hidupnya. Uang pensiun yang diterima Rojak sebagai mantan pegawai negeri tak cukup untuk menutupi semua kebutuhan mereka, terutama setelah ditambah dengan biaya hidup yang semakin tinggi. Meskipun masih terlihat tegap dan kuat, Rojak merasa tak bisa banyak berbuat untuk membantu keluarga.
Jani, yang sebelumnya bekerja sebagai pelayan di restoran, hanya bisa bertahan dengan penghasilan yang kecil. Gaji yang diterima tidak mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari, apalagi jika harus berbagi dengan ayahnya. Mereka semua berusaha untuk hidup dengan apa adanya, tetapi semakin lama, beban kehidupan semakin terasa berat.
Di tengah kesulitan ini, Sinta tetap setia menemani Jani dan ayah mertuanya. Meskipun kondisi finansial yang sempit, Sinta berusaha menjaga keharmonisan keluarga dengan penuh kasih sayang. Namun, dalam hati, dia tak bisa menahan rasa cemas akan masa depan mereka.
Jani:
(Sambil duduk di samping Sinta, wajahnya terlihat lelah)
"Dek, rasanya semakin berat setiap hari. Gaji di restoran itu nggak cukup untuk kita bertahan. Setiap bulan, kita cuma bisa cukup buat makan, itu pun pas-pasan. Aku nggak bisa terus begini."
Sinta:
(Sinta memandang Jani dengan cemas, tetapi tetap lembut)
"Mas, aku tahu kita lagi susah. Tapi, jangan terlalu terbebani, ya. Aku di sini, kita akan saling bantu. Aku yakin kita bisa melalui semua ini."
Jani:
(Menunduk, merasa putus asa)
"Tapi dek, aku ngerasa nggak cukup. Aku nggak bisa kasih lebih buat kamu dan ayah. Aku nggak tahu lagi harus gimana. Aku udah mulai berpikir, mungkin aku harus keluar dari restoran ini dan mencoba sesuatu yang baru... Mungkin aku bisa coba buka usaha kecil-kecilan."
Sinta:
(Menahan napas, terkejut, tapi kemudian menggenggam tangan Jani)
"Mas, kamu serius? Tapi, usaha itu pasti penuh risiko. Kita belum punya modal yang cukup, bagaimana kalau gagal?"
Jani:
(Sambil melihat ke arah Sinta dengan penuh tekad)
"Enggak ada salahnya mencoba, dek. Aku nggak bisa terus-terusan hidup begini. Kalau tetap di restoran, aku rasa kita nggak akan pernah bisa maju. Aku ingin coba usaha kecil-kecilan, meskipun mungkin nggak besar. Paling nggak, aku bisa belajar lebih banyak dan berusaha untuk kita. Aku nggak mau cuma bergantung pada gaji yang kecil."
Sinta:
(Sambil mengangguk perlahan, matanya terlihat penuh harapan)
"Mas, kalau itu yang kamu pilih, aku akan selalu mendukung. Meski kita nggak punya banyak uang, aku akan selalu ada buat mas. Kita mulai dari yang kecil, pelan-pelan, yang penting kita bersama dan berusaha sekuat tenaga."
Jani:
(Senyum kecil muncul di wajahnya, merasa lega dengan dukungan Sinta)
"Terima kasih, dek. Aku tahu keputusan ini nggak mudah, tapi aku yakin kalau kita berdua saling dukung, semuanya akan berjalan baik. Aku akan coba cari peluang usaha kecil, entah itu jualan atau apapun yang bisa kita mulai."
Sinta:
"Apapun itu, mas. Yang penting kita selalu bersama, kita berusaha dan tidak menyerah. Aku percaya kita bisa sukses, asal kita sabar dan tetap semangat."
Jani:
(Dengan semangat baru, Jani mengusap kepala Sinta dengan lembut)
"Ya, dek. Kita akan hadapi semuanya bersama. Terima kasih sudah selalu ada di sisi mas."
---
Jani:
(Memikirkan rencana dengan serius)
"Dek, aku sudah pikirkan matang-matang. Aku berencana untuk berjualan mie ayam di Malang. Jaraknya memang jauh, sekitar 50 km dari sini. Aku nggak bisa pulang pergi setiap hari, jadi aku harus cari kos dekat sana."
Sinta:
(Sejenak terdiam, memikirkan dampak keputusan itu)
"Mas... Malang itu jauh banget dari sini. Kita baru saja menikah, aku jadi cemas kamu harus jauh dari aku setiap hari. Tapi, kalau itu yang terbaik, aku akan mendukung."
