Tharion Al-Karath duduk di sudut sebuah kedai kecil yang terletak di pinggiran kota Elzora, jauh dari keramaian ibu kota Rhenval yang dulu ia kenal. Udara musim gugur yang dingin menerobos masuk melalui jendela kayu yang setengah terbuka, menggigit kulitnya yang kasar. Ia memandang sekeliling, memperhatikan para pedagang, petani, dan para pejuang yang jauh lebih muda darinya, semua sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Tak ada yang mengenalnya di sini, tak ada yang tahu siapa dia sebenarnya. Tak ada yang peduli.
Makanan yang ia pesan—sepotong roti keras dan secangkir sup tipis—terasa hambar di mulutnya. Ia menatap sendok kayu yang ada di tangannya, memperhatikannya tanpa melihat. Sekarang, semuanya berbeda. Kini, ia hanyalah seorang pengembara biasa. Tidak ada gelar, tidak ada penghormatan, tidak ada pertempuran besar yang menjadi kisah yang dikenang. Semua itu telah dirampas darinya.
Sebelumnya, di masa lalu yang telah lama terkubur, ia adalah Tharion Al-Karath, Pahlawan Rhenval. Ia memimpin pasukan melawan penjajah yang mengancam kerajaan, menghancurkan musuh dengan pedangnya yang legendaris, dan melindungi rakyat yang tak berdosa. Namun sekarang, namanya hanya tinggal bayang-bayang yang memudar dalam ingatan rakyat. Ia dipandang sebagai pengkhianat, seorang yang telah mengkhianati kerajaannya dan seluruh dunia.
Bagaimana bisa semuanya berubah begitu cepat?
Pikirannya melayang kembali ke masa lalu, saat nama baiknya masih dihormati, saat rakyat Rhenval menyebutnya "sang pelindung." Namun sekarang, tak ada yang mengingatnya. Tak ada yang ingin mengingatnya.
Flashback: Masa Lalu yang Terlupakan
Gambarannya kembali memudar, namun tetap jelas dalam benaknya—momen yang mengubah segalanya.
Tharion berdiri di tengah medan perang, dengan pedang terhunus di tangan, darah musuh berceceran di tanah. Pasukannya menang, atau setidaknya itu yang mereka pikirkan. Namun, jauh di belakang barisan mereka, ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi. Seorang pengkhianat di antara mereka telah mengatur serangan jebakan yang tak terduga. Keputusan Tharion yang terlambat dalam memimpin pasukannya ke arah yang benar berakibat fatal. Pasukannya dihancurkan, dan ia terluka parah dalam pertempuran terakhir yang seharusnya menjadi kemenangan besar.
Saat ia pulih, ia kembali ke Rhenval hanya untuk menemukan dirinya menjadi kambing hitam dari kekalahan tersebut. Panglima perang yang dulu menjadi temannya kini memutuskan untuk mengalihkan kesalahan padanya. Ia dituduh sebagai penyebab kegagalan besar itu—sebagai seorang pengkhianat yang telah menyeret pasukannya ke dalam perang yang tidak bisa dimenangkan. Masyarakat yang dulu mengaguminya kini menolaknya. Rhenval, yang pernah ia perjuangkan, kini menutup pintu untuknya. Ia dihukum dengan pengasingan yang memisahkannya dari tanah kelahirannya, dari orang-orang yang dulu ia lindungi.
Ia mengingat bagaimana wajah sang raja berubah ketika mengumumkan bahwa namanya akan dihapus dari sejarah—sebuah perintah yang tak bisa dibantah. Tharion Al-Karath, pahlawan yang pernah memimpin kemenangan, kini dianggap sebagai pengkhianat terbesar dalam sejarah Rhenval. Semua prestasi, semua pengorbanan, lenyap begitu saja. Tak ada yang memperjuangkannya. Tak ada yang membela. Hanya pengasingan dan pengabaian yang menanti.
Konflik Awal: Rasa Kehilangan dan Rencana untuk Kembali
Tharion menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk menenangkan pikirannya yang terus bergejolak. Di dalam dirinya, sebuah perasaan yang tidak bisa dijelaskan terus memanggil. Ada sesuatu yang belum selesai. Kebenaran yang belum terungkap, atau mungkin, sebuah penebusan yang ia cari selama ini. Bagaimana bisa ia begitu cepat dilupakan? Bagaimana bisa rakyat yang dulu begitu mendambakan perlindungannya kini membencinya?
Ia menatap ke luar jendela kedai, ke arah jalanan yang mulai sepi. Tak ada yang menyadari, tak ada yang tahu siapa dirinya yang sebenarnya. Tidak ada yang mengetahui bahwa di balik wajahnya yang lusuh dan tubuhnya yang lelah, ada seorang pahlawan yang telah mengorbankan segala-galanya demi kerajaan ini.
Namun kini, ia tak bisa terus bersembunyi. Semakin lama ia tinggal di tempat ini, semakin besar rasa ingin tahunya untuk kembali ke Rhenval, untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi—dan untuk membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Bahkan jika itu berarti harus menghadapi kemarahan rakyat yang telah melupakannya.
Dengan langkah berat, Tharion mengangkat punggungnya, meraih mantel lusuh yang tergantung di kursi. Ia harus pergi. Perjalanan kembali ke Rhenval sudah tidak bisa ia tunda lagi. Rhenval membutuhkan pahlawan, dan meskipun ia sudah dilupakan, ia harus berjuang kembali, sekali lagi.
Tapi di dalam hatinya, ada satu pertanyaan yang mengganggu. Apa yang akan ia temui ketika kembali? Apakah ia akan dikenali sebagai pahlawan yang terlupakan atau seorang pengkhianat yang tak bisa dimaafkan?
Satu hal yang pasti—perjuangannya belum berakhir.