Chereads / A Stranger In Time / Chapter 1 - Prologue

A Stranger In Time

saagreen
  • 7
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 53
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Prologue

Lima belas menit jalan kaki.

Itu artinya, sudah selama itu pula aku bernapas dengan udara gorong gorong raksasa di bawah kota. Kabar baiknya orang itu akhirnya muncul. Ditutup oleh tirai bernama kegelapan dan nampaknya berniat antara memantau atau memang mengetes. Pertemuan terakhir kita adalah bertahun tahun entah di masa depan atau di masa lalu. Atau boleh jadi juga, sesuatu yang bahkan bukan di garis waktu ini ataupun dunia ini.

Dia adalah Amon.

Tanpa sadar aku tersenyum sesaat.

"Keluarlah." Aku menarik topiku sedikit, berdehem menyembunyikan ekspresi senang di wajahku. "Bukannya lebih baik kalau kita bicara sambil tatap muka?"

Detik selanjutnya adalah keheningan yang disusul oleh dengusan. Langkah kaki laki laki itu ia biarkan menggema ke segala arah dan, seraya tubuhnya makin nampak oleh cahaya, kata katanya mulai ditangkap juga oleh runguku. "Ada baiknya kalau kamu bicara begitu habis melepas topeng, Sutradara."

Ya. Wajah dan nada dingin itu. Bagaiman mungkin aku merasa mau menangis saat ini? Sialan. Ayolah, Reswa, sekarang ini kamu lagi dua puluh tahun, lho?

Maka aku berdehem sekali lagi. "Maaf, tapi aku tidak bisa melakukan itu, dan, langsung saja--" Aku mengeluarkan kartu nama. "Apakah kamu mau jadi pemeran di panggung dramaku?"

Maukah kamu bergabung dalam The Theater?

Senyumnya masih merekah, dan waktu itu aku menyadari bahwa ekspresi palsu yang tidak pernah ia tunjukkan di kehidupan lamaku sudah jadi ciri khasnya sehingga ia dijuluki Charming Marquess. Namun demikian, aku bisa melihat urat urat menonjol di lehernya seiring perasaan dongkolnya yang menumpuk. "...saya sudah punya pekerjaan, Tuan Sutradara..."

Senyum palsu itu sekilas nampak mengancam. Tapi sampai disitu saja. Karena pada akhirnya, ia telah datang ke tempat ini seorang diri tanpa kawan dan tanpa membocorkan pada siapa siapa. Kata lainnya, ia tidak akan membuka peluang dengan sengaja kecuali antara tertarik dan penasaran. Maka dengan percaya diri aku menjawabnya, "Jangan khawatir, ini cuman pekerjaan sampingan, kok," Aku memicingkan mata padanya dari balik topeng. "Untuk sementara."

Charming Marquess, sesuai julukannya, tersenyum sampai matanya melengkung seolah olah ia benar benar orang yang ramah. "Aku mau dengar gajinya dulu."

Apa untungnya aku bergabung?

Wah, wah. Ini dia. Saatnya memamerkan umpan. "Tergantung peranan anda, calon aktor. Saya bahkan bisa memberi satu keping gold satu kilogram jika anda berterimakasih." 

Aku bahkan bisa memberi apa yang kamu inginkan.

Tentu saja aku belum selesai. Aku masih punya daging yang kelihatan sangat segar spesial untuk serigala kelaparan. Sambil memasukkan jemari ke kantong celana dan membiarkan yang satu menggenggam tongkat, aku melanjutkan. "Misalnya, seperti jaminan untuk mengubah monster jadi manusia?"

Demikianlah tatapan Amon berubah. Dalam sekejap mata karena sejak tadi aku menatap tepat di netranya, tekann besar berupa rasa takut langsung membuat bulu kudukku meremang horor sebab teror yang ia ciptakan. Aku menelan ludah, mencoba mengendalikan kewarasan. Tentu saja aku mengerti apa yang sedang terjadi.

Kemampuan khusus para pengidap kelainan mental Anti Sosial tipe Psikopat. Rasa Takut.

['Rasa Takut' mencoba mendominasi]

[Melawan 'Rasa Takut' dengan Mind Power]

[Melawan 'Rasa Takut' dengan Mind Power]

[Melawan 'Rasa Takut' dengan Mind Power]

[Perlawanan setengah berhasil]

"Dari mana kamu punya ide berkata seperti itu padaku?"

Suara itu sebenarnya hanya diucapkan dengan sedikit intimidasi. Tapi karena perlawananku setengahnya gagal, aku jadi merasa seperti sedang diinterogasi dengan banyak pisau mengarah ke leherku. Sejenak aku berpikir, apakah ini hanya bayanganku atau ability 'Rasa Takut' nya memang sampai tahap membuat ilusi?

Sepertinya itu masuk akal. Stat normal ability 'Rasa takut' seharusnya cuman mencapai angka lima puluh paling tinggi, tapi bajingan ini malah bisa sampai enam puluh lima.