Jani:
(Serius, namun penuh harapan)
"Iya, aku tahu ini akan berat, dek. Tapi ini satu-satunya cara supaya aku bisa memberi lebih untuk kita. Aku nggak ingin cuma mengandalkan pekerjaan di restoran yang nggak berkembang. Bisnis mie ayam ini mungkin bukan hal besar, tapi aku yakin bisa berjalan kalau aku fokus. Aku akan mencari tempat kos yang dekat dengan lokasi jualannya."
Sinta:
(Memegang tangan Jani, mata penuh kecemasan tapi juga dukungan)
"Mas, aku tahu kamu ingin yang terbaik buat kita. Aku memang cemas, tapi aku percaya kamu bisa. Kalau kamu harus jauh dari sini, aku akan tetap mendukung dan menunggu. Kita bisa berkomunikasi terus, supaya nggak merasa jauh."
Jani:
(Menyeringai, sedikit lega mendengar kata-kata Sinta)
"Terima kasih, dek. Aku janji, meski jauh, aku akan selalu berpikir tentang kita. Ini bukan cuma tentang aku, tapi tentang masa depan kita berdua."
Sinta:
"Sama seperti yang mas katakan, kita akan tetap berusaha bersama, meskipun jarak memisahkan. Kita bisa melakukannya."
Jani:
"Ya, aku akan mulai cari tempat kos dan menyiapkan segala sesuatunya. Semoga usaha ini berhasil, dan aku bisa pulang membawa hasil yang baik buat kita."
Setelah jani resmi resigh dari tempat kerja di restoran, hari demi hari
Jani dan Sinta mulai menyiapkan segala sesuatu untuk usaha mie ayam mereka. Mereka berdua bekerja keras, meskipun dengan modal yang terbatas. Sinta membantu Jani mencari perlengkapan yang diperlukan, seperti kompor, panci, dan peralatan lainnya. Mereka membeli bahan-bahan dengan cermat, memastikan semuanya terjangkau namun berkualitas. Setiap langkah mereka lakukan dengan hati-hati, merencanakan segala sesuatunya pelan-pelan agar usaha ini bisa berjalan dengan baik.
Sementara itu, Jani juga mulai mengurus surat-surat resmi untuk usaha mie ayam tersebut, termasuk surat izin usaha. Meskipun dia tidak memiliki banyak pengalaman, Jani bertekad untuk membuat semua proses berjalan dengan lancar. Sinta selalu di sampingnya, memberikan dukungan moral dan semangat.
"Mas, kita pasti bisa, ya?" kata Sinta, melihat Jani yang sibuk menyiapkan surat izin usaha.
"Pasti, dek. Semua akan berjalan dengan baik," jawab Jani dengan penuh keyakinan, meskipun ada sedikit kekhawatiran di dalam hatinya.
Dengan langkah kecil dan penuh harapan, mereka pun mulai menjalani rencana baru ini, yakin bahwa meskipun pelan, usaha yang mereka bangun bersama akan membuahkan hasil suatu hari nanti.
---
Setelah mencari-cari, Jani akhirnya menemukan tempat kos yang terjangkau di pusat kota Malang. Meskipun sederhana, kos tersebut cukup untuk menampungnya sementara waktu. Jani merasa lebih tenang bisa fokus pada usaha mie ayamnya, namun dia tahu bahwa perjuangannya masih panjang.
Sinta memutuskan untuk ikut sementara waktu membantu Jani di awal-awal jualan. Namun, untuk menghemat biaya, Sinta terpaksa tinggal bersama ayah mertuanya, Rojak, di rumah mereka di luar kota. Meskipun berat, Sinta mengerti bahwa keputusan ini akan membantu mereka dalam jangka panjang.
"Mas, aku akan tetap semangat membantu jualannya. Sementara aku di sini, kita bisa hemat biaya," kata Sinta, berusaha memberikan dukungan moral pada Jani.
"Terima kasih, dek. Aku akan selalu berusaha memberi yang terbaik untuk kita. Meskipun jauh, kita pasti bisa melewati ini bersama," jawab Jani, dengan senyum tipis di wajahnya.
Mereka berdua berpisah sementara waktu, tetapi mereka saling berjanji untuk terus berkomunikasi dan mendukung satu sama lain. Sinta terus berdoa agar usaha Jani berjalan lancar, sementara Jani berusaha keras untuk membangun usahanya di kota besar yang penuh tantangan.
---
Hari-hari berlalu, dan usaha mie ayam Jani perlahan menunjukkan kemajuan. Meskipun pelanggan yang datang masih sedikit, Jani merasa senang karena setiap hari ada yang baru mencoba mie ayam buatannya. Ia belajar banyak tentang cara mengelola usaha, mulai dari mempromosikan dagangannya hingga menjaga kualitas rasa. Meskipun belum menghasilkan banyak uang, dia tetap bersemangat dan yakin usaha ini akan tumbuh seiring waktu.
