Di luar gua, hujan mulai turun dengan deras, menyapu tanah yang keras dan menciptakan suara gemuruh yang mengisi udara. Petir menyambar dari kejauhan, menyinari langit gelap dengan kilatan putih yang menakutkan. Di dalam gua, Tharion duduk terdiam, matanya menatap api unggun yang masih menyala, tapi pikirannya melayang jauh, mengikuti jejak-jejak masa lalunya yang telah lama terkubur.
Setelah pertemuan dengan Roderic, segalanya terasa semakin tidak jelas. Talenor. Dewa Perang yang dulu ia anggap legenda, kini menjadi kenyataan yang harus mereka hadapi. Tharion tahu bahwa Talenor bukan sekadar ancaman bagi kerajaan—dia adalah ancaman bagi dunia itu sendiri.
"Apa langkah kita selanjutnya?" tanya Elira, suaranya memecah keheningan yang menyelimuti gua. Dia duduk di sisi lain api unggun, wajahnya penuh pemikiran.
Tharion menghela napas panjang. "Roderic benar. Kita tidak bisa melawan mereka dengan kekuatan biasa. Talenor bukan musuh yang bisa dihentikan dengan pedang."
"Lalu bagaimana?" Elira bertanya, tidak sabar. "Apakah kita hanya menunggu sampai semuanya terlambat?"
Tharion merasakan beban yang semakin berat di dadanya. Ia tahu jawabannya, tapi kata-kata itu sulit keluar. "Kita butuh lebih banyak informasi. Kita perlu mencari cara untuk menghentikan kekuatan yang mendukung Talenor—mereka yang mengendalikan kerajaan."
Elira mengangguk, tetapi ada ketegangan yang tercermin di wajahnya. "Kita harus bergerak cepat. Setiap detik yang kita buang memberi mereka lebih banyak kekuasaan."
Tharion merasa cemas. Tidak hanya tentang rencana mereka, tetapi juga tentang dirinya sendiri. Setiap langkah yang ia ambil sekarang membawa kembali kenangan pahit dari masa lalu—kenangan tentang pengkhianatan yang mengubah hidupnya.
"Ada satu tempat yang bisa kita tuju," Tharion berkata perlahan, suaranya agak serak. "Tempat yang bisa memberi kita petunjuk lebih jauh."
Elira menatapnya dengan penuh perhatian. "Tempat apa itu?"
"Tempat itu terletak di Rhenval, di reruntuhan Istana Tua. Itu adalah tempat di mana aku pertama kali bertemu dengan mereka—para penyembah Talenor."
Elira terdiam, mencoba mencerna apa yang baru saja Tharion katakan. "Jadi, kamu pernah berada di sana?"
Tharion mengangguk. "Aku dan pasukanku ditugaskan untuk melindungi kerajaan dari ancaman luar, tetapi aku tidak tahu saat itu bahwa musuh sebenarnya ada di dalam. Kami dipergunakan, disalahgunakan. Kami dipaksa untuk melakukan tindakan yang tidak kami mengerti, sampai akhirnya aku mengetahui kebenaran. Dan aku tidak bisa kembali lagi."
Rasa kesalahan dan penyesalan semakin menghantuinya. "Mereka tidak hanya mengkhianati aku, tapi juga seluruh kerajaan. Aku merasa dikhianati oleh orang-orang yang dulu aku percayai."
Elira mendekat, menempatkan tangan di bahunya. "Tharion, kamu tidak sendiri. Kita semua ada di sini karena tujuan yang sama—untuk membenarkan apa yang salah. Tapi, kamu harus melepaskan masa lalu itu. Hanya dengan itu kita bisa melangkah maju."
Tharion mengangguk pelan, meskipun hatinya masih terasa berat. "Aku tahu. Tapi, ada banyak hal yang belum selesai."
"Dan itulah kenapa kita harus pergi ke tempat itu," Elira menambahkan. "Untuk memastikan tidak ada yang tertinggal. Untuk menghancurkan kekuatan yang masih mengendalikan Rhenval."
Tharion menatap Elira dengan rasa terima kasih yang dalam. Dia tahu bahwa tanpa perempuan ini, dia tidak akan pernah bisa melangkah sejauh ini. Keberanian Elira memberikan kekuatan baru dalam dirinya.
Keesokan harinya, mereka melanjutkan perjalanan menuju reruntuhan Istana Tua yang terletak di jantung Rhenval. Waktu yang mereka habiskan di luar gua itu membuat mereka semakin dekat, namun rasa bahaya selalu menggantung di atas mereka. Setiap desa yang mereka lewati semakin terlihat terpinggirkan. Orang-orang tampak takut, bahkan berbisik saat melihat mereka. Kekuasaan yang dilihat oleh orang-orang biasa adalah sesuatu yang tak terlihat, namun keberadaannya menyelimuti semua.
Reruntuhan Istana Tua adalah tempat yang penuh dengan kenangan bagi Tharion. Di sana, ia pertama kali melihat tanda-tanda kebangkitan Talenor. Tempat itu, yang dulunya megah dan penuh dengan kehidupan, kini hanya menyisakan puing-puing—keruntuhan simbol dari kekuatan yang telah lama tersembunyi. Meskipun udara di sana terasa suram, Tharion tahu bahwa inilah tempat yang akan memberi mereka kunci untuk menghentikan kebangkitan Talenor.
Mereka tiba di reruntuhan pada malam hari, tempat itu hanya disinari cahaya bulan yang temaram. Pintu besar yang dulunya menjadi gerbang utama istana kini hanya menyisakan besi patah dan batu yang terbelah. Tharion menatap tempat itu, dan untuk sesaat, perasaan menyesal dan marah kembali datang, menyelimuti hatinya.
"Aku dulu pernah berjuang untuk melindungi tempat ini," gumamnya. "Sekarang, tempat ini menjadi bukti dari kegagalanku."
"Tapi kita akan mengubahnya," jawab Elira, dengan tegas. "Kita akan mengubahnya semua."
Dengan langkah mantap, mereka memasuki reruntuhan itu. Setiap langkah terasa berat, seakan tanah di bawah kaki mereka penuh dengan kenangan yang terlupakan. Namun, Tharion tahu bahwa perjalanan ini bukan hanya untuk mengungkap kebenaran, tetapi juga untuk mengembalikan apa yang telah hilang.
Ketika mereka tiba di ruang utama yang dulu dipenuhi dengan para bangsawan, kini hanya ada puing-puing dan bayangan kelam. Namun, di tengah semua ini, Tharion melihat sesuatu yang mencurigakan—aura gelap yang semakin terasa kuat. Talenor mungkin belum datang, tetapi pengaruhnya sudah berada di sini, menunggu untuk bangkit kembali.
"Kita hampir sampai," bisik Elira, matanya berkilau dengan tekad. "Kita harus menemukan apa yang tersembunyi di sini."
Namun, tanpa mereka sadari, bayang-bayang dari masa lalu Tharion mulai bergerak, mengintai dari kegelapan.