Gigiku menggertak. Entah oleh rasa takut atau usaha supaya tidak merasa takut, semuanya mendadak samar. Tanpa bisa kutahan juga aku malah jadi membangunkan para hantu. Suara pertama yang kudengar adalah si kecil nana.

'Reswa, ada apa? Kenapa aku takut sekali?!'

'Reswa kamu baik baik saja?'

'Bajingan ini dengan kurang ajar menidurkan kita saat momen momen baik terjadi, tapi malah membangunkan di saat saat seperti ini, dasar sialan.'

'Hei, apa yang terjadi? Apa yang bisa kubantu?'

Aku meringis. Maafkan aku Nana, Rere, Vivi dan B1. Sayangnya itu terjadi begitu saja.

Aku memaksakan diri menyeringai walau wajahku tidak terlihat. "Apa kamu akan percaya kalau kubilang ini kebetulan?"

"Pembohong."

'Tentu saja, idiot. Mana mungkin bajingan ini akan jujur.'

Itu perkataan B1, ngomong ngomong. Namun demikian, aku tersenyum mendengar itu.

 "Itu bukan urusanmu. Yang jelas, kamu sendiri pasti sadar bahwa skala ini sudah melewati batas bahaya. Sebelum kamu benar benar terperangkap--" aku mengulurkan tangan dengan gerakan patah patah. "--ayo bergabung denganku."

Sejenak, tekanan di udara yang membuatku sakit kepala terasa berangsur memudar. Aku menarik napas dalam dalam seketika sambil menjaga postur tubuhku tetap stabil. Gila, rasanya mau mati.

['Rasa takut' berhenti mendominasi]

[Kondisi anda saat ini normal]

[Penguasaan diri kembali 100%]

Baguslah.

Nah sekarang,--aku mengangkat wajah pada Amon yang menatapku dingin setelah selesai batuk batuk--apa yang akan kamu lakukan?

Tatapan itu sejenak melunak. Tapi setelah diintip lebih jauh lagi, aku bisa melihat kalau dingin adalah kata yang tepat untuk menggambarkan pandangannya. Seratus delapan puluh derajat dari sekian detik lalu, tapi inilah dia yang sebenarnya. Amon yang putus asa ingin jadi manusia biasa, setelah menonton ibunya sendiri mati gantung diri karena ayahnya yang berkondisi serupa dengannya. 

"Kembalilah." Kataku padanya. "Nyonya Verdisch sekalipun tidak membuang buang waktu untuk kamu temui secara sembunyi sembunyi hanya untuk melihatmu berada di tempat itu."

Matanya bergeming. Seolah olah aku memang sedang bicara dengan patung yang tidak punya emosi. Itu benar. Amon bukan takut melihat ibunya mati gantung diri. Bukan takut akan jadi manusia seperti ayahnya yang bergeming pada jasad kaku istrinya. Ia hanya sebatas tidak mau jadi seperti orang itu karena sepehamannnya dari Elise Verdisch, manusia bukan makhluk yang seperti itu.

Dan menurutnya, dia adalah manusia juga.

Kata kata 'Verdisch' yang menghujam telinganya pun mengundang tawa sarkastik dari laki laki itu dan detik itu, aku merasa hampir tidak mengenalinya sebagai pamanku. 

"Sulit dipercaya, Sutradara, sungguh sulit dipercaya!" Ia berseru. "Kamu bahkan tau kalau selama ini aku melakukan konseling dengan wanita itu sedangkan aku yakin ia tak mungkin mengatakan ini pada siapa siapa! Menakjubkan! Tapi pertanyaannya--"

Hanya butuh sedetik sampai ekspresi euforia keji itu berubah penuh ancaman dan akupun menelan ludah.

"Darimana kamu tau itu?"

Aku pun tersenyum dari balik topengku.

Heh. Darimana aku tau,katanya?

Tentu saja kamu yang mengatakannya padaku dengan mulutmu sendiri.

Itu adalah masa yang belum terjadi dan tidak boleh terjadi. Ketika hampir satu dunia rata oleh puing puing bangunan dengan kita yang hidup di celah celahnya, menghindar dari para monster dan manusia era baru. 

Kata katamu waktu itupun masih jelas. Dengan wajah yang terlampau dingin dengan mata yang nyaris seperti bukan manusia, kamu mengulurkan tangan padaku sambil bertanya pada bocah usia enam belas tahun yang memakai baju putih khas lab setelah membakar fasilitas fasilitasnya.

"Mungkin akan lebih sulit daripada tempat ini, tapi aku tidak akan melakukan hal yang mereka lakukan padamu."

"Apa kamu mau jadi pemeran di Theaterku?"

Waktu itu aku menangis. Sekali lagi setelah sekian lama, tapi tetap meraih tanganmu. 

Karena bagiku, dimanapun adalah lebih baik dari neraka itu.

Pertanyaannya, Amon,

Apakah kali ini kamu mau meraih tanganku?