Sementara itu, Sinta tetap tinggal di rumah bersama ayah mertuanya, Rojak, di desa kecil di Malang Selatan. Rumah mereka terletak cukup jauh dari keramaian kota, dengan tetangga yang jaraknya cukup jauh. Kehidupan di desa terasa tenang dan damai, meskipun terkadang kesepian menghampiri Sinta karena tidak ada teman dekat. Namun, Sinta merasa nyaman dengan kehadiran Rojak di rumah. Dia merasa seperti sedang menghabiskan waktu dengan keluarga, meskipun jarak memisahkan dirinya dari Jani.
Sinta tetap berusaha menjaga rumah, memasak, dan membantu ayah mertuanya, Rojak, setiap hari. Meskipun ia jauh dari Jani, komunikasi mereka berjalan lancar melalui telepon. Sinta selalu memberikan semangat kepada Jani, dan Jani pun sering menghubungi Sinta untuk bercerita tentang perkembangan usahanya. Walaupun mereka terpisah oleh jarak, ikatan mereka semakin kuat karena saling mendukung.
Malam itu, cuaca di desa Malang Selatan sangatlah hujan deras. Suara hujan yang jatuh menghantam atap rumah membuat suasana semakin terasa sepi dan tenang. Di dalam rumah, Nduk Sinta dan Pak Rojak duduk bersama di meja makan sederhana, menikmati makan malam yang baru saja dimasak oleh Nduk Sinta. Walaupun makanan yang disajikan sederhana, rasa hangat dari masakan buatan tangan Nduk Sinta memberikan kenyamanan di tengah dinginnya malam yang basah.
"Masakanmu selalu enak, Nduk," kata Pak Rojak sambil tersenyum, menikmati sepiring nasi dengan sambal dan lauk sederhana. "Kamu tahu, waktu dulu istriku juga sering masak seperti ini. Meski hanya makanan sederhana, selalu terasa hangat di hati."
Nduk Sinta tersenyum kecil, merasa senang bisa membuat ayah mertuanya merasa nyaman. Meskipun hidup mereka sederhana, Nduk Sinta berusaha memberikan yang terbaik dengan apa yang ada.
"Terima kasih, Pak Rojak," jawab Nduk Sinta lembut, mengaduk sup yang ada di depannya. "Aku hanya ingin membuat masakan yang enak dan menghangatkan tubuh kita di malam seperti ini."
Di luar, hujan masih terus mengguyur. Angin berhembus kencang, menambah dinginnya udara malam. Nduk Sinta merasa nyaman duduk bersama Pak Rojak, meskipun hatinya sedikit rindu pada Jani yang masih jauh di Malang.
Pak Rojak menatap Nduk Sinta dengan bijak, seolah membaca apa yang ada dalam pikirannya. "Jani pasti juga merindukanmu, Nduk. Tetapi, kamu sudah melakukan yang terbaik dengan mendukungnya. Semua akan baik-baik saja. Kalian berdua punya tekad yang kuat."
Nduk Sinta hanya mengangguk, matanya sedikit berkaca-kaca. "Aku percaya, Pak. Meskipun jauh, aku yakin Jani akan berhasil dengan usaha mie ayamnya. Aku hanya ingin dia tahu, aku selalu ada untuknya."
Malam itu, mereka makan dalam keheningan yang nyaman, menikmati kebersamaan di tengah hujan yang mengguyur desa. Walaupun ada jarak, Nduk Sinta merasa tenang dengan dukungan dari Pak Rojak. Sambil menikmati makanan sederhana itu, dia berjanji untuk selalu berjuang demi masa depan bersama Jani, meskipun banyak tantangan yang harus dihadapi.
---
Malam itu, setelah makan dan percakapan serius suasana kembali hening. Pak Rojak yang duduk di kursi kayu mengamati Sinta yang sedang menunduk, tampak sedikit gelisah. Melihat ekspresi wajah Sinta, Pak Rojak pun memutuskan untuk sedikit mencairkan suasana dengan candaannya.
"Nduk," katanya sambil tersenyum nakal, "kamu kangen sama suamimu, to? Sudah sebulan dia nggak pulang, nggak nyentuh kamu lagi."
Sinta terkejut mendengar perkataan Pak Rojak yang tak terduga itu. Wajahnya langsung memerah, dan ia mencoba menutupi kecanggungannya dengan tertawa kecil.
"Pak! Jangan ngomong gitu," jawab Sinta sambil menunduk, berusaha menahan malu.
Pak Rojak tertawa pelan, menyadari bahwa candanya sedikit membuat Sinta malu. "Ah, , Nduk. Tapi kan, itu wajar. Lama-lama kangen juga, kan? Meskipun kamu sabar, pasti kangen juga . Apalagi kamu kan belum lama nikah. Ya pasti masih seneng2 nya begitu.. "
Sinta hanya bisa tersenyum tipis, sedikit canggung, tetapi ia merasa lega karena candaan Pak Rojak membuat suasana menjadi lebih ringan. "Aku memang kangen, Pak. Tapi aku tahu Jani sedang berusaha keras di sana. Semoga dia baik-baik saja," jawab Sinta, meskipun hatinya tetap sedikit gelisah.
Pak Rojak menepuk pelan bahu Sinta. "Tenang saja, Nduk. Semua akan ada waktunya. Jani pasti pulang kalau semuanya sudah lebih baik. Kamu cukup sabar, dan Jani pasti tahu kamu selalu ada untuknya."
Sinta mengangguk, merasa sedikit lebih lega setelah berbicara dengan Pak Rojak. Walaupun ada kekhawatiran di hatinya, dia berusaha percaya bahwa segala sesuatu akan baik-baik saja..
Malam itu, di tengah hujan deras yang mengguyur desa Malang Selatan, Sinta mengenakan daster yang nyaman dan sedikit pendek panjangnya selutut. Meskipun cuaca di luar sangat dingin, ia merasa hangat di dalam rumah bersama Pak Rojak, ayah mertuanya. Rambutnya yang panjang terikat rapi, menciptakan kesan alami yang sederhana, namun tetap menawan.
Sinta baru saja menyelesaikan makan malam dan mulai merapikan piring-piring di meja. Pak Rojak, yang sudah selesai makan, duduk di kursi kayu sambil mengamati Sinta dengan senyum penuh perhatian.
"Nduk," kata Pak Rojak lembut, "kamu selalu membuat rumah ini terasa nyaman, meski hidup kita sederhana. Makananmu enak dan suasana di rumah selalu hangat."
Sinta tersenyum kecil dan sedikit terkejut mendengar pujian itu. "Terima kasih, Pak. Aku hanya berusaha yang terbaik, meskipun semuanya masih serba terbatas."
Pak Rojak mengangguk bijak. "Yang terpenting bukan berapa banyak yang kita miliki, tapi bagaimana kita menghargai apa yang ada. Dan kamu sudah melakukan itu, Nduk."
Malam itu, mereka melanjutkan percakapan dengan penuh kehangatan, berbicara tentang banyak hal—mulai dari cerita kehidupan sehari-hari hingga rencana untuk masa depan. Sinta merasa bersyukur memiliki Pak Rojak yang selalu memberikan dukungan dan nasihat bijak.
Sinta sedang membereskan piring-piring di meja makan setelah makan malam. Pak Rojak, yang telah selesai, duduk di kursi kayu sambil menikmati secangkir teh hangat. Mata Pak Rojak sedikit tertunduk, tetapi pikirannya tidak dapat terhindar dari apa yang baru ia rasakan.
Seiring berjalannya waktu, ia mulai merasa canggung dengan kehadiran Sinta di rumah mereka. Meskipun perasaan ini jauh dari apa yang dianggapnya benar, kebersamaan mereka selama beberapa minggu terakhir—terutama saat Sinta tinggal di rumahnya—membuat Pak Rojak merasa lebih dekat dengan menantunya. Ia mulai menyadari bahwa ia menghargai Sinta lebih dari yang ia sadari, bukan hanya sebagai menantu, tetapi juga sebagai seseorang yang bisa diajak bicara dan berbagi. Namun, ia berusaha keras untuk menahan perasaan itu, mengetahui bahwa hubungan keluarga mereka harus tetap sehat dan tidak boleh terpengaruh oleh perasaan pribadi yang rumit.
Dengan hati-hati, ia mengangkat piring-piring itu dan meletakkannya ke dalam ember untuk dicuci. Namun, tanpa sengaja, ia menjatuhkan sendok yang ada di tangan. Sendok itu jatuh ke lantai dengan bunyi yang cukup keras.
Sinta langsung membungkuk untuk mengambil sendok yang terjatuh. Namun, saat ia menunduk, rambut panjangnya yang terikat sedikit tergelincir, dan daster yang dipakainya sedikit terangkat. membuat celana dalamnya bagian belakang terlihat karna daster merah yang di pakai sinta agak pendek di atas lutut.. Sinta cepat-cepat meluruskan tubuhnya, merasa sedikit malu dengan kejadian itu, meskipun tidak ada orang lain yang melihat. namun pak rojak melihat dengan jelas karena kejadian itu tepat di depan matanya..
"Nduk, hati-hati kalau lagi bersih-bersih," ujar Pak Rojak dengan suara lembut, berusaha mengalihkan perhatiannya dari perasaan yang mulai muncul. "Kamu bisa jatuh kalau tidak hati-hati."
Sinta menoleh dengan senyum kecil. "Iya, Pak. Terima kasih, saya cuma terburu-buru. Kadang gak sadar."
Pak Rojak tersenyum tipis, tetapi di dalam hatinya, ia merasa semakin terjebak dalam kebingungannya. Ia merasa sangat menghargai Sinta, yang selalu begitu sabar dan perhatian, tetapi di sisi lain, ia tahu bahwa ia harus menjaga jarak dan tidak membiarkan perasaan itu berkembang lebih jauh.
Setelah hampir sebulan tinggal bersama, Pak Rojak merasa ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya. Meskipun ia berusaha untuk tetap tegar dan fokus pada keseharian, ada perasaan yang mulai muncul tanpa bisa ia kontrol.
Malam itu, setelah makan malam, Pak Rojak duduk di kursi kayu di ruang tamu yang gelap, hanya diterangi cahaya lampu redup dari luar. Ia merenung dalam kesunyian, pikiran-pikirannya melayang jauh. Sinta, yang begitu muda, cantik, dan penuh semangat, sering kali hadir dalam pikirannya. Ia berusaha menepis perasaan-perasaan itu, namun semakin lama ia semakin merasa terjebak.
"Apakah aku terlalu lama hidup sendirian?" pikir Pak Rojak. "Apa yang sebenarnya aku rasakan sekarang?"
Ia tidak bisa menyangkal bahwa ada ketertarikan terhadap Sinta, meskipun ia tahu bahwa itu adalah perasaan yang tidak seharusnya ada. Dia adalah ayah mertua Sinta, dan hubungan keluarga mereka sangat penting. Tetapi kebersamaan mereka setiap hari, percakapan mereka yang sederhana, serta perhatian Sinta terhadap dirinya membuatnya merasa lebih dekat dengan menantunya itu.
Pak Rojak tahu bahwa ini adalah perasaan yang tidak bisa ia biarkan berkembang lebih jauh. Dalam hatinya, ia berjuang untuk menjaga rasa hormat dan kesopanan yang semestinya ada antara seorang ayah mertua dan menantu. Namun, terkadang, perasaan itu datang begitu saja, dan ia merasa bingung, bertanya-tanya apakah perasaan itu hanya akibat kesepian yang sudah lama ia rasakan.
Sementara itu, Sinta yang sedang berada di dapur tidak tahu apa yang sedang bergolak dalam hati Pak Rojak. Ia hanya fokus pada kebersamaan mereka, berusaha membantu dan memberikan yang terbaik, terutama dengan Jani yang masih jauh. Sinta merindukan suaminya, namun ia juga merasa diberkati karena bisa tinggal bersama Pak Rojak yang selalu memberikan nasihat bijak dan perhatian.
Malam itu, saat Sinta kembali ke ruang tamu untuk mengambil teh, ia melihat Pak Rojak duduk diam, matanya kosong, seolah sedang memikirkan sesuatu yang berat.
"Pak Rojak, ada apa? Kenapa terlihat seperti sedang melamun?" tanya Sinta dengan lembut.
Pak Rojak terkejut, tapi segera menutupi perasaannya. "Ah, tidak apa-apa, Nduk. Hanya sedikit lelah, mungkin terlalu banyak berpikir."
Sinta tersenyum, tidak menyadari apa yang sebenarnya terjadi dalam pikiran Pak Rojak. "Pak Rojak, kamu sudah membantu kami begitu banyak. Aku yakin semuanya akan baik-baik saja. Jani juga pasti akan sukses dengan usaha mie ayamnya."
Pak Rojak mengangguk pelan, berusaha untuk tetap tegar. "Iya, Nduk. Semoga semuanya berjalan lancar. Yang penting kita tetap saling mendukung."
Namun di dalam hati Pak Rojak, perasaan itu tidak bisa lagi diabaikan begitu saja. Ia tahu ia harus menghadapi dan menenangkan perasaannya, sebelum semuanya menjadi lebih rumit. Ia memutuskan untuk meluangkan waktu untuk merenung, agar bisa menemukan cara yang tepat untuk tetap menjaga hubungan mereka sebagai keluarga, tanpa melibatkan perasaan yang tidak seharusnya